BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada era modern seperti sekarang ini, investasi menjadi penting
untuk dilakukan. Investasi dapat dijadikan alternatif solusi dalam pemanfaatan
uang yang menganggur (idle money). Tak hanya itu, investasi dapat menjadi salah
satu alternatif menabung, sebagai sumber pendapatan pasif, ataupun sebagai
sumber modal. Investasi pun tidak hanya penting bagi pihak korporasi, namun
penting juga bagi masyarakat individu untuk melakukan investasi. Secara
finansial, investasi penting untuk dilakukan karena didorong oleh dua hal
utama. Pertama, karena nilai intrinsik dalam suatu mata uang cenderung akan
terus menurun yang disebabkan karena adanya inflasi. Melakukan investasi dapat
membantu mengurangi dampak inflasi. Kedua, investasi dapat mendatangkan
keuntungan bagi investor. Keuntungan ini dapat berbentuk bunga, bagi hasil,
capital gain, atau bentuk lainnya sesuai dengan produk investasi yang dibeli.
Manfaat investasi bagi investor menurut Rahardjo (2006), adalah memperoleh
keuntungan yang variatif, tersedianya pilihan instrumen investasi yang beragam,
mengembangkan dana yang dimiliki secara sistematis dan terarah, serta melakukan
diversifikasi investasi untuk meningkatkan keuntungan serta menekan risiko.
Investasi pun merupakan kegiatan yang diperintahkan oleh Allah karena dapat
mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selain itu Allah
melarang adanya penimbunan harta sedangkan harta tersebut dapat digunakan untuk
menggerakkan perekonomian.
Salah satu
produk investasi adalah obligasi ritel Indonesia (ORI). Menurut Wuri (2007),
ORI (obligasi ritel Indonesia) adalah sebuah SUN (surat utang negara) yang cara
penjualannya secara ritel (perorangan) kepada warga negara Indonesia (WNI). ORI
diluncurkan oleh pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan defisit anggaran
belanja negara (APBN). ORI sangat menguntungkan karena tingkat bunga kupon
lebih tinggi dari pada deposito, selain itu ORI juga aman karena dijamin oleh
pemerintah. Bukan hanya itu, ORI juga dapat diperjual belikan seperti saham
apabila belum jatuh tempo. Apabila pemegang ORI membutuhkan dana sewaktu-waktu,
ORI dapat dijual atau dijaminkan kepada bank untuk mendapatkan kredit. Oleh
karena itu, ORI sangat menggiurkan, dan lebih diunggulkan dari pada saham dan
deposito.
Selain Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan seiring dengan kesadaran
masyarakat Muslim Indonesia untuk berinvestasi sesuai dengan kaidah Islam, maka
Sukuk Negara Ritel (SR) dapat dijadikan pilihan berinvestasi karena instrumen
ini telah mendapatkan fatwa dan opini syariah dari Dewan Syariah Nasional MUI.
Salah satu produk investasi syariah yang diterbitkan untuk investor ritel
adalah sukuk negara ritel.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan investasi?
2.
Apa yang dimaksud dengan sukuk?
3.
Apa yang dimaksud dengan ORI?
4.
Bagaimana peran kebijakan pemerintah
untuk menarik calon investor?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa itu investasi.
2.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan sukuk.
3.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan ORI.
4.
Untuk mengetahui bagaimana peran
pemerintah untuk menarik calon investor.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Tinjauan
Investasi
1.
Pengertian Investasi
Istilah investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu investire
(memakai), sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan investment.
Kata Invest sebagai kata dasar dari investment memiliki arti menanam. Dalam
kamus istilah Pasar Modal dan Keuangan kata investasi diartikan sebagai
penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan
memperoleh keuntungan. Didalam kamus lengkap Ekonomi, investasi didefinisikan
sebagai penukaran uang dengan bentuk – bentuk kekayaan lain, seperti saham atau
harta tidak bergerak yang diharapkan dapat ditahan selama periode waktu
tertentu supaya menghasilkan pendapatan.
Pendapat lainnya, investasi diartikan sebagai komitmen atas
sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan
tujuan memperoleh sejumlah keuntungan dimasa datang. Jadi, pada dasarnya sama
yaitu penempatan sejumlah kekayaan untuk mendapatkan keuntungan dimasa yang
akan datang.
Investasi pada umumnya merupakan suatu istilah dengan beberapa
pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi istilah tersebut
berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan
keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut sebagai penanaman modal.[1]
Investasi dalam arti luas berarti mengorbankan dolar sekarang untuk
dolar pada masa depan. Ada dua atribut berbeda yang melekat : waktu dan risiko.
Pengorbanan terjadi saat sekarang ini dan memiliki kepastian. Hasilnya baru
akan diperoleh kemudian dan besarnya tidak pasti. Pada beberapa kasus, elemen
waktu merupakan faktor yang mendominasi (misalnya obligasi pemerintah). Pada
kasus lain, risiko menjadi atribut yang dominan (misalnya options call pada
saham biasa). Namun bisa juga baik waktu maupun risiko menjadi faktor yang
penting (misalnya jumlah lembar saham biasa). [2]
Investasi pada umumnya merupakan suatu istilah dengan beberapa
pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi, to use (money) make
more money out of something that expected to increase in value. Istilah
tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan
mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai
penanaman modal.[3]
2.
Tujuan Investasi
Ada beberapa alasan mengapa seseorang melakukan investasi.
Kamaruddin Ahmad, mengemukakan tiga alasan sehingga banyak orang melakukan
investasi, yaitu:
a.
Untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih layak dimasa mendatang
Seseorang yang bijaksana akan berfikir bagaimana cara meningkatkan
taraf hidupnya dari waktu ke waktu atau setidak-tidaknya bagaimana berusaha
unuk mempertahankan tingkat pendapatannya yang ada sekarang agar tidak
berkurang dimasa yang akan datang.
b.
Mengurangi
tekanan inflasi
Dengan melakukan investasi dalam memilih perusahaan atau objek
lain, seseorang dapat menghindarkan diri agar kekayaan atau harta miliknya
tidak merosot nilainya karena di gerogoti oleh inflasi.
c.
Dorongan
untuk menghemat pajak
Beberapa negara di dunia banyak melakukan kebijakan yang sifatnya
mendorong tumbuhnya investasi di masyarakat melalui fasilitas perpajakan yang
di berikan kepada masyarakat yang melakukan investasi pada bidang-bidang usaha
tertentu. Selain itu, orang melakukan investasi karena dipicu oleh kebutuhan
akan masa depan. Tetapi sangat disayangkan, banyak orang belum memikirkan
kebutuhan akan masa depannya. Padahal semakin ke depan, biaya hidup seseorang
pasti akan semakin bertambah. Selain kebutuhan akan masa depan, orang melakukan
investasi dipicu oleh banyaknya ketidakpastian atau hal-hal lain yang tidak
terduga dalam hidup, misalnya keterbatasan dana, kondisi kesehatan, datangnya
musibah secara tiba-tiba dan kondisi pasar investasi.[4]
3.
Jenis-Jenis Investasi
a.
Investasi
berdasarkan asetnya
Investasi ini merupakan penggolongan investasi dari aspek modal
atau kekayaannya. Investasi ini dibagi menjadi dua jenis yatu pertama, real
asset merupakan investasi yang berwujud seperti gedung-gedung dan kendaraan;
kedua, financial asset yaitu berupa dokumen (surat-surat berharga) yang
diperdagangkan dipasar uang seperti deposito,commercial paper, Surat Berharga
Pasar Uang (SBPU), dan sebagainya. Financial accets juga diperdagangkan dipasar
modal seperti saham,obligasi,warrant,opsi dn sebagainya.
b.
Invetasi
berdasarkan pengaruh
Invetasi model ini merupakan investasi yang berdasarkan pada factor
dan keadaan yang mempengaruhi atau tidak berpengaruh dari kegiatan investasi.
Invetasi berdasatkan pengaruh dibagi menjadi dua yaitu pertama, investasi
autonomous (berdiri sendiri), yaitu invetasi yang tidak dipengaruhi tingkat
pendapatan,bersifat spekulatif,misalnya pembelian surat-surat berharga; kedua,
investasi induced (mempengaruhi-menyebabkan), yakni investasi yang dipegaruh
oleh kenaikan permintaan akan barang dan jasa serta tingkat pendapatan misalnya
penghasilan transitori (penghasilan yang didapat selain dari bekerja),yaitu
bungan tabungan dan sebagainya.
c.
Investasi
berdasarkan sumber pembiayaan
Investasi ini berdasarkan kepada pembiayaa asal atau asal usul
investasi itu memperoleh dana. Invetasi ini dibagi menjadi dua macam:
pertama,investasi yang bersumber dari dana dalam negeri (PMDN), investornya
dari dalam negeri : kedua, investasi yang bersumber dari modal asing
,pembiayaan investasi bersumber dari investor asing.
d.
Investasi
berdasarkan bentuk
Investasi yang didasarkan pada cara menanamkan investasinya.
Investasi modal ini dibagi menjadi dua bentuk yaitu pertama, investasi lansung
dilaksanakan oleh pemiliknya sendiri,seperti membangun pabrik, membangun gedung
selaku konraktor, membeli total, atau mengakuisi perusahaan; kedua, investasi
tidak langsung yang disebut dengan investasi portofilio,investasi tidak
langsung dilakukan melalui pasar modal dengan instrument surat-surat berharga
seperti saham,obligasi,reksadana beserta turunannya.
e.
Investasi
berdasarkan waktu
Investasi berdasarkan waktu dibagi
dua, yaitu: investasi berdasarkan jangka pendek dan investasi berdasarkan
jangka panjang. Investasi jangka pendek merupakan penanaman modal oleh
seseorang yang jangka waktunya relative pendek misalnya setahun, atau dua
tahun. Contohnya tabungan di Bank, deposito, instrument pasar uang, dll.
Sedangkan investasi jangka panjang adalah penanaman atau penyertaan sebagian
kekayaan suatu perusahaan dengan maksud untuk meperoleh pendapatan tetap dan
untuk menguasai atau mengendalikan perusahaan tersebut dengan waktu 5 tahun dan
seterusnya. Contohnya, saham, reksadana, obligasi, emas batangan, properti,
barang koleksi, dll.[5]
B.
Tinjauan
Tentang Sukuk
1.
Pengertian
Sukuk
Fakta historis
menunjukkan bahwa sukuk merupakan produk yang digunakan secara luas pada abad
pertengahan Islam untuk mentransfer kewajiban keuangan yang berasal dari
perdagangan dan kegiatan komersial lainnya.[6]
Menurut
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN),
Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam
mata uang rupiah maupun valuta asing (pasal 1). Menurut fatwa DSN No.
69/DSN-MUI/VI/2008, Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk
Negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah, sebagai bukti atas bagian ( حصة )
kepemilikan aset.
Sedangkan Sukuk
Negara ritel adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan
prinsip-prinsip syariah yang diperuntukkan bagi investor individu warga negara
Indonesia. Sukuk Negara Ritel diterbitkan dalam bentuk tanpa warkat (scripless),
namun kepada para investor akan diberikan Surat Bukti Kepemilikan.
Dalam UU No
19/2008 dikatakan bahwa underlying aset adalah aset SBSN,
dimana aset SBSN adalah obyek pembiayaan SBSN dan/atau barang milik
negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau
bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka penerbitan
SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN. Adapun yang
dimaksud barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau berasal
dari perolehan lain yang sah.
2.
Tujuan
Penerbitan Sukuk
Tujuan utama pemerintah menerbitkan sukuk
negara adalah untuk membiayai APBN, termasuk membiayai pembangunan
proyek. Sebagaimana disebutkan pada pasal 4 UU SBSN bahwa tujuan SBSN
diterbitkan adalah untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
termasuk membiayai pembangunan proyek. Proyek yang dapat dibiayai dengan sukuk
negara adalah sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri
manufaktur, dan, perumahan. Adapun manfaat dari penerbitan sukuk ini antara
lain adalah:[7]
1)
Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran
Negara
2)
Memperkaya instrumen pembiayaan fiskal.
3)
Memperluas dan mendiversifikasi basis investor
SBN.
4)
Mendorong pertumbuhan dan pengembangan pasar
keuangan syariah di dalam negeri;
5)
Mengembangkan alternatif instrumen investasi.
6)
Menciptakan benchmark di pasar
keuangan syariah.
7)
Mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara
dan mendorong tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara.
Departemen Keuangan sebagai pihak yang
merepresentasikan pemerintah menegaskan bahwa dalam setiap penerbitan sukuk
atau surat berharga syariah negara, tidak ada aset negara yang dijual atau
digadaikan. Ketentuan penggunaan aset negara sebagai underlying asset penerbitan
sukuk diatur dalam UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
adalah sebagai berikut:
a.
Hanya hak manfaat atas aset SBSN yang
dijual/disewakan kepada SPV yang dibentuk Pemerintah berdasarkan UU No. 19
tahun 2008.
b.
Tidak ada pemindahan hak kepemilikan (legal
title) BMN (Barang Milik Negara).
c.
Tidak ada pengalihan fisik BMN, sehingga tidak
mengganggu penyelenggaraan tugas kepemerintahan.
d.
Aset SBSN bukan sebagai jaminan (collateral).
Saat jatuh tempo Sukuk Negara atau
terjadi default (gagal bayar), BMN tetap dikuasai pemerintah
berdasarkan purchase & sale undertaking agreement. DPR
memberikan persetujuan atas jumlah SBSN/Sukuk Negara yang diterbitkan dan atas
jumlah aset SBSN yang dipergunakan dalam penerbitan Sukuk Negara dimaksud.[8]
3.
Legalitas
Syariah terhadap Sukuk
Faktor utama yang melatarbelakangi hadirnya
sukuk sebagai salah satu instrumen dalam sistem keuangan Islam adalah ketentuan
al-Quran dan al-Sunnah yang melarang riba, maysir, gharar,
bertransaksi dengan kegiatan atau produk haram, serta terbebas dari unsur tadlis. Terdapat
sejumlah ayat ekonomi dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang larangan riba.[9]
Turunnya ayat mengenai riba dalam Al-Qur'an secara bertahap, yaitu dalam empat
tahap, yang terdiri dari 8 ayat dalam 4 surat (al-Baqarah: 5 ayat, Ali ‘Imran:
1 ayat, An-Nisa’: 1 ayat, Ar-Rum: 1 ayat). Gaya pengharaman riba dalam al-Quran
adalah mirip dengan bentuk pengharaman khamr dalam al-Quran, yaitu tidak
mengharamkan secara sekaligus tetapi berangsur-angsur. Bahkan dalam hadis pun
juga terdapat kesamaan dalam hal dosa dari dua perbuatan dosa tersebut yaitu
mendapat laknat dari Allah SWT.[10]
Perlu dicatat, bahwa tidak semua sesuatu atau
perkara yang diharamkan oleh Allah SWT tidak ada manfaatnya sama sekali atau
hanya mendatangkan madarat saja. Ini terbukti dari ungkapan Allah dalam
al-Quran surah Al-Baqarah (2): 219 tentang keharaman khamr, yang dinyatakan
bahwa khamr itu juga mengandung manfaat tetapi madaratnya lebih besar dan
berbahaya daripada manfaat yang mungkin diperoleh. Demikian juga riba, mungkin
ia mengandung manfaat tertentu pada sekelompok orang tertentu, tetapi secara
universal, madarat dan bahaya riba lebih besar daripada manfaat yang
ditimbulkannya.[11]
Sementara itu, larangan terhadap kegiatan yang
mengandung maysir dapat ditemukan pada QS Al-Maidah: 90
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Jika larangan maysir disebutkan
dengan jelas dalam Al-Qur’an, larangan gharar tidak disebutkan
dengan jelas dalam Al-Qur’an. Gharar adalah perilaku terlarang yang harus
dhindari dalam setiap transaksi. Kata gharar dan derivasinya, diulang 27 kali
dalam al-Quran, akan tetapi al-Quran menggunakan untuk term dalam teologi dan
keagamaan (religious). Oleh karena itu, para fuqaha tidak merefer
al-Quran dalam kaitannya dengan larangan gharar dalam transaksi.[12]
Penyebutan larangan transaksi secara batil dalam al-Quran (Q.S. al-Nisa’ (4):
29), terkandung juga di dalamnya unsur gharar, karena para ulama memahami makna
transaksi batil adalah transaksi di mana di dalamnya terdapat elemen-elemen
riba, gambling (qimar), zulm, bakhs (ketidakadilan
dalam praktek transaksi komersial), hiyal (tipu daya), gharar,
ketidakjelasan, dan objek akad yang ilegal.[13]
Sedangkan dalam hadis Rasulullah SAW terdapat
banyak hadis yang menyatakan keharaman transaksi yang mengandung gharar.
Kaharaman gharar dalam hadis ini merupakan suatu bentuk penjelasan khusus dari
penjelasan al-Quran tentang larangan bertransaksi secara batil. Hadis
Rasulullah SAW menjelaskan secara lebih terinci keharaman transaksi yang
mengandung unsur gharar, akan tetapi tidak sampai menyebutkan secara
detail definisi dan skope serta ukuran gharar, sehingga para ulama fiqh dahulu
pun juga tidak menjelaskan secara detail ukuran dan skope gharar.[14]
Terdapat pula hadits sebagai berikut: “Rasulullah SAW melarang jual beli
gharar”. (H.R. Muslim), “Dilarang menjual ikan dalam laut, yang seperti itu
gharar”. (H.R. Ibn Hanbal), dan lain-lain.
Untuk transaksi yang mengandung unsur bathil (haram),
sejumlah ayat seperti QS Al Baqarah: 188, QS Al Maa’idah: 38, QS Al Israa’: 81,
QS Al Muthaffifiin: 1-3, dan QS An Nisaa’: 81 secara tegas melarang. Begitu pula
dalam QS An Nisaa’: 29.
Sedangkan untuk larangan tadlis tercermin
pada QS Al-An’am: 152. Literatur lain menunjukkan bahwa legalitas sukuk
bersumber utama dari QS Al-Baqarah: 282. Dewan fikih (fiqh academy) dari Organization
of the Islamic Conference (OIC) dalam The 4th Annual Plenary
Session February 1988 di Jeddah telah menyatakan bahwa syari’ah
menuntut dokumentasi kontrak sebagaimana termuat dalam QS Al-Baqarah: 282.
Suatu transaksi yang tidak dilakukan secara tunai (cash) harus
diwakili oleh sebuah dokumentasi sebagai bukti transaksi yang menggambarkan
adanya hak dan kewajiban antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Dewan fikih
OIC memutuskan bahwa:
1)
Pengumpulan aset dapat direpresentasikan dalam
sebuah catatan tertulis (written note) atau surat
berharga (bond)
2)
Surat berharga atau catatan ini dapat dijual
pada harga pasar (market price) sepanjang komposisi dari
masing-masing kelompok aset, yang direpresentasikan dengan obligasi tersebut,
meliputi mayoritas aset fisik dan hak finansial (financial right) dengan
hanya minoritas yang menjadi uang tunai dan utang interpersonal.[15]
DSN MUI telah mengeluarkan 4 fatwa terkait
dengan penerbitan Sukuk Negara, yaitu:
1.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
2.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara
3.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back
4.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
72/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Sale and Lease
Back.
C.
Tinjauan Obligasi
Ritel Indonesia (ORI)
1.
ORI (Obligasi Ritel
Indonesia)
Obligasi Ritel Indonesia
(ORI) adalah obligasi negara yang dijual kepada individu atau perseorangan
Warga Negara Indonesia melalui agen penjual dengan volume minimum yang telah
ditentukan. ORI diterbutkan untuk membiayai anggaran negara, diversifikasi
sumber pembiayaan, mengelola portofolio utang negara, dan memperluas basis
investor.[16]
Menurut Wuri (2007), obligasi ritel Indonesia
diterbitkan dengan nilai nominal per unit sebesar Rp1.000.000,00. Akan tetapi,
jumlah pembelian minimal yaitu Rp5.000.000,00 untuk mendapatkan 5 unit dan
dengan kelipatan 5 unit.
Menurut Wuri (2007), keuntungan berinvestasi di
obligasi ritel Indonesia adalah sebagai berikut:
1)
Pembayaran kupon dan pokok sampai dengan jatuh
tempo dijamin oleh undang-undang SUN.
2)
Pada saat diterbitkan (pasar perdana), kupon
ditawarkan lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat bunga deposito bank
BUMN.
3)
Kupon dengan
tingkat bunga tetap sampai pada waktu jatuh tempo.
4)
Kupon dibayar setiap bulan.
5)
Berpotensi memperoleh capital gain jika
obligasi ritel Indonesia dijual pada harga yang lebih tinggi daripada harga
beli setelah memperhitungkan biaya transaksi di pasar sekunder.
6)
Dapat dijaminkan atau dipinjamkan kepada pihak
lain, antara lain jaminan dalam pengajuan pinjaman pada bank umum atau jaminan
dalam rangka transaksi efek.
7)
Dapat diperdagangkan di pasar sekunder dengan
mekanisme bursa efek atau transaksi di luar bursa efek (over the counter).
8)
Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
turut serta mendukung pembiayaan pembangunan nasional.
9)
Bunganya tinggi dan bersifat tetap.
10) Jenis investasi
yang aman.
11) Risiko lebih
rendah dibandingkan dengan saham.
12) Dijamin
pemerintah.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Peran
Pemerintah Dalam Menarik Calon Investor Untuk Berinvestasi di Sukuk dan ORI.
Setiap negara selalu berusaha meningkatkan
pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha kearah tersebut
dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara
lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik
sebanyak mungkin investasi masuk kenegaranya.
Indonesia merupakan negara yang sedang
membangun. Untuk membangun diperlukan adanya modal atau investasi yang besar.
Beberapa ekonom masih sepakat bahwa pemberian insentif fiscal dapat dijadikan
salah satu alternative untuk mendorong kembali tumbuhnya sektor industry.
Penarikan arus modal yang signifikan ke suatu negara dipengaruhi oleh iklim investasi
yang kondusif. Iklim investasi yang dimaksud adalah suatu kebijakan kelembagaan
dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi
dimasa depan, yang dapat mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu
investasi.
Faktor yang
Memengaruhi Investor dalam Berinvestasi
1.
Informasi
Produk
Informasi produk investasi dapat diberikan kepada investor dalam
bentuk yang beragam seperti brosur, iklan di media cetak, iklan di media
elektronik, prospektus, ataupun dengan menyelenggarakan seminar atau talkshow
yang khusus untuk membahas produk investasi tersebut.
2.
Tingkat
Risiko
Risiko adalah peluang terjadinya kegagalan dalam meraih keuntungan
yang diperkirakan dalam sebuah investasi, atau dapat pula dinyatakan dengan
kemungkinan sebagian atau seluruh modal yang diinvestasikan tidak akan kembali
kepada investor. Pada umumnya investor menghindari risiko pada tingkat
keuntungan yang sama. Artinya, jika diberikan pillihan antara 2 jenis investasi
yang memiliki tingkat risiko yang berbeda namun dengan tingkat keuntungan yang
sama, mayoritas investor akan memilih investasi dengan risiko yang terendah.
Namun, investor memiliki persepsi berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula
dalam menoleransi risiko dalam investasi. Investor memiliki persepsi terhadap
risiko yang berbeda-beda. Namun investor yang memiliki tujuan utama mendapatkan
keuntungan, cenderung akan menghindari risiko. Selain itu risiko memiliki
hubungan yang erat dengan keuntungan, yaitu di antara keduanya terdapat
hubungan positif. Keeratan hubungan risiko dengan keuntungan menyebabkan risiko
menjadi faktor yang dipertimbangkan investor dalam berinvestasi. Risiko
berinvestasi dalam konsep umum mengacu pada ketidakpastian tingkat keuntungan.
Ketidakpastian pada tingkat keuntungan dalam Islam bukan merupakan konsekuensi
berinvestasi, dan bukan merupakan bagian dari gharar ataupun maysir. Maysir
dapat diartikan sebagai bentuk permainan yang mengandung unsur pertaruhan atau
judi. Pengertian maysir tidak hanya terbatas pada perilaku judi, namun termasuk
juga di dalamnya transaksi yang bersifat spekulatif. Transaksi spekulatif
terjadi saat investor memaanfaatkan ketidakpastian di pasar modal untuk
mendapatkan keuntungan jangka pendek. Cara pemanfaatan ketidakpastian inilah
yang dilarang dalam Islam. Gharar adalah unsur ketidakpastian yang terkait
dengan penyerahan, kualitas, kuantitas, dan sebagainya. Ketidakpastian yang
merupakan bagian dari gharar berupa ketidakjelasan pada akad yang digunakan,
objek akad, harga, ataupun berupa penipuan. Adanya gharar dapat membatalkan
akad dan merugikan salah satu pihak. Ketidakpastian dan risiko dalam muamalah
menjadikan Islam menawarkan prinsip khusus, yaitu prinsip bagi hasil yang
dinilai adil dalam menghadapi risiko yang dihadapi oleh pihak yang terlibat
dalam investasi tersebut. Prinsip bagi hasil yang diterapkan dalam prinsip
syariah membenarkan seseorang dalam mendapat keuntungan atas pengeluaran modal
dan kesanggupan mengambil risiko yang telah dilakukan.
3.
Pertimbangan
Prinsip Syariah
Aspek agama merupakan salah satu hal yang menjadi pertimbangan
konsumen dalam memilih suatu produk. Setiap agama memiliki prinsip dan aturan
tertentu yang dapat berbeda antar satu agama dengan agama lain. Hal ini
menyebabkan aspek agama dapat memberikan dampak yang berbeda sesuai dengan
agama yang dianut oleh konsumen tersebut. Aspek agama dalam investasi turut
berpengaruh teradap pertimbangan investor. Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama Islam menyebabkan produk investasi syariah di Indonesia dapat
berkembang dengan baik. Prinsip dan peraturan agama dapat pula membatasi
investor dalam memilih produk investasi tertentu, karena itu tak sedikit
investor yang mencari produk investasi syariah walaupun tidak semua investor
produk syariah mengutamakan aspek syariah. Terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan investasi agar sesuai dengan prinsip syariah, 1)
transaksi dilakukan atas harta yang memberikan nilai manfaat dan harus
menghindari transaksi yang zalim, 2) uang berfungsi sebagai alat pertukaran nilai
yang menggambarkan daya beli suatu barang, bukan merupakan suatu komoditas
perdagangan, 3) transaksi yang dilakukan harus bersifat transparan, 4) risiko
harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak melebihi kemampuan menanggung
risiko, dan 5) manajemen yang diterapkan adalah manajemen islami.
4.
Kepuasan
Konsumen
Menurut Kotler (1996), kepuasan konsumen adalah tingkat dari
perasaan seseorang yang dihasilkan dari perbandingan antara kinerja produk dan
harapan orang tersebut. Terdapat 3 level kepuasan yang dapat dirasakan oleh
konsumen, jika kinerja produk tersebut tidak memenuhi harapan konsumen maka
konsumen akan merasa tidak puas. Jika kinerja produk sesuai dengan harapan maka
konsumen akan merasa puas, dan jika kinerja produk melebihi harapan maka
konsumen akan merasa sangat puas. Harapan seorang konsumen terbentuk dari
pengalaman pembeliannya terdahulu, komentar teman dan kenalan, informasi dari
pesaing, dan janji yang dibuat oleh perusahaan. Studi mengenai kepuasan
konsumen telah banyak dilakukan sebelumnya. Salah satu studi kepuasan konsumen
dilakukan oleh Hannah dan Karp dalam Musanto (2004:126) yang dikenal dengan The
Big Eight Factors. The Big Eight Factors terbagi menjadi tiga bagian utama.
Bagian pertama adalah faktor yang berhubungan dengan produk. Bagian pertama ini
terbagi menjadi kualitas produk, hubungan antara nilai dan harga, bentuk
produk, dan keandalan. Kualitas produk berhubungan dengan mutu sehingga produk
tersebut memiliki nilai tambah. Hubungan antara nilai dan harga merupakan
hubungan antara harga dan nilai produk yang digambarkan melalui perbedaan nilai
produk yang diterima dan harga yang dibayarkan. Bentuk produk merupakan
komponen produk yang dapat bermanfaat. Keandalan berkaitan dengan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan produk sesuai dengan janji perusahaan. Bagian
kedua adalah factor yang berhubungan dengan pelayanan. Bagian ini terdiri dari
jaminan serta respon dan cara pemecahan masalah. Faktor jaminan berkaitan
dengan jaminan yang dapat ditawarkan oleh perusahaan terhadap produk setelah
pembelian dilakukan. Respon dan cara pemecahan masalah merupakan sikap karyawan
dalam menanggapai keluhan dan masalah dari konsumen. Bagian terakhir adalah
factor yang berhubungan dengan pembelian, terdiri dari pengalaman karyawan
serta kemudahan dan kenyamanan. Pengalaman karyawan merupakan hubungan antara
karyawan perusahaan dengan konsumen, khususnya dalam hal komunikasi. Kemudahan
dan kenyamanan berkaitan dengan segala upaya kemudahan dan kenyamanan yang
diberikan perusahaan.
5.
Minat
Konsumen
Minat konsumen dapat diartikan sebagai sesuatu yang timbul setelah
menerima rangsangan dari produk yang dipasarkan, yang kemudian dapat
menimbulkan ketertarikan untuk mencoba produk. Kemudian pada akhirnya timbul
keinginan memiliki produk tersebut (Kotler 2005). Identifikasi terhadap minat
konsumen menurut Ferdinand dalam Hidayat (2012) dapat dilakukan melalui 4
indikator, yaitu:
1.
Minat
transaksional, yaitu kecenderungan untuk membeli produk.
2.
Minat
refrensial, yaitu kecenderungan untuk mereferensikan produk yang diminatinya
kepada orang lain.
3.
Minat
preferensial, yaitu perilaku seseorang yang menjadikan produk tersebut sebagai
preferensi utama.
4.
Minat
eksploratif, yaitu perilaku seseorang yang mencari informasi mengenai produk
yang diminatinya untuk mengumpulkan nilai positif dari produk.[17]
Untuk
mewujudkan perkembagan perekonomian di Indonesia dalam rangkan langkah menarik
calon investor, maka ada beberapa variable kebijakan yang patut diperhatikan
yaitu: Pertama, terkait regulasi dan koordinasi antar instansi. Harmonisasi
regulasi dan koordinasi antar lembaga pemerintah perlu ditingkatkan. Jika
melibatkan daerah, maka koordinasi dengan pemerintah daerah harus ditingkatkan,
apalagi pemda juga memiliki hak untuk mengusulkan sejumlah proyek-proyek yang
dapat memberikan dampak langsung terhadap perekonomian rakyat di daerahnya.
Sehingga, diperlukan adanya kesesuaian antara proyek sukuk dengan aspirasi
daerah. Lemahnya koordinasi ini dapat mengakibatkan rendahnya efektivitas sukuk
negara sekaligus menciptakan inefisiensi project financing sukuk. Karena itu,
perlu adanya paying hukum berupa Peraturan Pemerintah yang mengatur hal ini.
Termasuk yang juga perlu diatur adalah pemberian kesempatan pada pemerintah
daerah untuk menerbitkan sukuk daerah secara langsung.
Kedua, menjaga
kesesuaian syariah sukuk. Ada banyak isu yang bersifat debatable dari tinjauan
fiqh, seperti masalah kepemilikan aset sukuk dan proteksi kapital. Karena itu,
komunikasi dan koordinasi yang intensif antara regulator, para pelaku pasar,
termasuk Direktorat Pembiayaan Syariah Kementerian Keuangan, dengan Dewan
Syariah Nasional (DSN) MUI, merupakan langkah yang tepat dalam mengokohkan
kesyariahan sukuk.
Ketiga,
peningkatan inovasi dan kualitas produk sukuk. Hal ini sangat penting agar
struktur sukuk ataupun (ORI) yang ada dapat menarik minat investor, sekaligus
dapat menggerakkan sektor riil. Untuk itu dibutuhkan peningkatan kualitas SDM
yang ada. SDM tersebut diharapkan memiliki kapasitas dalam melakukan sukuk
structuring, dan memiliki cara berpikir yang berbeda.
Maksudnya, mindset tentang sukuk harus berbeda dengan mindset tentang obligasi konvensional
(Surat Utang Negara konvensional).
Keempat, edukasi dan sosialisasi publik. Ini adalah hal yang sangat
fundamental mengingat awareness publik yang masih sangat rendah terhadap
produk-produk di pasar modal syariah, termasuk sukuk. Peningkatan
eskalasi kampanye publik ini diharapkan dapat mendorong perkembangan minat mereka untuk
terlibat berinvestasi pada produk sukuk secara langsung. Jika keempat hal ini dapat
dilaksanakan dengan baik, maka peran sukuk negara dalam menggerakkan
perekonomian nasional akan semakin kuat. [18]
Adapun upaya
pengembangan pasar Sukuk Negara yang efisien, aktif dan likuid terus dilakukan
agar penerbitan Sukuk Negara dalam jumlah yang mencukupi dengan biaya yang
efisien dan risiko yang terkendali dapat dilakukan secara berkesinambungan.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut di
antaranya adalah:
1.
Menjaga
transparansi informasi
pengelolaan Sukuk Negara Investor sangat memerlukan informasi
terkait pengelolaan Sukuk Negara terutama berhubungan dengan profil kebijakan
pemerintah, pengelolaan utang secara umum, maupun jadwal penerbitan Sukuk
Negara dalam periode tertentu. Pemerintah termasuk DJPPR saat ini telah
melakukan tranparansi informasi yang diperlukan oleh investor melalui berbagai
media sehingga investor dapat dengan mudah mengetahui kebijakan pemerintah
terkait pengelolaan utang secara umum maupun Sukuk Negara. Investor dapat
mengetahui bahwa saat ini utang sudah dikelola dengat sangat baik, sehingga rasio
utang berada pada level sangat aman yaitu pada kisaran 25% dibandingkan dengan
PDB. Pengelolaan transparansi informasi ini perlu dipertahankan agar investor
semakin yakin menempatkan portofolio investasinya pada Sukuk Negara.
2.
Pengembangan
basis investor dan inovasi produk
Pemerintah juga perlu untuk mengembangkan investor Sukuk Negara
yang heterogen agar pasar Sukuk Negara semakin likuid. Investor yang memiliki
kebutuhan jenis instrumen,penilaian risiko, dan horison investasi yang berbeda
akan mendorong likuiditas suatu pasar. Untuk itu pemerintah perlu terus
mengembangkan basis investor baik domestik, internasional, ritel maupun
institusi. Investor institusi sektor keuangan syariah perlu mendapat perhatian
khusus karena pada saat ini partisipasinya masih sangat kecil. Selain itu,
investor kalangan menengah ke bawah juga perlu mendapat perhatian agar semakin
banyak berpartisipasi dalam instrumen Sukuk Negara. Hal ini juga akan mendukung
pengembangan keuangan inklusif. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah juga
perlu melakukan inovasi produk sesuai dengan preferensi investor.
3.
Pembentukan
Primary Dealers System (PDS) SBSN
PDS adalah suatu kesepakatan antara pemerintah selaku pengelola
SBSN dengan para dealer yang terdiri dari bank dan/atau perusahaan sekuritas
untuk mengembangkan pasar SBSN. Adanya PDS akan mengurangi risiko pasar karena
setiap dealer diwajibkan untuk menyampaikan penawaran dalam setiap lelang
penjualan SBSN. Selain itu, para dealer diwajibkan untuk memperdagangakan SBSN
yang dimilikinya di pasar sekunder dalam jumlah tertentu. Kewajiban para dealer
tersebut akan membantu Pemerintah terutama dalam memenuhi target penerbitan
SBSN dan mendorong likuiditas SBSN di pasar sekunder. Mengingat manfaat PDS
tersebut, selayaknya Pemerintah segera memberikan keputusan dalam pembentukan
PDS SBSN.
4.
Pengembangan
Helpdesk Sukuk Negara
Sebagai instrumen investasi yang relatif baru, tentu masih
memerlukan upaya diseminasi informasi kepada masyarakat luas. Selain itu, untuk
mengantisipasi calon investor yang ingin mengetahui informasi mengenai
pengelolaan Sukuk Negara secara cepat dan tepat maka diperlukan sarana untuk
mendukung hal tersebut. Calon investor akan merasa nyaman bila dapat memperoleh
informasi dari satu tempat secara cepat dan tepat. Untuk itu pemerintah perlu
mengembangkan suatu helpdesk yang merupakan centre-point yang memberikan
informasi atau bantuan kepada para calon investor.[19]
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil
pembahasan tentang Peran Kebijakan Pemerintah dalam menarik calon Investor
untuk berinvestasi sukuk dan ori, maka diambil kesimpulan:
1.
Sukuk Negara ritel adalah Surat Berharga Negara
yang diterbitkan berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang diperuntukkan bagi
investor individu warga negara Indonesia.
2.
Obligasi Ritel Indonesia (ORI) adalah obligasi negara yang dijual kepada
individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual dengan
volume minimum yang telah ditentukan.
3.
Untuk
mewujudkan perkembagan perekonomian di Indonesia dalam rangkan langkah menarik
calon investor, maka ada beberapa variable kebijakan yang patut diperhatikan
yaitu: Pertama, terkait regulasi dan koordinasi antar instansi. Harmonisasi
regulasi dan koordinasi antar lembaga pemerintah perlu ditingkatkan. Kedua,
menjaga kesesuaian syariah sukuk. Ketiga,
peningkatan inovasi dan kualitas produk sukuk. Keempat,
edukasi dan sosialisasi publik.
B.
Saran
Menyadari bahwa
penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan
details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang
lebih banyak yang tentunnya dapat di pertanggung jawabkan.
Daftar Pustaka
Ali, Salman Syed, Islamic Capital Market
Products : Developments and Challanges, Jeddah: IRTI IDB, 2005.
Al-Misri, Rafiq
Yunus, Fa’idah al-Qard wa Nazariyyatuha al-Hadithah (Min Wijhati Nazri
al-Islam), Beirut: Dar Al-Fikr Al-Mu‘asir, 1999.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, juz. 3, cet. 4. Beirut: Dar Al-Fikr, 1997.
Ashari dan Saptana, Prospek Pembiayaan Syariah untuk
Sektor Pertanian,
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 23 No 2, 2005.
Aziz Abdul, “Manajemen Investasi
Syari’ah”, Bandung: Alfabeta, 2010.
Buang, Ahmad
Hidayat, Studies in The Islamic Law of Contracts: The Prohibition of
Gharar. Kuala Lumpur: International Law Book Services, 2000.
Hariyanto, Eri, pegawai
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu RI
Huda, Nurul & Mustafa Edwin Nasution, Investasi
Pada Pasar Modal Syariah. Jakarta: Kencana, Iqbal,
Zamir and Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori
dan Praktik. Terjemahan. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana,
2008.
Ibn ‘Arabi
(t.t.), Ahkam al-Qur’an, juz. 1. Beirut: Dar al-Ma‘rifa.
Manan H. Abdul, “Hukum Ekonomi Syari’ah(Dalam Perspektif
Kewenangan Peradilan Agama)”, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012.
Novi, Ristia Sandi, Penerapan Investasi Pada Aqiqah Berkah
Cabang Jombang Ditinjau Daari Fiqh Mauamalah, Kediri : EI, 2017.
Qureshi, Anwar
Iqbal, Islam and The Theory of Interest, ed. 2, Lahore: SH Muhammad
Ashraf, 1961.
Rifki, Ismal & Khairunnisa Musari, Sukuk
Menjawab Resesi. Jurnal Ekonomia- Republika. 2009.
Sarah, Adik Putri, Analisis
Faktor Yang Mempengaruhi Investor Terhadap Sukuk Negara Ritel, Program
Studi Ilmu Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi Falkutas Ekonomi Dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor 2014.
Vogel, Frank E,
dan Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance, London: Kluwer Law
International, 1998.
William F, Sharpe, INVESTASI,
Jakarta: Indeks, 2005.
http://www.detikfinance.com/read/2009/07/01/094110/1156911/5/depkeu-tidak-ada-aset-negara-yang-dijual-untuk-sukuk, diakses pada
13 April 2018.
http://indosukuk.com/2009/07/01/depkeu-tidak-ada-aset-negara-yang-dijual-untuk-sukuk/ diakses
pada 13 April 2018.
[1] Ristia sandi
novi, penerapan investasi pada aqiqah berkah cabang jombang ditinjau daari
fiqh mauamalah, (Kediri : EI, 2017), hlm.10-11.
[2] Sharpe,
William F, INVESTASI, (Jakarta: indeks, 2005), hlm.1.
[4] Manan H.
Abdul, “Hukum Ekonomi Syari’ah(Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama)”,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm.152- 153.
[5] Manan H.
Abdul, “Hukum Ekonomi Syari’ah(Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama)”,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm.155- 159.
[6] Ismal, Rifki & Khairunnisa Musari, Sukuk
Menjawab Resesi. Jurnal Ekonomia- Republika. 2009. Diakses
pada 14 April.
[7] http://www.detikfinance.com/read/2009/07/01/094110/1156911/5/depkeu-tidak-ada-aset-negara-yang-dijual-untuk-sukuk, diakses pada 13
April 2018.
[8]http://indosukuk.com/2009/07/01/depkeu-tidak-ada-aset-negara-yang-dijual-untuk-sukuk/ diakses pada 13 April 2018.
[9] Anwar Iqbal Qureshi, Islam and The Theory of
Interest, ed. 2, (Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1961), hlm. 44.
[10] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, juz. 3, cet. 4. (Beirut: Dar al-Fikr, 1997),
hlm.91.
[11] Rafiq Yunus al-Misri, Fa’idah al-Qard wa
Nazariyyatuha al-Hadithah (Min Wijhati Nazri al-Islam), (Beirut: Dar
al-Fikr al-Mu‘asir, 1999), hlm.34-35.
[12] Ahmad Hidayat Buang, Studies in The
Islamic Law of Contracts: The Prohibition of Gharar. (Kuala Lumpur:
International Law Book Services, 2000), hlm.32-33.
[14] Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic
Law and Finance, (London: Kluwer Law International, 1998), hlm.64.
[15] Salman Syed Ali, Islamic Capital Market
Products : Developments and Challanges, (Jeddah: IRTI IDB, 2005),
hlm.18-26.
[17]
Adik putri sarah, analisis faktor yang mempengaruhi investor
terhadap sukuk negara ritel, program studi ilmu ekonomi syariah departemen
ilmu ekonomi falkutas ekonomi dan manajemen institut pertanian bogor 2014.
[18]
Ashari
dan Saptana, Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor
Pertanian, Forum Penelitian
Agro Ekonomi, Vol. 23 No 2, 2005.
[19] Eri Hariyanto, pegawai Direktorat Jenderal Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar