MAKALAH
LARANGAN
MENIMBUN dan MONOPOLI
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah
HADITS
Dosen
Pengampu :
Hisbulloh Hadziq,
S.H.I,.M.Pd.I
Disusun
oleh :
Nama NIM
Retno
Sulistiyani 931335515
KELAS:
J
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan memiliki beberapa aturan
yang harus ditaati , apabila ingin hidup bahagia kita harus mentaati peraturan
tersebut. Aturan-aturan tersebut tertertulis dan tercantum dalam kitab Al-
Qur’an (Firman ALLAH SWT) dan Sunnatullah (Hadits Nabi), inilah pegangan hidup
manusia untuk menjalani kehidupan di dunia ini.
Hadits adalah segala sesuatu yang
datang dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan
hukum yang langsung diberikan oleh nabi atas suatu permasalahan syari’at.
Agama Islam sebagaimana diketahui
adalah agama yang tidak hanya berbicara tentang ibadah murni (mahdloh)
yang hanya berhubungan dengan segala sesuatu amal yang memiliki tendensi
ubudiyyah saja, yakni hubungan antara seorang hamba dengan tuhannya, akan
tetapi Islam juga merupakan sebuah konsep social yang didalamnya juga mengatur
dan memberikan norma-norma dalam yang berkaitan dengan mu’amalah. Berkaitan
dengan hal tersebut diatas penulis akan mencoba membahas tentang salah satu
praktek perdagangan yang sering kali terjadi di masyarakat, yakni apa yang
disebut sebagai Ihtikar (إحتكار ) dan akhlak yang tidak terpuji ( tercela)
). Dalam hal ini penulis akan mencoba memaparkan tentang hadits-hadits Nabi SAW
yang berkaitan dengan masalah –masalah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Larangan menimbun dan monopoli?
2.
Bagaimana
Larangan terhadap tengkulak?
3.
Bagaimana
Larangan menimbun dan monopoli barang pokok?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Larangan menimbun dan monopoli.
2.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Larangan terhadap tengkulak.
3.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Larangan menimbun dan monopoli barang pokok.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat
disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa
tentang larangan menimbun dan monopoli barang pokok.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Larangan
Menimbun dan Monopoli
Menimbun
dan memonopoli adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa dan
enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, sehingga mengakibatkan melonjaknya
harga pasar secara drastis karena disebabkan persediaan terbatas atau stok
barang hilang sama sekali dari pasar. Sedangkan masyarakat memerlukan produk,
manfaat, atau jasa tersebut.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum
monopoli (ihtikar), dengan perincian sebagai berikut:
1.
Haram secara
mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini di dasari oleh sabda
Nabi SAW:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Artinya:
“Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa”.
(HR. Muslim 1605).
2.
Makruh secara
mutlak, dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah
terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi
umatnya.
3.
Haram apabila
berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan
alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang
dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat
lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ فَقِيلَ لِسَعِيدٍ
فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِي كَانَ يُحَدِّثُ
هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ
Artinya:
“Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa
engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan
hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605).
Imam
Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar
(perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang
dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak
mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan
seorang tabi'in (mulia) yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka
meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini
menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).
4.
Haram ihtikar
disebagian tempat saja.
Seperti di kota
Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di
dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas
lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang
kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan
kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang
luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak
mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5.
Boleh ihtikar
secara mutlak.
Mereka
menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan
makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum
menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَازَفَةً عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ
حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Artinya:
“Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli
bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang
menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih
dahulu."
(HR. Bukhori
2131, dan Muslim 5/8).
Secara
esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar yaitu:
1.
Membeli barang ketika
harga mahal.
2.
Menyimpan
barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
3.
Kurangnya
persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.
4.
Penimbun
menjual barang yang di tahannya ketika harga telah melonjak.
5.
Penimbunan
barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.
B.
Larangan
Terhadap Tengkulak
وَعَنْ أَنَسٍ
رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ َصَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ عَنِ
اَلْمُحَاقَلَةِ, وَالْمُخَاضَرَةِ, وَالْمُلَامَسَةِ, وَالْمُنَابَذَةِ,
وَالْمُزَابَنَةِ )
رِوَاهُ
اَلْبُخَارِيُّ
Terjemahan Hadits:
“Anas berkata:
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara
muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu
bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah
(membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah”. Riwayat Bukhari.[1]
Penjelasan Hadits:
Menjual kurma
basah dengan kurma kering dengan takaran (yang sama) dan menjual anggur segar
dengan anggur kering (kismis) dengan takaran sama pula. Dalam hadits diatas
telah dijelaskan bahwa kelima jenis jual beli tersebut dilarang oleh Rasulullah
saw. Karena sistem jual beli tersebut dapat merugikan salah satu pihak.
Sebagaimana dalam Shahih Bukhori, hadits nomor 2312 juga dijelaskan mengenai
terlarangnya jual beli yang merugikan salah satu pihak, karena didalamnya
mengandung riba. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Said al Khudriy r.a.
Bahwa suatu ketika beliau membawa kurma kepada Nabi. Kemudian beliau bertanya
mengenai asal usul kurma tersebut, lalu beliau menceritakannya. Bahwa kurma tersebut
berasal dari akad jual beli (barter) kurma kering 2 sha’ dengan kurma yang baik
1 sha’. Lalu Rosul bersabda “Hati-hati, hati-hati ini riba, ini riba, jangan
lakukan. Apa bila kamu ingin membeli kurma yang bagus maka jual terlebuh dahulu
kurmamu yang jelek, kemudian hasil penjualanya gunakan untuk membeli kurma yang
bagus”.
Dr. Nasrun
Haroen, MA mengatakan bahwa dalam syariat Islam ditetapkan hak khiyar bagi
orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam
transaksi yang mereka lakukan. Dengan demikian ulama’ fikih sepakat menyatakan
bahwa jual beli yang mengandung unsur penipuan, seperti almulamasah dan
almuzabanah adalah tidak sah atau batil. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dilarangnya lima macam jual beli diatas berhak untuk memilih atau untuk
membatalkan penjualan.
Dijelaskan pula hadits mengenai larangan terhadap tengkulak (BM:1412)
عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَلَقَّوْا اَلرُّكْبَانَ، وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ» قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍمَ ا قَوْلُهُ: «وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ» قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا.
﴿مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ﴾
Terjemahan Hadits:
“Dari thawus
dari Ibnu abbas ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: “ Janganlah kamu
mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang kota menjual buat orang
desa.”Saya bertanya kepada Ibnu abbas, ” Apa arti sabdanya.? “Janganlah kamu
mencegat kafilah-kafilah dan jangan orang-orang kota menjualkan buat orang
desa,” Ia menjawab: “Artinya janganlah ia menjadi perantara baginya.” (Muttafaq
alaih, tetapi lafazh tersebut dari Bukhari).
Tinjauan Bahasa :
تَلَقُّو : Mencegat.
Maksudnya pergi menjumpai kafilah sebelum mereka sampai dikota dan sebelum mereka
mengetahui harga pasar.
الرُّكَّابَ :
Para pedagang yang
biasanya menunggang unta dan sering disebut kafilah.
سِمْسَار : Makelar
Penjelasan Hadits:
Diantra
kebiasaan masyarakat Arab adalah berdagang ke Negara tetangga. Dari Mekkah
mereka membawa barang-barang hasil produk Mekkah untuk dijual ke Negara lain
kemudian pulangnya mereka membawa barang-barang dari Negara lain yang sangat
diperlukan oleh penduduk Mekkah atau kota-kota lainnya di Arab untuk
memperdagangkan barang-barang mereka kepada penduduk Mekkah. Biasanya para
pedagang tersebut berangkat bersama-sama dalam satu rombongan besar yang
disebut kafilah.[2]
Sebenarnya para
kafilah tersebut sudah terbiasa behenti dipasar atau ditempat berkumpulnya
penduduk. Harga barang yang dibawa oleh rombongan dalam kafilah ini tentu saja
murah karena mereka merupakan pedagang pertama. Akan tetapi, penduduk seringkali
tidak mendapatkan barang secara langsung dari tangan kafilah karena
barang-barang tersebut telah dicegat lebih dulu oleh para
tengkulak atau makelar. Mereka memanfaatkan kesempatan tersebut
untuk menapatkan keuntungan besar, dengan cara menjual barang yang mereka beli
dengan harga lebih tinggi kepada penduduk yang tidak dapat membeli langsung
dari kafialah.
Dengan
demikian, kafilah pun tidak dapat lagi datang kepasar atau ke tempat-tempat
yang biasa dipakai untuk berjual beli dengan penduduk desa karena
barangnya habis atau penduduk desa sudah membeli barang dari para tengkulak,
dengan harga yang cukup tinggi. Keadaan tersebut sangat memadaratkan, baik bagi
para kafilah para penjual dipasar, maupun bagi para penduduk. Oleh karena itu,
perbuatan tersebut dilarang.[3]
Sebenarnya hadits diatas mengandung
dua larangan:
1.
Larangan mencegat para kafilah
Maksud
para kafilah disini, baik sendirian ataupun dalam rombongan banyak, baik memakai
kendaraan ataupun berjalan. Akan tetapi, biasanya kafilah datang dengan
rombongan besar dan mengendarai unta.[4]
Tempat yang dilarang mencegat barang adalah diluar pasar, atau diluar tempat
menjual barang.
Menurut
Hadawiyah dan Asy-syafi’I melarang mencegat barang diluar daerah, alasannya
adalah karena penipuan kepada kafilah, sebab kafilah belum mengetahui harganya.
Malikiyah, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa mencegat para kafilah itu
dilarang, sesuai dengan zahir hadits. Hanafiyah dan Al-Auja’i membolehkan
mencegat kafilah jika tidak mendatangkan mudarat kepada penduduk.
2.
Larangan menjadi perantara
Perantara merupakan
penafsiran Ibnu Abbas dari kata hadiru libad, yakni penduduk kota menjadi
perantara bagi penduduk desa.
Tujuan
para tengkulak dari kota menjadi perantara untuk mengambil keuntungan
sebanyak-bayaknya. Merka membohongi penduduk desa dengan menjual barang dengan
harga sangat tinggi sesuai keinginan mereka. Perbuatan tersebut tentu saja
dilarang oleh islam karena sangat memadaratkan.
Berbeda
hukumnya bila perantara betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat
membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah. Barang-barang tersebut
tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak (perantara). Perantara
seperti itu dibolehkan, bahkan ia menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak
mampu kekota untuk pergi membeli barang. Akan tetapi harganya jangan sampai
mencekik penduduk. Lebih baik jika tidak mengambil keuntungan ia hanya
mengambil keuntungan sedikit atau sekedarnya saja. Perantara seperti itu
dikategorikan sebagai pedagang yang diperbolehkan dalam Islam, bahkan kalau
jujur dan bersih, mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik.
Dengan
demikian, yang menjadi landasan tentang larangan untuk menjadi perantara adalah
adanya kemadaratan bagi penduduk, sedangkan jika menimbulkan kemaslahatan bagi
penduduk hal itu diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Telah
dijelaskan pula bahwa islam
mensyari’atkan penjual dan pembeli agar tidak tergesa-gesa dalam bertransaksi,
sebab akan menimbulkan penyesalan atau kekecewaan. Islam mensyari’atkan tidak
hanya ada ijab kabul dalam jual beli, tapi juga kesempatan untuk berpikir pada
pihak kedua selama mereka masih dalam satu majlis.
C.
Larangan
Menimbun dan Monopoli Barang Pokok
Menimbun yang diharamkan menurut
kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
a. Barang
yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu
tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu
tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun
untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan
rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan
harga mahal.
c. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah
kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain.
وَعَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: ( غَلَا اَلسِّعْرُ بِالْمَدِينَةِ عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ اَلنَّاسُ:
يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! غَلَا اَلسِّعْرُ, فَسَعِّرْ لَنَا, فَقَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اَللَّهَ هُوَ اَلْمُسَعِّرُ, اَلْقَابِضُ,
اَلْبَاسِطُ, الرَّازِقُ, وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اَللَّهَ -تَعَالَى-,
وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ )
رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Terjemahan
Hadits:
Anas Ibnu Malik
berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah terjadi
kenaikan harga barang-barang di Madinah. Maka orang-orang berkata: Wahai
Rasulullah, harga barang-barang melonjak tingi, tentukanlah harga bagi kami.
Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah lah
penentu harga, Dialah yang menahan, melepas dan pemberi rizki. Dan aku berharap
menemui Allah dan berharap tiada seorangpun yang menuntutku karena kasus
penganiayaan terhadap darah maupun harta benda.” Riwayat Imam Lima kecuali
Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
Dijelaskan pula pada Hadits Riwayah
Muslim mengenai larangan menimbun barang pokok:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ عَنْ يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ
قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ
لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ
يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ.)رواه مسلم
(
Terjemahan
Hadits:
Diceritakan dari Abdullah bin
Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id
berkata; Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar berkata;
Rasulullah saw pernah bersabda : Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar
(monopoli) maka dia adalah seseorang yang berdosa. Kemudian dikatakan kepada
Sa’id, maka sesungguhnya kamu telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata;
sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan ihtikar.
(HR. Muslim)
Penjelasan Hadits :
Dalam riwayat yang lain disebutkan
menggunakan lafadz : لَا يَحْتَكِر إِلَّا خَاطِئ lafadz خَاطِئ dalam hadits diatas menurut ahli
bahasa memiliki arti seseorang yang berbuat durhaka dan melakukan
perbuatan dosa.
Berdasarkan keterangan dalam kitab
Badrul Munir, mengutip yang disampaikan oleh Abu Mas’ud Al-Dimasyqi dari
riwayat Ibnu Musayyab menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh Sa’id adalah
melakukan penahanan atas barang berupa minyak. Sedangkan menurut Tirmidzi,
Sa’id bin Musayyab hanya melakukan penahanan atas beberapa komoditas yakni
minyak, biji gandum dan sejenisnya saja. Sedangkan menurut Abu Daud yang
dilakukan Sa’id adalah melakukan praktek ihtikar atas biji kurma, benang dan
rempah-rempah. Sedangkan menurut Ibnu Abdul Bar beliau menuturkan bahwa Sa’id
dan Ma’mar keduanya melakukan ihtikar atas minyak saja. Dan mereka berdua
beranggapan yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah melakukan penahanan
atas barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok saja, bukan komoditas lain
seperti minyak, biji kurma, rempah-rempah serta komoditas lain yang bukan
merupakan kebutuhan pokok.
Para ulama
membagi monopoli kedalam dua jenis:
a. Monopoli yang haram, yaitu monopoli pada
makanan pokok masyarakat, Sabda Rasulullah, riwayat Al-Asram dari Abu
Umamah:
أَنْ النبيُ صَلى الله عَليهِ وسلم نهَى أنْ يَحْتكِرُالطٌعَا مَ.
Artinya:
“Nabi SAW melarang monopoli makanan” Jenis inilah yang dimaksud dalam hadis bahwa pelakunya bersalah, maksudnya bermaksiat, dosa dan melakukan kesalahan.
“Nabi SAW melarang monopoli makanan” Jenis inilah yang dimaksud dalam hadis bahwa pelakunya bersalah, maksudnya bermaksiat, dosa dan melakukan kesalahan.
b. Monopoli yang diperbolehkkan, yaitu pada suatu
yang bukan kepentingan umum, seperti: minyak, lauk pauk, madu, pakaian, hewan
ternak, pakan hewan.
Sehubungan dengan celaan melakukan penimbunan
ini, telah disebutkan sejumlah hadis diantaranya:
· Hadits Umara dari Nabi SAW
مَنْ احْتَكَرَعَلى لمُسْلِمِيْنَ طَعَامُهُمْ ضَرَبَهُ اللهُ بِل اجُذامِ وَالاِ فْلاَ سِ
Artinya:
“Siapa menimbun makanan kaum muslimin, niscaya
Allah akan menimpakan penyakit dan kebangkrutan kepadanya.”
· Diriwayatkan Ibnu Majah dengan Sanad Hasan
اَجَالْ لِبُ مَرْزُوْقُ وَالمُحْتَكِرُمَلْعُوْنُ
Artinya :
“orang yang mendatangkan barang akan diberi
rezeki dan orang yang menimbun akan dilaknat”
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menimbun / memonopoli adalah tindakan
menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada
orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis
disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar,
sedangkan masyarakat memerlukan manfaat dari produk tersebut.
Secara esensi definisi di atas sama,
dan dapat difahami bahwa iktikar atau monopoli yaitu:
1. Membeli
barang ketika harga mahal.
2.
Menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
3. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan
harga juga naik.
4. Penimbun menjual barang yang di
tahannya ketika harga telah melonjak.
5. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.
5. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.
B.
Saran
Menurut kami masih banyak lagi yang perlu dipelajari dalam
larangan menimbun dan monopoli agar dapat memahami lebih dalam lagi tentang isi
dan kandungan Hadits pada larangan menimbun dan monopoli.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani
Ibn Hajar, Panduan Lengkap
Masalah-Masalah Fiqih, Akhlak dan Keutamaan Amal. Bandung: Mizan
Pustaka, 2010.
Rachmat
Syafe’I. Al-Hadits Aqidah,Akhlaq, Sosial, Dan Hukum. Bandung: Pustaka
Setia, 2000.
Salim
Abd.Rasyid, Meraih Jalan Petunjuk, Syarah Bulugul Maram 3. Bandung:
Nuansa Aulia, 2007.
Salim
Abd.Rasyid, Meraih Jalan Petunjuk, Syarah Bulugul Maram. Bandung: Nuansa
Aulia, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar