MAKALAH
SUMBER HUKUM EKONOMI
ISLAM
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah:
DASAR- DASAR EKONOMI
ISLAM
Dosen
Pengampu:
Alwi Musa Muzaiyin, S.EI, M.Sy
Disusun
oleh :
Retno
Sulistiyani 931335515
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A .Latar Belakang
Hukum Islam (syariah)
mempunyai kemampuan untuk berevolusi dan berkembang dalam menghadapi soal-soal
modern saat ini. Semangat dan prinsip umum hukum Islam fleksibel dan luas
berlaku di masa lampau, masa kini dan akan datang. Dalam banyak hal, pola
sistem hukum Islam menyerahkan perso’alan kekinian kepada akal dan ijtihad
manusia.
Elastisitas Hukum Islam itulah yang
menyebabkan Hukum Islam itu senantiasa akan dapat menjawab segala tantangan dan
kebutuhan zaman. Al-Qur’an hanya menjelaskan dasar-dasar umumnya saja bagi
permasalahan yang akan berkembang. Kaidah-kaidah umunya sudah ada, akan tetapi
rincian lebih lanjut akan diselesaikan melalui ijtihad manusia itu sendiri.
Termasuk dalam hal ekonomi, khususnya yang berkenaan dengan Ekonomi Islam yang
cakupannya sangat luas.
Kehidupan manusia tidak dapat
dipisahkan dan akan senantiasa berhubungan dengan yang namanya transaksi. Dalam
hal itu lah, bagaimana seharusnya sebagai ekonom Muslim bertindak dan
bertranskasi sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, perlu mempelajari
dasar-dasar Ekonomi Islam itu sendiri baik dimulai dari pengertian, hakikat hukum
ekonmi Islam dan sumber hukumnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, penyusun merumuskan masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini sebagai berikut:
1.
Apa yang
dimaksud dengan ekonomi Islam?
2.
Bagaimana
hakikat hukum ekonomi Islam itu?
3.
Apa saja
sumber-sumber hukum ekonomi Islam?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam.
2.
Untuk mengetahui hakikat hukum ekonomi Islam.
3.
Untuk mengetahui sumber-sumber hukum ekonomi Islam.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat disusunnya makalah ini
adalah untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang pengertian,
hakikat hukum, dan
sumber hukum ekonomi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
mempelajari perilaku ekonomi manusia yang diatur berdasarkan agama Islam dan
didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Kata ekonomi adalah masalah menjamin
berputarnya harta diantara manusia, sehingga manusia dapat memaksimalkan fungsi
hidupnya sebagai hamba Allah untuk mencapai falah di dunia dan akherat (hereafter).
Ekonomi adalah aktifitas yang kolektif. Sedangkan kata Islam setelah “Ekonomi”
dalam ungkapan Ekonomi Islam berfungsi sebagai identitas tanpa mempengaruhi
makna atau definisi ekonomi itu sendiri. Karena definisinya lebih ditentukan
oleh perspektif atau lebih tepat lagi worldview yang digunakan
sebagai landasan nilai.
B.
Hakikat Sumber
Hukum Ekonomi Islam
Hukum ekonomi adalah pernyataan mengenai kecenderungan. Maksudnya,
suatu pernyataan hubungan sebab akibat antara dua kelompok fenomena. Semua
hukum ilmiah adalah hukum dalam arti yang sama. Jika terjadi kominasi antara
hoidrogen dan oksigen, sedangkan hal-hal lainnya sama keadaannya, maka ia
memperoleh air. Demikian pula dalam ilmu ekonomi, jika hal-hal lain sama
dengan keadaannya sedangkan harga suatu
komodti naik, maka perintaan akan barang
itu biasanya akan menurun. Jika hukum kimia adalah suatu hukum alam, maka hukum
ekonomi juga merupakan hukum alam dalam arti yang sama. Tetapi hukum- hukum
ekonomi tidak bisa setepat hukum ilmu-ilmu
pengetahuan alam. Hal ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut.
Pertama, ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan sosial. Dengan
demikian harus menghadapi banyak orang yang dikendalikan oleh banyak motif.
Unsur ini dalam situasinya, menyebabkan kenyataan bahwa hukum-hukum ekonomi
hanya dapat memberikan hasil rata-rata. Kedua, data ekonomi tidak saja banyak
jumlahnya, tetapi data itu sendiri bisa berubah. Karena sikap, selera dan watak
manusia bisa berubah pada suatu jangka waktu, maka tugas untuk meramalkan
bagaimanakah perbedaan reaksi manusia terhadap suatu perubahan keadaan tertentu
pada kesempatan yang berbeda menjadi sangat riskan dan berbahaya. Semua data
tidak dapat diketahui, dan ramalan berdasarkan data yang diketahui yang mungkin
dipalsukan atau diubah oleh pengaruh data yang tidak diketahui. Tetapi hukum
ekonomi mungkin dapat dibandingkan dengan hukum pasang surut dari hukum gaya
berat yang sederhana dan eksak. Hukum pasang surut menerangkan bagaimana
terjadinya naik dan turun dua kali sehari, karena pengaruh matahari dan bulan,
bagaimana terjadinya pasang surut yang hebat pada bulan purnama. Demikian
halnya pada kegiatan manusia banyak pula terjadi hal-hal yang tidak terduga
sebagai akibat peristiwa yang diharapkan tidak terjadi dengan cara yang biasa.
Semua hukum ekonomi pada hakikatnya tidak bersifat hipotetik. Ada
beberapa hukum ekonomi yang dianggap benar seperti hukum alam. Namun ilmu
ekonomi tidak seperti ilmu alam maupun cabang dari imu sosial lainnya. Ilmu
ekonomi mempunyai pengukur bersama dari motif-motif manusia dalam bentuk uang.
Sebagaimana yang dikatakan Marshall “Seperti juga neraca halus, seorang ahli
kimia telah membuat ilmu kimia lebih eksak daripada ilmu pengetahuan manapun,
demikian pula neraca ahli ekonomi sekalipun secara kasar dan tidak
sempura-telah membuat ilmu ekonomi lebih eksak dibandingkan dengan cabang
ilmu-ilmu sosial lain yang manapun”. Demikian ilmu ekonomi, walaupun kurang
eksak dibanding ilmu-ilmu pengetahuan alam tetapi jauh lebih eksak daripada ilmu-ilmu sosial lainnya.
Secara umum, ilmu ekonomi tidak memberikan kumpulan kesimpulan dan doktrin yang
mapan kepada kita. Sebaliknya, memberikan perlengkapan pikiran, teknik
berpikir, pandangan, dan pendekatan. Latihan dan teori dalam analisis ekonomi
memungkinkan kita untuk memahami problem ekonomi yang konkret dengan lebih
baik, dan juga melengkapi kita untuk mendapatkan pemecahan ilmiah bagi
masalah-masalah kita. Dengan analisis singkat tentang hukum ekonomi ini
selanjutnya kita dapat menjelaskan konsep dasar hukum Islam dan kemampuannya
ber-evolusi guna menghadapi problem yang bertentangan di masa kini.
C.
Sumber-Sumber
Hukum Ekonomi Islam
Keunikan hukum ekonomi islam adalah karena
keluasan dan kedalaman asas – asanya mengenai seluruh masalah umat manusia yang
berlaku sepanjang masa. Seluruh dasar dan sumber hukum Islam merupakan mukjizat
yang tetap dan kekal – mukjizat dalam arti bahwa hukum Islam tidak hanya dapat
dibandingkan dengan hukum pasang surut, tetapi juga dengan hukum gaya berat
yang sederhana, dan eksak. Karena, sekalipun hukum Islam selalu menghasilkan
kebenaran baru dan tuntunan seger pada setiap masa dan tingkatan, tuntunan juga
dibandingkan telah diberikan bagi umat manusia melalui rangkaian wahyu
fundamental dan abadi yang telah diberikan Allah kepada Nabi S.A.W. Pada
tingkat ini perlu mendalami dasar dan sumber Hukum Islam yang sebenarnya, untuk
menetapkan bahwa itu adalah bimbingan tetap bagi umat manusia di setiap zaman yang
akan datang. Kita semua mengetahui bahwa pada dasarnya ada empat sumber Hukum
Islam, yaitu:
1.
Al-Qur'an
Kedudukan
Al-Qur'an sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila
seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang
harus ia lakukan adalah mencari penyelesaiannya dari Al-Qur'an. Selama hukumnya
dapat diselesaikan dengan Al-Qur'an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain
diluar Al-Qur'an.
Demikian
juga sesuai dengan kedudukan Al-Qur'an sebagai sumber utama, atau pokok hukum
Islam, berarti Al-Qur'an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Oleh
karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur'an maka
harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan tidak boleh melakukan sesuatu yabg
bertentangan dengan Al-Qur'an. Hal ini berarti bahwa sumber hukum selain
Al-Qur'an tidak boleh menyalahi apapun yang telah ditetapkan Al-Qur'an.
Kekuatan
hujjah Al-Qur'an sebagai sumber hukum dan dalil hukum syari'ah, termasuk
didalamnya syari'ah perekonomian terkandung dalam ayat Al-Qur'an yang
memerintahkan umat manusia mematuhi Allah SWT.[1]
2.
As-Sunnah
Dasar
hukum hadits atau sunnah sebagai rujukan setiap persoalan termasuk bidang
manajemen setelah Al-Qur'an adalah surat Al Hasyr ayat 7 yang artinya:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah".
Abdul Mannan (1993) menegaskan bahwa kini tiba saatnya untuk
menafsirkan danemginterpretasikan hadits tidak semata-mata dalam bentuk
harfiah, tetapi juga dalam jiwanya. Penafsiran hadits dan sunnah harus
memerhatikan perspektif sejarah, oleh karena itu dalam suatu masyarakat yang
berkembang secara cepat, penafsiran kitab suci Al-Qur'an dan As- Sunna h harus
menjadi tuntunan bagi pemahaman dan tidak untuk formalisme semata.[2]
3.
Ij’ma
Ijma’ sebagai
sumber ketiga hukum islam merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun para
cendikiawan agama. Perbedaan konseptual antara Sunnah dan Ijma’ terletak
pada kenyataan bahwa Sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran
– ajaran Nabi dan diperluas kepada para sahabat karena mereka merupakan sumber
bagi penyampaiannya, sedangkan Ijma’ adalah suatu prinsip isi
hukum baru yang timbul sebagai akibat dalam melakukan penelaran dan logikanya
menghadapi suatu masyarakat yang meluas dengan cepat, seperti halnya dengan
masyarakat Islam dini, yang bermula dengan para sahabat dan diperluas kepada
generasi – generasi berikutnya.
Kita menemukan pembenaran terhadap Ijma’ sebagai
sumber dinamik baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: “
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu ( umat Islam ) umat yang adil…. “
( Q.S Al Baqarah, 2: 143 ). Juga diriwayatkan bahwa Nabi telah
bersabda: “ Umatku tidak akan bersepakat untuk menyetujui kesalahan
“. Sesungguhnya Ijma’ “ Tidak hanya dimaksudkan untuk
melihat kebenaran di masa lampau “, Ijma’lah yang menentukan apakah
dulunya Sunnah Nabi itu, dan bagaimanakah penafsiran Al-Qur’an yang
benar. Dalam analisis yang terakhir baik Al-Qur’an maupun Sunnah telah
dibuktikan keasliannya melalui Ijma’.
Di sinilah terletak dinamika Hukum Islam. N.P.
Aghnides dengan tepat menyatakan “ arti penting Ijma’ “ dalam
hukum Islam hampir – hampir tidak dapat diragukan nilainya. Walaupun
pengaruh Ijma’ bersifat mempersatukan, namun sebenarnya tetap masih
ada sisa perbedaan
pendapat
tertentu tentang suatu persoalan kecil yang tidak disepakati, tetapi hal ini
oleh para ahli hukum agama ditafsirkan sebagai suatu pertanda adanya rahmat
Tuhan terhadap umat-Nya, karena dalam hal inipun sebenarnya terdapat Ijma’ ,
yakni, bahwa perbedaan yang demikian tidak dapat diremehkan, karena merupakan
pertanda rahmat Tuhan. Ijma’ ini didasarkan pada Hadits, ketika
Nabi bersabda: “ Perbedaan pendapat umatku, adalah pertanda adanya
rahmat yang datangnya dari Tuhan.
4.
Ijtihad Qiyas
Dalil
atau petunjuk yang membolehkan ijtihad atau qiyas ini sebagai landasan hukum
dalam fiqih Islam termasuk Fiqh Mu'amalah adalah dalam surat An Nisa ayat 59:
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul-Nya,
dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya"
Perintah
menaati Allah berarti mengikut hukum dalam Al-Qur'an: perintah mengikuti Rasul
berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang terdapat dalam sunnah, dan
perintah untuk menaati ulil amri berarti perintah mengikuti hukum hasil ij'ma
ulama.[3]
Prinsip-Prinsip Hukum
Lainnya:
1. Istihsan
Terpenting di antara tiga prinsip ini
adalah Istihsan yang hanya dianjurkan oleh Mazhab Hanafi.
Secara harfiah artinya adalah menganggap sesuatu itu baik dan benar. Menurut
risalah “ Usul Fiqh “, secara teknis Istihsan menyatakan
pengabaian pendapat yang dihasilkan melalui penelaran analogi ( Qiyas ) dengan
lebih menyukai suatu pendapat berbeda yang didukung oleh pembuktian yang lebih
kuat. Titik tolak Qiyas yang seperti itu mungkin didasarkan
pada bukti yang terdapat dalam Sunnah,atau Ijma’ berdasarkan
kebutuhan ( darurah ), atau pada apa yang oleh penganut Qiyas pertama
yang dalam kenyataannya lebih kuat daripadanya. Dengan demikian kita lihat
bahwa Istihsan ternyata merupakan “suatu sarana yang lebih
efektif daripada Qiyas dalam memasukkan unsur-unsur baru, karena
dalam hal ini ketentuan-ketentuan untuk menetapkan persoalan adalah lebih mudah
daripada dalam Qiyas, maka ia memberi kemungkinan-kemungkinan
yang lebih besar”. Hal ini yang diperlukan adalah untuk melihat dalam unsur
baru yang penggunaanya menghendaki adanya suatu sifat yang dimiliki oleh suatu
persoalan yang telah disetujui atau dlarang oleh sumber-sumber dan sasaran yang
tercapai.
2. Istislah
Istislah berarti melarang atau
mengizinkan suatu hal semata-mata karena ia memenuhi suatu “maksud yang baik” (
maslahah ), walaupun tidak ada bukti jelas pada sumber yang diwahyukan
untuk mendukung tindakan semacam itu. Istislah oleh sementara
orang disebut “deduksi mandiri” ( istidlal mursal ), atau
“deduks” ( istidlal ) saja. Dalam hal ini “maksud yang
berguna” dinyatakan dari segi keperluan mutlak atau hanya dari segi
kemanfaatan, untuk meningkatkan suatu maksud yang baik.
3. Istishab
Prinsip ini diajukan oleh Imam Shafi’i.
Menurut Istishab, bila eksistensi sesuatu hal telah pernah
ditetapkan dengan bukti, walaupun kemudian timbul keraguan mengenai kelanjutan
eksistensinya, ia masih tetap dianggap ada. Disebut Istishab
al-hal, bila masa kini dinilai menurut masa silam, dan disebut Istishab
al-madi, jika kebalikannya yang terjadi. Prinsip ini juga diakui oleh
Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, tetapi hanya untuk menyangkal suatu
pernyataan (dawa), yaitu sebagai alat pembelaan (daf’
dawa), dan bukan untuk menetapkan suatu pernyataan (dawa).[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
mempelajari perilaku ekonomi manusia yang diatur berdasarkan agama Islam dan
didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Dimana dalam
penerapannya sistem, konsep dan kriteria berdasarkan ajaran islam yang bersumber
hukum dari Al-Qur’an, As-sunnah, Ij’ma dan Qiyas juga prinsip hukum lain yaitu
Istishan, Istislah, dan Ishtishab dengan tujuan supaya mencapai kemaslahatan
bersama dalam transaksi pemenuhan kebutuhan yang sesuai dengan syari’at Islam.
B. Saran
Demikian
makalah yang penulis buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah
wawasan dan pemahaman kita terhadap pengertian, sistem, konsep,
karakteristik, dan sumber hukum ekonomi Islam. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi
bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran
yang diberikan, guna penyempurnaan makalah penulis berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al- “Assal, Ahmad
Muhammad dan Karim, et. al, Sistem, Prinsip Dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung: Pustaka Setia
1999.
Az – Zain, Samih Athif, Syariat Islam
Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik, Dan Sosial Sebagai Perbandingan. Bandung:Penerbit
Husairi 1988.
Hakim, Lukman, Prinsip- prinsip ekonomi Islam, Jakarta:
Erlangga 2012.
Lubis, Ibrahim, Ekonomi
Islam Suatu Pengantar. Jakarta: Kalam Mulia1995.
Mannan, Abdul, Teorri Dan Praktek
Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf 1993.
[1] Lukman Hakim, Prinsip-
prinsip ekonomi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm.19.
[2] Lukman Hakim, Prinsip- prinsip ekonomi Islam, (Jakarta:
Erlangga, 2012), hlm.20-21.
[3] Lukman Hakim, Prinsip- prinsip ekonomi Islam, (Jakarta:
Erlangga, 2012), hlm.22.
[4] Abdul Mannan, Teorri Dan Praktek Ekonomi Islam. (Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm.38-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar