Rabu, 19 Desember 2018

Makalah Akhlak Tasawuf: Tawakal

MAKALAH
TAWAKAL
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:
AKHLAK TASAWUF
Dosen Pengampu:
Ruston Nawawi, M. A

Disusun oleh :
Muhamad Wildan Saifulloh                            931311815
Retno Sulistiyani                                            931335515
Arif Saputra                                                    931338115

Kelas: C

FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) KEDIRI

2018

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
          Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata tawakal. Bagi sebagian orang telah mengerti makna dari tawakal tersebut namun ada pula sebagian orang yang belum paham mengenai makna tawakal. Dalam makalah ini akan mejelaskan tentang pengertian, macam-macam, derajat, fondasi, tingkatan tawakal, serta sikap orang-orang yang bertawakal dan juga tawakal dalam mencari rezeki, serta hikmah bertawakal. Sebagian orang menganggap bahwa tawakkal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Misalnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan tes. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, " Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban . " Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakkal?! Semoga pembahasan di makala ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakkal yang sebenarnya dan apa saja manfaat dari tawakkal tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian tawakal?
2.      Apa saja dan bagaimana pembahasan mengenai tawakal?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana pengertian tawakal.
2.      Untuk mengetahui apa saja dan bagaimana pembahasan dalam tawakal.






BAB II
PEMBAHASAN

A.         Pengertian Tawakal
Tawakal secara etimologis berasal dari (bahasa Arabتوكُل) atau tawakkul dari kata wakala dikatakan, artinya, ‘meyerah kepada-Nya.[1]
Sedangkan secara terminologi, tawakal adalah membebaskan diri dari ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya. Serang muslim hanya boleh bertawakal kepada Allah semata-mata Allah berfirman dalam Q.S Hud :123:
وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan kepunyaan Allah lah apa yang ghaib dilangit dan dibumi dan kepada-Nya lah kembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-sekali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”[2]
Tawakal juga dapat dikatakan berserah diri kepada Allah Tuhan semesta alam secara bulat dan utuh. Kata-kata bulat dan utuh inilah yang sering kali membuat orang salah menafsirkannya. Ini tidak berarti menyerahkan sesuatu tanpa melakukan usaha, melainkan berusaha dulu kemudian menyerahkannya kepada Tuhan secara bulat dan utuh.[3]
Sebagai contoh, anda memasuki sebuah toko untuk berbelanja. Pada saat itu anda membawa sebuah kendaraan. Sebelum memasuki toko, Anda mengunci kendaraan itu agar tidak diambil pencuri. Setelah yakin Anda menguncinya barulah memasuki toko tersebut. Ini lah yang disebut tawakal dengan benar. Adapun kalau setelah belanja keluar dari toko kendaraan itu hilang, Anda dianggap tidak bersalah karena tawakal Anda sudah benar. Allah telah menakdirkan Anda akan kehilangan kendaraan. Akan tetapi jika Anda tidak menguncinya, lalu langsung memasuki toko kemudian kendraan Anda hilang, lalu Anda berkata “sebenarnya aku ini telah bertawakal dengan bulat dan utuh kepada Tuhan”, maka ucapan Anda itu keliru sebab cara yang Anda gunakan sama sekali bukan tawakal yang dibenarkan.
Pada zaman Rasulullah SAW, pernah ada kejadian yang menggambarkan kesalahan pengertian tentang tawakal. Riwayat ini kami cantumkan benar-benar menjelaskan kekeliruan tersebut. Seorang laki-laki datang mengahadap Nabi SAW untuk sutu kepentingan. Ia membawa seekor unta . Ketikanya ditanya tentang untanya, ia menjawab dengan bangga:
أرسِلُ نَاقَتِي وَأتَوَكَّلُ
Artinya: “Aku membiarkannya lepas (tidak ditambatkan pada suatu pohn atau tiang) sebab aku bertawakal.”
Ketika Rasulullah SAW mendengar jawaban tersebut, tampak perubahan pada wajahnya lalu beliau bersabda:
اِعقِلهَاوَتَوَكَّلْ
Artinya: “Tambatkan dulu untamu, lalu bertawakallah”.
Riwayat diatas mengisyaratkan bahwa tanpa berusaha dan langsung menyatakan bertawakal adalah tidak benar. Apabila Rasulullah SAW tidak membenarkannya berarti agama yang dibawa oleh beliau yakni agama Islam, pun tidak membenarkannya. Persoalan ini penting untuk kita jadikan pedoman dalam segenap usaha dan pekerjaan kita.[4]

Tawakal dan Ikhtiar
Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. Sikap pasarah seperti itu adalah salah satu bentuk kesalahpahaman terhadap hakikat tawakal. Rasululloh dan kaum Muslimin generasi awal telah memberikan cntoh bagaimana seharusnya memahami tawakal. Mereka adalah para pekerja keras dalam berbagai lapangan kehidupan, perdagangan, pertanian, perindustrian, keilmuan, dan lain sebagainya. Rasululloh mendorong umatnya untuk bekerja keras. Beliau selalu berdo’a agar di jauhkan dari sifat-sifat yang lemah dan malas.
Islam memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti sunnatullah tentang hukum sebab dan akibat.Usaha harus selalu dilakukan . Oleh sebab itu, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk tetap selalu waspada, tidak lalai, atau acuh tak acuh. Dalam firman-Nya yang terdapat pada Q.S An- Nisa’ :71
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا
Artinya: “Hai orang-rang yang beriman, bersiap siagalah kamu dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok kelompok, atau majulah bersama-sama.”.[5]

B.     Pembahasan Mengenai Tawakal
Macam-macam Tawakal
Ada empat golongan rang bertawakal:
1.    Orang yang bertawakal dalam mengukuhkan iman, menegakkan ajaran agama Allah, meninggikan kalimat-Nya
2.    Orang yang bertawakal agar bisa beristiqomah, tepelihara hubungan baiknya dengan Allah, dan tidak bergantung pada manusia
3.    Orang yang bertawakal untuk mendapatkan kebutuhannya, seperti rezeki, kesehatan dan pertolongan menghadapi musush, dan lain-lain.
4.    Orang yang bertawakal dalam mewujudkan perbuatan dosa dan tindak kejahatan. Mereka menjerumuskan diri kedalam kehancuran sambil berharap agar Allah menyelamatkan dan menyukseskan mereka dalam mewujudkan keinginan.

Derajat Tawakal
Secara sederhan derajat tawakal dibagi menjadi tiga yaitu:
1.    Pertama, tawakal dengan meminta dan berusaha menyibukkan diri, akibat terdorong rasa takut yang positif, sembari tanpa pamrih menebar manfaat kepada orang lain.
2.    Kedua, bertawakal dengan tanpa meminta, tidak bergantung pada pekerjaan, berusaha memperbaiki tawakal, meredam rasa bangga, dan berkonsentrasi menunaikan kewajiban. Maksud dari “tanpa meminta” adalah tidak meminta kepda sesama makhluk, bukan tidak meminta kepada Allah.
3.    Ketiga, bertawakal sambil memahami faktor yang bisa menodainya. Caranya, menyadari bahwa kekuasaan Allah SWT. Terhadap segala sesuatu bersifat mutlak dan tanpa sekutu. Inilah bentuk penghambaan yang sejati dan hakiki: menginsafi bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan yag menguasai segala sesuatu.[6]

Delapan Fondasi Tawakal
Tawakal pada dasarnya terbangun diatas beragam fondasi yang hanya sempurna jika semua fondasi tersebut tersusun rapi dan saling melengkapi, ragam fondasi itu sebagai berikut:
1.    Pertama, mengetahui Allah berikut sifat-sifatnya. Pengetahuan inilah yang menjadi anak tangga pertama yang harus dipijaki dalam mendaki tangga tawakal.
2.    Kedua, meyakini adanya hukum sebab-akibat, berarti tawakal anda belum sempurna. Ada yang berpendapat bahwa mempercayai hukum sebab-akibat bisa mencederai tawakal. Pendapat ini salah, karena tawakal merupakan sebab terkuat yang bisa membuat Anda meraih apa yang Anda inginkan. Tawakal sama seperti do’a, sebab untuk mendapatkan segala harapan.
3.    Ketiga, mengukuhkan hati kepada Tauhid. Semakin murni Tauhid seseorang maka semakin benar tawakalnya.Tawakal seseorang sempurna apabila tauhid tertanam kuat didalam kalbu. Bahkan hakikat tawakal adalah pengesaan terhadap Allah SWT. Kalau seseorang masih berpaling dan  bergantung kepada selain Allah berarti ada didalam ruang hatinya yang tidak terisi oleh-Nya. Itu artinya tawakal orang tersebut belum benar.
4.    Keempat, menyandarkan hati kepada Allah dan merasa nyaman bergantung kepada-Nya. Singkirkan ketergantungan kepada “sebab”, lalu tentramkan hati dengan bersandar kepada-Nya. Dengan begitu Anda takan peduli dengan ada atau tidak adanya “sebab” dan Anda tidak akan cemas apabila kehilangan sesuatu yang Anda cintai, atau mendapatkan sesuatu yang Anda benci. Karena ketergantungan kepada Allah dapat menenangkan hati Anda.
5.    Kelima, berbaik sangka kepada Allah SWT. Semakin Anda berbaik snagka kepada-Nya maka semakin sempurna tawakal Anda.
6.    Keenam, Menyerahkan hati secara utuh kepada Allah SWT dan tidak membangkang-Nya.
7.    Ketujuh, pasrah. Inilah ruh dan hakikat tawakal. Serahkan dan pasrahkan semua urusan kepada Allah SWT. Sambil memohon dan berusaha, tanpa ada rasa dipaksa dan terpaksa. Kepasrahan disini ibarat Anda masih kecil dan menyerahkan segala urusan kepada orang tua. Bagi Anda, merekalah orang-orang terbaik yang paling tahu dalam menyayangi, mencukupi kebutuhan, mendidik, dan membesarkan Anda. Anda menyadari bahwa dibawah asuhan mereka Anda merasa jauh lebih tenang. Dibawah asuhan mereka adalah lebih baik daripada Anda harus mengurus diri Anda sendiri.
8.    Kedelapan, ketika Anda telah sampai pada tingkatan ini Anda sudah menjejakkan kaki pada tingakatan ridha yang merupakan buah dari tawakal. Andapun sejatinya telah memaknai tawakal sebagai buah dengan manfaat yang sangat besar. Jadi, jika Anda bertawakal dengan benar, Anda pasti rela terhadap semua kehendak Allah SWT.[7]

Tingkatan Tawakal
Tingkatan keadaan yang disebut tawakal berdasarkan kekuatan dan kelemahannya yaitu:
1.        Pertama, yaitu keadaan dimana Anda meyakini kebenaran bahwa Allah membantu dan menolong hamba-Nya, sebagaimana Anda mempercayai orang yang menjadi wakil Anda
2.        Kedua, tingkatan yang lebih tinggi, keadaan dimana Anda merasa bersama Allah bagaikan anak dalam dekapan sang Ibu. Anak-anak hanya mengenal Ibunya, meminta tolong kepadanya, dan hanya bersandar kepadanya. Ketika ada bahaya menimpa, pikirannya hanyalah sang Ibu dan kata pertama yang terlntar dari lidahnya adalah “Ibu”. Jadi, jika Anda menghamba kepada Allah, meyakini segala sesuatu datang dari-Nya, percaya dan bersandar kepada-Nya layaknya seorang bayi kepada Ibunya, maka tawakal Anda sudah benar.
3.        Ketiga, tingkatan ini merupakan tingkatan tertinggi yakni keadaan dimana Anda memosisikan diri dihadapan Allah layaknya jenazah didepan orang yang memandikannya, atau seperti anak kecil yang hendak dipisahkan dari Ibunya. Anda merasa mati ketika jauh dari-Nya.[8]

Sikap-sikap Orang Bertawakal
Agama memuji orang-orang yang menampakkan tawakalnya melalui usaha nyata meraik keinginan. Usaha tersebut dapat berupa kegiatan yang mendatangkan manfaat seperti mencari nafkah, mejaga sesuatu yang sudah dimiliki semisal menyimpah harta, mengantisipasi bahaya yang akan datang seperti menghindari serangan, atau menghindari bahaya yang sudah didepan mata semisal berobat ketika sakit. Secara sederhana sikap seseorang bisa dipetakan menjadi empat bagian  yaitu:
1.      Sikap pertama: Meraih sesuatu yang bermanfaat
Ada tida faktor yang bisa mendatangkan manfaat.
Pertama, sebab yang kuat. Yakni sebab yang bertalian erat dengan akibta serta sejalan dengan takdir dan kekuasaan Allah tanpe peru lagi pembuktian. Misalnya, Anda lapar dan diahadapan Anda tersedia makanan tetapi Anda tidak mengulurkan tangan untuk mengambil makanan itu. Anda hanya membatin “aku bertawakal kepada Allah” ini bukan tawakal. Kalau Anda menunggu Allah menciptakan rasa yang kenyang tanpa harus makan, berarti Anda tidak mengetahui sunatullah. Sama halnya Anda tidak menanam tetapi berharap Allah menyemai benih untuk Anda dan menumbuhkannya.
Kedua, sebab yang lemah, namun biasanya membuahkan akibat-akibat yang pasti. Misalnya Anda melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang sulit dijamah manusia tanpa membawa bekal sama sekali, Anda seperti menguji Allah. Ini merupakan perbuatan yang jelas tidak diperbolehkan. Membawa bekal dala perjalanan adalah sesuatu yang diperintahkan. Rasulullah SAW selalu membawa bekal setiap kali hendak bepergian.
Ketiga, sebab yang tidak selalu menghasilkan akibat pasti. Misalnya Anda merancang tata cara bekerja dengan sangat terperinci. Selama kegiatan Anda benar dan tujuan Anda tidak bertentangan dengan syariah Anda masih bisa disebut dengan bertawakal. Hanya saja Anda akan disebut serakah jika tujuan Anda hanya untuk menumpuk harta.
Meninggalkan usaha jelas-jelas bukan tawakal melainkan kebiasaan pemalas yang enggan bekerja dan mencba berlindung dibalik kata “aku bertwakal”. Umar Bin Khaththab pernah berkata “orang yang bertawakal adalah oang yang menyemai benih kemudian memasrahan diri kepada-Nya”.

2.        Sikap kedua: Menjaga sesuatu yang sudah dimiliki
Sekiranya Anda menyimpan makanan halal yang Anda dapatkan dari bekerja keras, Anda tetap dikatakan bertawakal. Terlebih lagi kalau Anda mempunyai keluarga yang harus dihidupi. Dalam Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dikisahkan bahwa Rasulullah SAW pernah menjual pohon kurma milik Bani Nadhir dan menyimpan makanan untuk memenuhi kebutuhan keluarga beliau selama satu tahun.
Kalau ada yang bertanya: bagaimana dengan tindakan Rasulullah SAW yang melarang bilal menyimpan makanan? Jawabannya, orang-orang miskin bagi Rasulullah saw seperti tamu. Untuk apa mereka menyimpan harta jika mereka dijamin tidak akan lapar? Bilal dna sahabat Ahlus Suffah lainnya memang tidak layak menyimpan harta. Jika pun menyimpan harta tindakan mereka sama sekali tidak tercela. Mereka hanya terlihat bertolak dengan kondisi mereka yang sangat bersahaja.

3.        Sikap ketiga: Mengantisipasi bahaya
Tawakal tidak menuntut Anda mengabaikan usaha untuk mengantisiapasi bahaya. Anda tidak boleh tidur di sarang binatang buas, disaluran irigasi, atau dibawh dinding yang akan runtuh. Tawakal tak akan ternodai karena Anda menggunakan zirah besi pada saat bertempur, mengunci pintu, atau menambatkan binatang.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang bertamu kepada Rasululah sawdengan mengendarai unta. Lalu bertanya “Rasulullah, kutambatkan untaku lalu aku bertwakal ataukah kulepaskan saja lalu aku bertawakal?” Beliau menjawab, “Tambatkan dulu untamu, dan sesudah itu bertawakallah”. (H.R Tirmidzi)
Jadi Anda harus bertawakal terhadap akibat, bukan sebab. Tawakal inilah yang membuat anda selalu ridha dengan takdir Allah. Jika Anda mengeluh karena barang-barang Anda yang sering dicuri akibat sengaja tidak Anda kunci, padahal jika dikunci barang-barang itu tidak dicuri, berarti Anda menunjukkan sifat yang jauh dari tawakal.

4.      Sikap keempat: Menepis bahaya
Usaha untuk menepis bahaya bisa dibagi menjadi tiga yaitu:
Pertama, usaha yang pasti. Contohnya: air dapat menghilangkan dahaga dan roti dapat menghilangkan lapar. Artinya, makan dan minum sama sekali tidak mengurangi tawakal.
Kedua, usaha yang kurang pasti. Contoh: terapi, bekam, minum obat, dan sejenisnya. Semua ini adalah usaha yang tidak menodai tawakal sebab Rasulullah sendiri pernah berobat dan menganjurkan kita untuk berobat. Kebanyakan muslim melakukannya namun ada juga segelintir rang yang tidak. Contohnya, Abu Bakar ketika beliau menderita sakit.
“Maukah kupanggilkan tabib untuk mengobatimu” tanya sahabat.
“Dia sudah melihtaku” jawabnya.
“Lalu apa katanya?”
“Sungguh Aku melakukan apa yang Ku-kehendaki” jawab Abu Bakar mengutip ayat Al-Qur’an.
Dalam hal ini saya menegaskan bahwa berobat lebih utama. Kasus Abu Bakar bisa kita maknai dengan dua kemungkinan: (1) Dia sudah berbat sehingga tidak mau berbat lagi. (2) Dia mengetahui ajalnya sudah dekat melalui tanda-tanda tertentu
Ketiga, usaha yang meragukan. Contohnya adalah terapi dengan sundutan api. Usaha ini jelas tidak melambangkan rasa tawakal, karena Rasulullah sudah pernah menjelaskan bahwa orang yang berobat dengan sundutan api adalah orang yang tidak bertawakal. Beliau bersabda “tujuh puluh ribu orang umatku akan masuk surga tanpa dihisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah meramal nasib, tidak pernah bertobat dengan besi yang dipanasksn, tidak percaya jampi, dan bertawakal kepada Allah”. (H.R Ahmad).

Tawakal dalam Mencari Rezeki
Dalam bertawakal, seorang hamba wajib membenrkan keterangan tentang kelangsungan pemberian rezeki, jaminan kecukupan, dan ketersediaan makanan dari Allah SWT. Selama kurun waktu yang telah ditetapkan. Pembenaran ini diwujudkan dalam bentuk keyakinan dalam hati, dengan menepis keraguan dan kesangsian, memurnikan keyakinan, serta mengukuhkan segenap pengetahuan bahwa Allah-lah yang menciptakan dan memberikan rezeki, yang menghidupkan dan mematikan. Dialah Tuhan yang seluruh perintah-Nya harus ditaati.  Allah SWT berfirman:
(وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (٢٢) فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ (٢٣
Artinya: “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang diajnjikan kepadamu. Demi Tuhan langit dan bumi sungguh yang dijanjikan benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (Q.S Al- Dzariyat: 22-23)

Hikmah Tawakal
Sikap tawakal sangat bermanfaat sekali untuk mendapatkan ketenangan batin. Sebab apabila seseorang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu, mengerahkan segala tenaga dan dana, membuat perecanaan dengan sanga cermat dan detail, melaksanakannta dengan penuh disiplin dan melakukan pengawasan dengan ketat, kalau kemudian masih mengalami kegagalan dia tidak akan putus asa. Dia menerimanya sebagai musibah, ujian dari Allah SWT yang harus dihadapi dengan sabar. Sebaliknya, jika berhasil dengan baik, dia bersyukur kepada Allah SWT, tidak sombng dan tidak merasa membanggakan diri, karena dia yakin bahwa semua usahanya tidak akan berhasil tanpa izin dari Allah SWT. Dengan demikian, semua situasi dihadapinya dengan tenang. Bila gagal, bersabar, bila berhasil bersyukur. Bandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki konsep tawakal dalam kehidupannya, kegagalan bisa membuatnya stress dan puus asa sementara keberhasilan juga bisa membuatnya sombong dan lupa diri.
Disamping itu, sikap tawakal juga memberikan ketenangan dan kepercayaan diri kepada seseorang untuk menghadapi masa depan. Dia akan menghadapi masa depan dengan segala kemungkinannya tanpa rasa takut dan cemas. Yang terpenting adalah berusaha sekuat tenaga, haslnya Allah yang menentukan. Bandingkan dengan orang yang tidak punya sikap tawakal. Membayangkan persaingan kehidupan yang semakin keras pada masa yang akan datang, membayangkan berbagai macam penyakit berbahaya yang mengancam kehidupan manusia dan hal-hal yang menakutkan lainnya yang menyebabkan dia cemas dan gelisah yang tentu jua akan mempengaruhi kesehatan fisiknya .
  Dan yang lebih penting lagi rang bertawkal akan dilindungi Allah SWT, sebagaimana firmannya pada  Q.S At-Thalaq : 3
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Artinya: “Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.[9]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa pengertian tawakal secara sederhana merupakan bentuk memasrahkan segala sesuatu kepada Allah namun melakukan usaha terlebih dahulu. Jadi, bukan dinamakan tawakal apabila seserang hanya berpasrah menunggu jawaban dari suatu keadaan sambil berpangku tangan. Macam-macam orang yag bertawakal pun dibedakan menjadi empat yaitu: orang yang bertawakal dalam mengukuhkan iman, orang yang bertawakal agar bisa beristiqomah, orang yang bertawakal untuk mendapatkan kebutuhannya, dan orang yang bertawakal dalam mewujudkan perbuatan dosa dan tindak kejahatan.
Berdasarkan kodratnya tawakal dibedakan menjadi tiga yaitu: tawakal dengan meminta dan berusaha menyibukkan diri, tawakal dengan tanpa meminta, tidak bergantung pada pekerjaan, bertawakal sambil memahami faktor yang dapat menodainya. Terdapat pula delapan fondasi bertawakal dan terdapat tiga tingkatan tawakal yang berdasarkan kekuatan dan kelemahannya.
Tawakal dalam mencari rezeki, seorang hamba wajib membenrkan keterangan tentang kelangsungan pemberian rezeki, dan yakin bahwa Allah akan memberi rezeki serta memberi kecukupkan bagi orang-orang yang berusaha. Hikmah bertwakal yaitu apabila seseorang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu, mengerahkan segala tenaga dan dana, membuat perecanaan dengan sanga cermat dan detail, melaksanakannta dengan penuh disiplin dan melakukan pengawasan dengan ketat, kalau kemudian masih mengalami kegagalan dia tidak akan putus asa. Dia menerimanya sebagai musibah, ujian dari Allah SWT yang harus dihadapi dengan sabar. Dan sebaliknya, apabila berhasil orang-orang yang bertawakal tersebut akan senantiasa bersyukur. Orang-orang seperti itulah yang senantiasa percaya bahwa ada berkah dibalik lelah



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, At-Tawakkal Alallah Ta’al, Jakarta : PT Darul Falah, 2006.
Al- Jauziyah, Ibnu Qayyim, dkk, Terapi Tawakal, Ahsan Books, 2011.
K.H Al- Kaaf, Abdullah Zakiy, Membentuk Akhlak, Mempersiapkan Generasi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Mz, Labib, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran Thoriqot & Tashowwuf, Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Prof. Dr. H Ilyas,  Yunahar Lc., M.A., Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011.



[1] Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, At-Tawakkal Alallah Ta’al  (Jakarta : PT Darul Falah, 2006), hlm. 1.
[2] Prof. Dr. H Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlaq, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011), hlm.  44-45.
[3] Labib Mz, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran Thoriqot & Tashowwuf (Surabaya: Bintang Usaha Jaya),hlm. 55.
[4] K.H Abdullah Zakiy Al- Kaaf, Membentuk Akhlak, Mempersiapkan Generasi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 209-211.
[5] Prof. Dr. H Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlaq, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011), hlm.  45-47.
[6] Ibnu Qayyim al- Jauziyah , dkk, Terapi Tawakal, (Ahsan Books, 2011), hlm. 21-28.
[7] Ibnu Qayyim al- Jauziyah , dkk, Terapi Tawakal, (Ahsan Books, 2011), hlm. 28-35
[8] Ibnu Qayyim al- Jauziyah , dkk, Terapi Tawakal, (Ahsan Books, 2011), hlm. 61-64
[9] Prof. Dr. H Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlaq, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011), hlm.  49-50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Kewirausahaan: Transformasi, Inovasi dan Kreativitas Kewirausahaan

RESUME TRANSFORMASI KEWIRAUSAHAAN, TEORI INOVASI DAN KREATIVITAS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: KEWIRAUSAHAAN Dosen Peng...