MAKALAH
TAWAKAL
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah:
AKHLAK
TASAWUF
Dosen
Pengampu:
Ruston Nawawi, M. A
Disusun
oleh :
Muhamad Wildan Saifulloh 931311815
Retno
Sulistiyani 931335515
Arif Saputra 931338115
Kelas: C
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
KEDIRI
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata
tawakal. Bagi sebagian orang telah mengerti makna dari tawakal tersebut namun
ada pula sebagian orang yang belum paham mengenai makna tawakal. Dalam makalah
ini akan mejelaskan tentang pengertian, macam-macam, derajat, fondasi,
tingkatan tawakal, serta sikap orang-orang yang bertawakal dan juga tawakal
dalam mencari rezeki, serta hikmah bertawakal. Sebagian orang menganggap bahwa
tawakkal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Misalnya dapat kita lihat pada sebagian
pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan tes. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk
menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, " Saya pasrah saja,
paling besok ada keajaiban . " Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakkal?! Semoga pembahasan di makala ini dapat menjelaskan pada pembaca
sekalian mengenai tawakkal yang sebenarnya dan apa saja manfaat dari tawakkal
tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian tawakal?
2.
Apa
saja dan bagaimana pembahasan mengenai tawakal?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana pengertian tawakal.
2.
Untuk
mengetahui apa saja dan bagaimana pembahasan dalam tawakal.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tawakal
Tawakal secara etimologis berasal dari (bahasa Arab: توكُل) atau tawakkul dari kata wakala dikatakan, artinya, ‘meyerah kepada-Nya.[1]
Sedangkan
secara terminologi, tawakal adalah membebaskan diri dari ketergantungan kepada
selain Allah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya. Serang muslim hanya
boleh bertawakal kepada Allah semata-mata Allah berfirman dalam Q.S Hud :123:
وَلِلَّهِ غَيْبُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ
وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Artinya:
“Dan kepunyaan Allah lah apa yang ghaib dilangit dan dibumi dan kepada-Nya lah
kembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah
kepada-Nya. Dan sekali-sekali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”[2]
Tawakal juga
dapat dikatakan berserah diri kepada Allah Tuhan semesta alam secara bulat dan
utuh. Kata-kata bulat dan utuh inilah yang sering kali membuat orang salah
menafsirkannya. Ini tidak berarti menyerahkan sesuatu tanpa melakukan usaha,
melainkan berusaha dulu kemudian menyerahkannya kepada Tuhan secara bulat dan
utuh.[3]
Sebagai contoh,
anda memasuki sebuah toko untuk berbelanja. Pada saat itu anda membawa sebuah
kendaraan. Sebelum memasuki toko, Anda mengunci kendaraan itu agar tidak
diambil pencuri. Setelah yakin Anda menguncinya barulah memasuki toko tersebut.
Ini lah yang disebut tawakal dengan benar. Adapun kalau setelah belanja keluar
dari toko kendaraan itu hilang, Anda dianggap tidak bersalah karena tawakal
Anda sudah benar. Allah telah menakdirkan Anda akan kehilangan kendaraan. Akan
tetapi jika Anda tidak menguncinya, lalu langsung memasuki toko kemudian
kendraan Anda hilang, lalu Anda berkata “sebenarnya aku ini telah bertawakal
dengan bulat dan utuh kepada Tuhan”, maka ucapan Anda itu keliru sebab cara
yang Anda gunakan sama sekali bukan tawakal yang dibenarkan.
Pada zaman
Rasulullah SAW, pernah ada kejadian yang menggambarkan kesalahan pengertian
tentang tawakal. Riwayat ini kami cantumkan benar-benar menjelaskan kekeliruan
tersebut. Seorang laki-laki datang mengahadap Nabi SAW untuk sutu kepentingan.
Ia membawa seekor unta . Ketikanya ditanya tentang untanya, ia menjawab dengan
bangga:
أرسِلُ
نَاقَتِي وَأتَوَكَّلُ
Artinya: “Aku membiarkannya lepas (tidak ditambatkan
pada suatu pohn atau tiang) sebab aku bertawakal.”
Ketika Rasulullah SAW mendengar jawaban tersebut, tampak
perubahan pada wajahnya lalu beliau bersabda:
اِعقِلهَاوَتَوَكَّلْ
Artinya: “Tambatkan dulu untamu, lalu
bertawakallah”.
Riwayat diatas mengisyaratkan bahwa tanpa
berusaha dan langsung menyatakan bertawakal adalah tidak benar. Apabila
Rasulullah SAW tidak membenarkannya berarti agama yang dibawa oleh beliau yakni
agama Islam, pun tidak membenarkannya. Persoalan ini penting untuk kita jadikan
pedoman dalam segenap usaha dan pekerjaan kita.[4]
Tawakal dan Ikhtiar
Tawakal harus
diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai tawakal
kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan
apa-apa. Sikap pasarah seperti itu adalah salah satu bentuk kesalahpahaman
terhadap hakikat tawakal. Rasululloh dan kaum Muslimin generasi awal telah
memberikan cntoh bagaimana seharusnya memahami tawakal. Mereka adalah para
pekerja keras dalam berbagai lapangan kehidupan, perdagangan, pertanian,
perindustrian, keilmuan, dan lain sebagainya. Rasululloh mendorong umatnya
untuk bekerja keras. Beliau selalu berdo’a agar di jauhkan dari sifat-sifat
yang lemah dan malas.
Islam
memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti sunnatullah tentang hukum
sebab dan akibat.Usaha harus selalu dilakukan . Oleh sebab itu, Allah SWT
memerintahkan umat Islam untuk tetap selalu waspada, tidak lalai, atau acuh tak
acuh. Dalam firman-Nya yang terdapat pada Q.S An- Nisa’ :71
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا
Artinya:
“Hai orang-rang yang beriman, bersiap siagalah kamu dan majulah (ke medan pertempuran)
berkelompok kelompok, atau majulah bersama-sama.”.[5]
B.
Pembahasan Mengenai Tawakal
Macam-macam Tawakal
Ada empat golongan rang bertawakal:
1.
Orang
yang bertawakal dalam mengukuhkan iman, menegakkan ajaran agama Allah,
meninggikan kalimat-Nya
2.
Orang
yang bertawakal agar bisa beristiqomah, tepelihara hubungan baiknya dengan
Allah, dan tidak bergantung pada manusia
3.
Orang
yang bertawakal untuk mendapatkan kebutuhannya, seperti rezeki, kesehatan dan
pertolongan menghadapi musush, dan lain-lain.
4.
Orang
yang bertawakal dalam mewujudkan perbuatan dosa dan tindak kejahatan. Mereka
menjerumuskan diri kedalam kehancuran sambil berharap agar Allah menyelamatkan
dan menyukseskan mereka dalam mewujudkan keinginan.
Derajat Tawakal
Secara sederhan derajat tawakal dibagi
menjadi tiga yaitu:
1.
Pertama,
tawakal dengan meminta dan berusaha menyibukkan diri, akibat terdorong rasa
takut yang positif, sembari tanpa pamrih menebar manfaat kepada orang lain.
2.
Kedua,
bertawakal dengan tanpa meminta, tidak bergantung pada pekerjaan, berusaha
memperbaiki tawakal, meredam rasa bangga, dan berkonsentrasi menunaikan
kewajiban. Maksud dari “tanpa meminta” adalah tidak meminta kepda sesama
makhluk, bukan tidak meminta kepada Allah.
3.
Ketiga,
bertawakal sambil memahami faktor yang bisa menodainya. Caranya, menyadari
bahwa kekuasaan Allah SWT. Terhadap segala sesuatu bersifat mutlak dan tanpa
sekutu. Inilah bentuk penghambaan yang sejati dan hakiki: menginsafi bahwa
Allah-lah satu-satunya Tuhan yag menguasai segala sesuatu.[6]
Delapan Fondasi Tawakal
Tawakal pada
dasarnya terbangun diatas beragam fondasi yang hanya sempurna jika semua
fondasi tersebut tersusun rapi dan saling melengkapi, ragam fondasi itu sebagai
berikut:
1.
Pertama,
mengetahui Allah berikut sifat-sifatnya. Pengetahuan inilah yang menjadi anak
tangga pertama yang harus dipijaki dalam mendaki tangga tawakal.
2.
Kedua,
meyakini adanya hukum sebab-akibat, berarti tawakal anda belum sempurna. Ada
yang berpendapat bahwa mempercayai hukum sebab-akibat bisa mencederai tawakal.
Pendapat ini salah, karena tawakal merupakan sebab terkuat yang bisa membuat
Anda meraih apa yang Anda inginkan. Tawakal sama seperti do’a, sebab untuk
mendapatkan segala harapan.
3.
Ketiga,
mengukuhkan hati kepada Tauhid. Semakin murni Tauhid seseorang maka semakin
benar tawakalnya.Tawakal seseorang sempurna apabila tauhid tertanam kuat
didalam kalbu. Bahkan hakikat tawakal adalah pengesaan terhadap Allah SWT.
Kalau seseorang masih berpaling dan
bergantung kepada selain Allah berarti ada didalam ruang hatinya yang
tidak terisi oleh-Nya. Itu artinya tawakal orang tersebut belum benar.
4.
Keempat,
menyandarkan hati kepada Allah dan merasa nyaman bergantung kepada-Nya.
Singkirkan ketergantungan kepada “sebab”, lalu tentramkan hati dengan bersandar
kepada-Nya. Dengan begitu Anda takan peduli dengan ada atau tidak adanya
“sebab” dan Anda tidak akan cemas apabila kehilangan sesuatu yang Anda cintai,
atau mendapatkan sesuatu yang Anda benci. Karena ketergantungan kepada Allah
dapat menenangkan hati Anda.
5.
Kelima,
berbaik sangka kepada Allah SWT. Semakin Anda berbaik snagka kepada-Nya maka
semakin sempurna tawakal Anda.
6.
Keenam,
Menyerahkan hati secara utuh kepada Allah SWT dan tidak membangkang-Nya.
7.
Ketujuh,
pasrah. Inilah ruh dan hakikat tawakal. Serahkan dan pasrahkan semua urusan
kepada Allah SWT. Sambil memohon dan berusaha, tanpa ada rasa dipaksa dan
terpaksa. Kepasrahan disini ibarat Anda masih kecil dan menyerahkan segala
urusan kepada orang tua. Bagi Anda, merekalah orang-orang terbaik yang paling
tahu dalam menyayangi, mencukupi kebutuhan, mendidik, dan membesarkan Anda.
Anda menyadari bahwa dibawah asuhan mereka Anda merasa jauh lebih tenang.
Dibawah asuhan mereka adalah lebih baik daripada Anda harus mengurus diri Anda
sendiri.
8.
Kedelapan,
ketika Anda telah sampai pada tingkatan ini Anda sudah menjejakkan kaki pada
tingakatan ridha yang merupakan buah dari tawakal. Andapun sejatinya telah
memaknai tawakal sebagai buah dengan manfaat yang sangat besar. Jadi, jika Anda
bertawakal dengan benar, Anda pasti rela terhadap semua kehendak Allah SWT.[7]
Tingkatan Tawakal
Tingkatan
keadaan yang disebut tawakal berdasarkan kekuatan dan kelemahannya yaitu:
1.
Pertama,
yaitu keadaan dimana Anda meyakini kebenaran bahwa Allah membantu dan menolong
hamba-Nya, sebagaimana Anda mempercayai orang yang menjadi wakil Anda
2.
Kedua,
tingkatan yang lebih tinggi, keadaan dimana Anda merasa bersama Allah bagaikan
anak dalam dekapan sang Ibu. Anak-anak hanya mengenal Ibunya, meminta tolong kepadanya,
dan hanya bersandar kepadanya. Ketika ada bahaya menimpa, pikirannya hanyalah
sang Ibu dan kata pertama yang terlntar dari lidahnya adalah “Ibu”. Jadi, jika
Anda menghamba kepada Allah, meyakini segala sesuatu datang dari-Nya, percaya
dan bersandar kepada-Nya layaknya seorang bayi kepada Ibunya, maka tawakal Anda
sudah benar.
3.
Ketiga,
tingkatan ini merupakan tingkatan tertinggi yakni keadaan dimana Anda
memosisikan diri dihadapan Allah layaknya jenazah didepan orang yang
memandikannya, atau seperti anak kecil yang hendak dipisahkan dari Ibunya. Anda
merasa mati ketika jauh dari-Nya.[8]
Sikap-sikap Orang Bertawakal
Agama memuji
orang-orang yang menampakkan tawakalnya melalui usaha nyata meraik keinginan.
Usaha tersebut dapat berupa kegiatan yang mendatangkan manfaat seperti mencari
nafkah, mejaga sesuatu yang sudah dimiliki semisal menyimpah harta,
mengantisipasi bahaya yang akan datang seperti menghindari serangan, atau
menghindari bahaya yang sudah didepan mata semisal berobat ketika sakit. Secara
sederhana sikap seseorang bisa dipetakan menjadi empat bagian yaitu:
1.
Sikap
pertama: Meraih sesuatu yang bermanfaat
Ada tida faktor yang bisa mendatangkan manfaat.
Pertama,
sebab yang kuat. Yakni sebab yang bertalian erat dengan akibta
serta sejalan dengan takdir dan kekuasaan Allah tanpe peru lagi pembuktian.
Misalnya, Anda lapar dan diahadapan Anda tersedia makanan tetapi Anda tidak
mengulurkan tangan untuk mengambil makanan itu. Anda hanya membatin “aku
bertawakal kepada Allah” ini bukan tawakal. Kalau Anda menunggu Allah
menciptakan rasa yang kenyang tanpa harus makan, berarti Anda tidak mengetahui
sunatullah. Sama halnya Anda tidak menanam tetapi berharap Allah menyemai benih
untuk Anda dan menumbuhkannya.
Kedua,
sebab yang lemah, namun biasanya membuahkan akibat-akibat yang
pasti. Misalnya Anda melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang sulit dijamah
manusia tanpa membawa bekal sama sekali, Anda seperti menguji Allah. Ini
merupakan perbuatan yang jelas tidak diperbolehkan. Membawa bekal dala
perjalanan adalah sesuatu yang diperintahkan. Rasulullah SAW selalu membawa
bekal setiap kali hendak bepergian.
Ketiga, sebab yang
tidak selalu menghasilkan akibat pasti. Misalnya Anda merancang tata cara
bekerja dengan sangat terperinci. Selama kegiatan Anda benar dan tujuan Anda
tidak bertentangan dengan syariah Anda masih bisa disebut dengan bertawakal.
Hanya saja Anda akan disebut serakah jika tujuan Anda hanya untuk menumpuk harta.
Meninggalkan
usaha jelas-jelas bukan tawakal melainkan kebiasaan pemalas yang enggan bekerja
dan mencba berlindung dibalik kata “aku bertwakal”. Umar Bin Khaththab pernah
berkata “orang yang bertawakal adalah oang yang menyemai benih kemudian
memasrahan diri kepada-Nya”.
2.
Sikap
kedua: Menjaga sesuatu yang sudah dimiliki
Sekiranya Anda
menyimpan makanan halal yang Anda dapatkan dari bekerja keras, Anda tetap
dikatakan bertawakal. Terlebih lagi kalau Anda mempunyai keluarga yang harus
dihidupi. Dalam Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dikisahkan bahwa Rasulullah
SAW pernah menjual pohon kurma milik Bani Nadhir dan menyimpan makanan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga beliau selama satu tahun.
Kalau ada yang
bertanya: bagaimana dengan tindakan Rasulullah SAW yang melarang bilal
menyimpan makanan? Jawabannya, orang-orang miskin bagi Rasulullah saw seperti
tamu. Untuk apa mereka menyimpan harta jika mereka dijamin tidak akan lapar?
Bilal dna sahabat Ahlus Suffah lainnya memang tidak layak menyimpan harta. Jika
pun menyimpan harta tindakan mereka sama sekali tidak tercela. Mereka hanya
terlihat bertolak dengan kondisi mereka yang sangat bersahaja.
3.
Sikap
ketiga: Mengantisipasi bahaya
Tawakal tidak
menuntut Anda mengabaikan usaha untuk mengantisiapasi bahaya. Anda tidak boleh
tidur di sarang binatang buas, disaluran irigasi, atau dibawh dinding yang akan
runtuh. Tawakal tak akan ternodai karena Anda menggunakan zirah besi pada saat
bertempur, mengunci pintu, atau menambatkan binatang.
Anas bin Malik
meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang bertamu kepada Rasululah sawdengan
mengendarai unta. Lalu bertanya “Rasulullah, kutambatkan untaku lalu aku
bertwakal ataukah kulepaskan saja lalu aku bertawakal?” Beliau menjawab, “Tambatkan
dulu untamu, dan sesudah itu bertawakallah”. (H.R Tirmidzi)
Jadi Anda harus
bertawakal terhadap akibat, bukan sebab. Tawakal inilah yang membuat anda
selalu ridha dengan takdir Allah. Jika Anda mengeluh karena barang-barang Anda
yang sering dicuri akibat sengaja tidak Anda kunci, padahal jika dikunci
barang-barang itu tidak dicuri, berarti Anda menunjukkan sifat yang jauh dari
tawakal.
4.
Sikap
keempat: Menepis bahaya
Usaha untuk
menepis bahaya bisa dibagi menjadi tiga yaitu:
Pertama,
usaha yang pasti. Contohnya: air dapat menghilangkan dahaga dan
roti dapat menghilangkan lapar. Artinya, makan dan minum sama sekali tidak
mengurangi tawakal.
Kedua,
usaha yang kurang pasti. Contoh: terapi, bekam, minum obat, dan
sejenisnya. Semua ini adalah usaha yang tidak menodai tawakal sebab Rasulullah
sendiri pernah berobat dan menganjurkan kita untuk berobat. Kebanyakan muslim
melakukannya namun ada juga segelintir rang yang tidak. Contohnya, Abu Bakar
ketika beliau menderita sakit.
“Maukah
kupanggilkan tabib untuk mengobatimu” tanya sahabat.
“Dia sudah
melihtaku” jawabnya.
“Lalu apa
katanya?”
“Sungguh Aku
melakukan apa yang Ku-kehendaki” jawab Abu Bakar mengutip ayat Al-Qur’an.
Dalam hal ini
saya menegaskan bahwa berobat lebih utama. Kasus Abu Bakar bisa kita maknai
dengan dua kemungkinan: (1) Dia sudah berbat sehingga tidak mau berbat lagi.
(2) Dia mengetahui ajalnya sudah dekat melalui tanda-tanda tertentu
Ketiga,
usaha yang meragukan. Contohnya adalah terapi dengan sundutan api.
Usaha ini jelas tidak melambangkan rasa tawakal, karena Rasulullah sudah pernah
menjelaskan bahwa orang yang berobat dengan sundutan api adalah orang yang
tidak bertawakal. Beliau bersabda “tujuh puluh ribu orang umatku akan masuk
surga tanpa dihisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah meramal nasib,
tidak pernah bertobat dengan besi yang dipanasksn, tidak percaya jampi, dan
bertawakal kepada Allah”. (H.R Ahmad).
Tawakal
dalam Mencari Rezeki
Dalam
bertawakal, seorang hamba wajib membenrkan keterangan tentang kelangsungan
pemberian rezeki, jaminan kecukupan, dan ketersediaan makanan dari Allah SWT.
Selama kurun waktu yang telah ditetapkan. Pembenaran ini diwujudkan dalam
bentuk keyakinan dalam hati, dengan menepis keraguan dan kesangsian, memurnikan
keyakinan, serta mengukuhkan segenap pengetahuan bahwa Allah-lah yang menciptakan
dan memberikan rezeki, yang menghidupkan dan mematikan. Dialah Tuhan yang
seluruh perintah-Nya harus ditaati. Allah
SWT berfirman:
(وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (٢٢)
فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ
(٢٣
Artinya:
“Dan di langit terdapat
(sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang diajnjikan kepadamu. Demi
Tuhan langit dan bumi sungguh yang dijanjikan benar-benar (akan terjadi)
seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (Q.S Al- Dzariyat: 22-23)
Hikmah Tawakal
Sikap tawakal sangat bermanfaat sekali untuk mendapatkan
ketenangan batin. Sebab apabila seseorang telah berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mencapai sesuatu, mengerahkan segala tenaga dan dana, membuat perecanaan
dengan sanga cermat dan detail, melaksanakannta dengan penuh disiplin dan
melakukan pengawasan dengan ketat, kalau kemudian masih mengalami kegagalan dia
tidak akan putus asa. Dia menerimanya sebagai musibah, ujian dari Allah SWT
yang harus dihadapi dengan sabar. Sebaliknya, jika berhasil dengan baik, dia
bersyukur kepada Allah SWT, tidak sombng dan tidak merasa membanggakan diri,
karena dia yakin bahwa semua usahanya tidak akan berhasil tanpa izin dari Allah
SWT. Dengan demikian, semua situasi dihadapinya dengan tenang. Bila gagal,
bersabar, bila berhasil bersyukur. Bandingkan dengan seseorang yang tidak
memiliki konsep tawakal dalam kehidupannya, kegagalan bisa membuatnya stress
dan puus asa sementara keberhasilan juga bisa membuatnya sombong dan lupa diri.
Disamping itu, sikap tawakal juga memberikan ketenangan
dan kepercayaan diri kepada seseorang untuk menghadapi masa depan. Dia akan menghadapi
masa depan dengan segala kemungkinannya tanpa rasa takut dan cemas. Yang
terpenting adalah berusaha sekuat tenaga, haslnya Allah yang menentukan.
Bandingkan dengan orang yang tidak punya sikap tawakal. Membayangkan persaingan
kehidupan yang semakin keras pada masa yang akan datang, membayangkan berbagai
macam penyakit berbahaya yang mengancam kehidupan manusia dan hal-hal yang
menakutkan lainnya yang menyebabkan dia cemas dan gelisah yang tentu jua akan
mempengaruhi kesehatan fisiknya .
Dan yang lebih
penting lagi rang bertawkal akan dilindungi Allah SWT, sebagaimana firmannya
pada Q.S At-Thalaq : 3
وَيَرْزُقْهُ مِنْ
حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ
إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Artinya: “Dan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”[9]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa pengertian
tawakal secara sederhana merupakan bentuk memasrahkan segala sesuatu kepada
Allah namun melakukan usaha terlebih dahulu. Jadi, bukan dinamakan tawakal
apabila seserang hanya berpasrah menunggu jawaban dari suatu keadaan sambil
berpangku tangan. Macam-macam orang yag bertawakal pun dibedakan menjadi empat
yaitu: orang yang bertawakal dalam mengukuhkan iman, orang yang bertawakal agar
bisa beristiqomah, orang yang bertawakal untuk mendapatkan kebutuhannya, dan orang
yang bertawakal dalam mewujudkan perbuatan dosa dan tindak kejahatan.
Berdasarkan kodratnya tawakal dibedakan menjadi tiga yaitu: tawakal
dengan meminta dan berusaha menyibukkan diri, tawakal dengan tanpa meminta,
tidak bergantung pada pekerjaan, bertawakal sambil memahami faktor yang dapat
menodainya. Terdapat pula delapan fondasi bertawakal dan terdapat tiga tingkatan
tawakal yang berdasarkan kekuatan dan kelemahannya.
Tawakal dalam mencari rezeki, seorang hamba wajib membenrkan
keterangan tentang kelangsungan pemberian rezeki, dan yakin bahwa Allah akan
memberi rezeki serta memberi kecukupkan bagi orang-orang yang berusaha. Hikmah
bertwakal yaitu apabila
seseorang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu,
mengerahkan segala tenaga dan dana, membuat perecanaan dengan sanga cermat dan
detail, melaksanakannta dengan penuh disiplin dan melakukan pengawasan dengan
ketat, kalau kemudian masih mengalami kegagalan dia tidak akan putus asa. Dia
menerimanya sebagai musibah, ujian dari Allah SWT yang harus dihadapi dengan
sabar. Dan sebaliknya, apabila berhasil orang-orang yang bertawakal tersebut
akan senantiasa bersyukur. Orang-orang seperti itulah yang senantiasa percaya
bahwa ada berkah dibalik lelah
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, At-Tawakkal Alallah Ta’al, Jakarta : PT Darul Falah, 2006.
Al-
Jauziyah, Ibnu Qayyim, dkk, Terapi Tawakal, Ahsan Books, 2011.
K.H Al- Kaaf, Abdullah Zakiy, Membentuk Akhlak,
Mempersiapkan Generasi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Mz, Labib, Rahasia
Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran Thoriqot & Tashowwuf, Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Prof. Dr. H Ilyas, Yunahar
Lc., M.A., Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011.
[1]
Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, At-Tawakkal Alallah Ta’al (Jakarta : PT Darul Falah,
2006), hlm. 1.
[2]
Prof. Dr. H Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlaq, ( Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2011), hlm.
44-45.
[3]
Labib Mz, Rahasia Kehidupan Orang Sufi,
Memahami Ajaran Thoriqot & Tashowwuf (Surabaya: Bintang Usaha Jaya),hlm. 55.
[4]
K.H Abdullah Zakiy Al- Kaaf, Membentuk
Akhlak, Mempersiapkan Generasi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.
209-211.
[5] Prof. Dr. H Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah
Akhlaq, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011), hlm. 45-47.
[6]
Ibnu Qayyim al- Jauziyah , dkk, Terapi Tawakal, (Ahsan Books, 2011),
hlm. 21-28.
[7]
Ibnu Qayyim al- Jauziyah , dkk, Terapi Tawakal, (Ahsan Books, 2011),
hlm. 28-35
[8]
Ibnu Qayyim al- Jauziyah , dkk, Terapi Tawakal, (Ahsan Books, 2011),
hlm. 61-64
[9]
Prof. Dr. H Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlaq, ( Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2011), hlm.
49-50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar