MAKALAH
TRADISI DAN PRAKTEK EKONOMI PADA MASA DAULAH ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah:
SEJARAH PEMIKIRAN
EKONOMI ISLAM
Dosen
Pengampu:
Alwi Musa Muzaiyin, S.EI, M.Sy

Disusun
oleh :
Retno
Sulistiyani 931335515
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Perkebangan ekonomi islam saat ini tidak bisa
dipisahkan dari sejarah pemikiran Muslim tentang ekonomi di masa lalu. Para
pemikir Muslim selalu berupaya untuk membuat solusi atas segala persoalan
hidupnya sesuai dengan perspekstif yang mereka miliki pada masanya. Namun tidak
lepas dari itu, mereka tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi,
konsep dan teori ekonomi dalam islam pada hakekatnya merupakan respon pada
cendekiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu tertentu. Ini
juga berarti bahwa pemikiran ekonomi islam sesuai islam itu sendiri.
Banyak ekonom muslim lahir dimasa Daulah islam
dibanding di masa Khulafa’ al-rashidin. Hal ini bisa dijadikan alasan bahwa
tumbuhnya pemikir Muslim tentang ekonomi tidak bebas dari kenyataan-kenyataan
yang tumbuh di zaman yang melahirkan menjadi pemikir yang ahli dibidang-bidang
tertentu. Demikian juga, hal ini bisa dijadikan alat untuk melihat mengapa ilmu
ekonomi belum ditemukan sebagai disiplin tersendiri di masa lalu, dan juga
untuk mengetahui mengapa banyak pemikir Muslim tidak hanya memiliki kemampuan
di satu bidang keilmuan.
B.
Rumusan masalah
1. Bagaimana tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Ummayah?
2. Bagaimana tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Abbasiyah?
3. Bagaimana tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Utsmani?
C.
Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Ummayah.
2. Untuk mengetahui tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Abbasiyah.
3. Untuk mengetahui tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Utsmani.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tradisi dan Praktek Ekonomi pada Masa Bani Umayyah
(661-750M)
Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أمية, Banu
Umayyah, Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan
Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai
750 di Jazirah Arab dan sekitarnya (beribukota di Damaskus) ; serta dari
756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti
ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah
pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut
juga dengan Muawiyah.
Keberhasilan yang dicapai Bani Umayyah
memberikan bentuk pemikiran ekonomi yang berbeda, tepatnya ketika dunia islam berada
dibawah kepemimpinan Khalifah Bani Umayyah, kondisi baitul maal berubah. Pada
masa sebelumnya baitul maal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat
Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah, baitul
maal berada sepenuhnya dibawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan
atau dikeritik oleh islam.[1]
Pada masa pra islam, uang romawi dan persia
digunakan di hijaz, disamping uang perak himyar yang bergambar burung hantu
attic. Para khalifah terdahulu merasa cukup dengan mata uang asing yang sudah
beredar.[2] Pada
tahun 690-an, koin-koin kemudian diberikan ayat-ayat untuk membedakan koin
islam dan bukan. Ayat-ayat yang dituliskan berhubungan dengan akidah yang
ditulis ditengah dan pinggir koin. Frasa yang digunakan yaitu “tidak ada Tuhan
selain Allah. Ia tidak mempunyai sekutu” ditengah koin, dan dipinggir terdapat
kalimat “Muhammad adalah Rasulullah, yang mengirimnya dengan petunjuk dan ragam
kebenaran untuk mengatasi semua agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukainya.
Model ini terus digunakan hingga berakhir masa umayyah.
Pemikiran khalifah-khalifah di
bidang ekonomi pada masa Bani Umayyah
a.
Khalifah Muawiyah ibn Abi Sofyan
Pada
masa pemerintahannya, beliau mendirikan dinas pos berserta dengan berbagai
fasilitasnya, menertibkan angakatan perang, mencetak uang, dan mengembangkan jabatan Adi ( hakim )
sebagai jabatan profesional. Selain
itu, beliau juga menerapkan kebijakan pemberian gaji tetap kepada para tentara,
pembentukan tentara profesional, serta pengembangan birokrasi seperti fungsi
pengumpulan pajak dan administrasi.[3]
b. Khalifah Abdul
Malik ibn Marwan
Pemikiran
yang serius terhadap penerbitan dan pengaturan unag dalam masyarakat islam
muncul di masa pemerintahan beliau. Abd al-Malik mengubah bizantinum dan persia
yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai islam. Untuk itu, dia mencetak uang
tersendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan arab serta tetap mencantumkan
kalimat ‘’bismillahirrahmanirrahim pada tahun 74 H ( 659 M). Pembuatan mata
uang pada masa itu didasarkan pemikiran bahwa mata uang selain memiliki nilai
ekonomi juga sebagai pernyataan kedaulatan Dinasti Islam. Disamping itu, mata
uang juga berfungsi sebagai sarana pengumuman keabsahan pemerintahan pada waktu
itu yang namanya terpatri pada mata uang tersebut. Khalifah Abdul Malik bin
Marwan pun memerintahkan Arabisasi maat uang sebagian dari politik arabisasi
aparatur negara pada masa pemerintahannya.
Mata uang yang dibuat di dunia
islam waktu itu disebut sikkah . Menurut Ibn Khaldun kosa kata sikkah selain
dikenakan terhadap mata uang juga dikenakan terhadap gedung tempat pembuatan
mata uang. Karenanya gedung tersebut juga disebut Dar as-Sikkah. Darul
as-sikkah tersebar diberbagai pelosok wilayah islam pada waktu itu,
sehingga Darul as-sikkah dikenal sampai di luar kawasan islam.
Di
dunia islam mengenal dua jenis mata uang utama, yaitu mata uang dinar
emas, di ambil dari kata dinarius, dan dirham perak
yaitu berasal dari kosa kata yunani drachmos. Selain kedua jenis
tersebut, terdapat mata uang pecahan atau disebut maksur seperti qitha dan mithqal.
Pada empat hijrah dunia islam mengalami krisis mata uang emas dan perak, maka
dibuatlah dari tembaga atau campuran tembaga dengan perak yang disebut
dengan fulus ( diambil dari bahasa latin follis),
yaitu mata uang tembaga tipis. Mata uang tersebut juga disebut al-qarathis karena
mirip dengan lembaran kertas.
Setelah
muncul mata uang fulus mata uang mulai dihitung. Setelah
banyak mata uang bercap khalifah munculah kelompok orang-orang memberikan jasa
dalam mempermudah transaksi keuangan dan penukaran mata uang ( as-shayyrifah).
Di samping itu muncul istilah keuangan yang menunjukan bahwa tempat penukaran
berubah fungsinya menjadi Bank. Istilah tersebut antara lain shaftajah, shakk, khath, hawwalah.
Selain
itu khalifah Abdul Malik dalam hal pajak dan zakat memberikan kebijakan dengan
memberlakukan kewajiban bagi umat Islam untuk membayar Zakat dan bebas dari
pajak lainnya. Hal ini mendorong orang non-muslim memeluk agama Islam. Dengan
cara ini, meraka terbebas dari pembayaran pajak. Setelah itu, meraka
meninggalkan tanah pertaniannya guna mencari nafkah di kota-kota besar sebagai
tentara. Kenyataan ini menimbulkan masalah bagi perekonomian negara. Karena
pada satu sisi, perpindahan agama mengakiibatkan berkurangnya sumber pendapatan
negara dari sektor pajak. Pada sisi lain, bertambahnya militer Islam dari
kelompok mawali memerlukan dana subsidi yang semakin besar. Untuk mengatasi
permasalahan ini, khalifah Abdul Malik bin Marwan mengembalikan beberapa
militer Islam kepada profesinya semula, yakni sebagai petani dan menetapkan
kepadanya untuk membayar sejumlah pajak sebagaimana kewajiban mereka sebelum
mereka masuk islam, yakni sebesar beban kharaj dan jizyah.
Khalifah
Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan administrasi pemerintahan dan
memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan islam.
Keberhasilan khalifah Abd al-malik diikuti oleh putranya Al-walid Abd al-Malik (705-715)
seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembanguna. Dia
membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personil yang terlibat dalam
kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya,
pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[4]
c. Khalifah
Umar Ibn Abdul Aziz
Khalifah
Umar bin Abdul Aziz termasuk khalifah besar yang berupaya lebih spiritualis
dibanding Khalifah Umayyah sebelumnya. Ia berupaya kembali memberlakukan
perdagangan bebas dengan argumen kalau lautan dan daratan adalah milik Allah
dan negara tidak boleh menghalangi umat dalam berdagang. Hal ini ditandai
dengan dihapuskannya bea cukai. Walaupun begitu, ternyata negara lain
memberlakukan pajak bagi ekspor dari negara islam sehingga Umar menarik kembali
kebijakan ini dengan memberlakukan pajak. Pajak ini dinamakan usur dan besarnya
10% dari impor barang. Lebih lanjut, khalifar Umar juga melakukan pembedaan
antara jizyah dan pajak tanah, yang tidak lagi diidentifikasikan semata untuk
non-muslim.[5]
Dalam kaitannya dengan
perubahan mata uang kita perlu memperhatikan pembaharuan sistem keuangan dan
administrasi yang terjadi dimasa ini. Pada dasarnya tidak ada seorang muslim
pun dari bangsa manapun yang dibebani membayar kewajiban pajak selain zakat
atau santunan untuk orang miskin. Karena teori ini banyak para petani
meninggalkan ladang mereka dan memililh untuk masuk islam, karena ketentuan
pajak tidak ditentukan dengan keadaan tanah dan dan hasil panen mereka. Hal ini
menyebabkan pendapatan pajak sangat berkurang dan pengeluaran bertambah dengan
pembayaran subsidi untuk para prajurit yang baru bergabung.[6]
Khalifah
Umar Ibn Abdul Aziz juga menetapkan kebijakan dengan mengurangi beban pajak
atas penganut kristen najran dari 2000 keping menjadi 200 keping. Kebijakan ini
dikeluarkan karena ternyata masyarakat kristen khususnya Bani Najran merasa
berat. Beban meraka dirasakan terlalu berat untuk dipikul. Karena kebanyakan
mereka bukan orang-orang kaya. Karena itu mereka menuntut Khalifah Umar Ibn
Abdul Aziz untuk mengurangi beban pajak tersebut. Dan Khalifah Umar Ibn Abdul
Aziz menetapkan kebijakan untuk melarang pembelian tanah non-muslim kepada umat
islam, langkah ini diambil khalifah karena banyak tanah orang kristen yang
sudah menjadi milik orang islam. Sehingga banyak umat kristen yang tidak
memiliki lahan untuk digarap.
Lebih jauh lagi, khalifah Umar Ibn
Abdul Aziz menerapkan kebijakan otonomi daerah. Setiap wilayah islam mempunyai
wewenang untuk mengelola zakat dan pajak sendiri-sendiri dan tidak diharuskan
menyerakan upeti kepada pemerintahan pusat. Bahkan sebaliknya pemerintah pusat
akan memberikan bantuan subsidi kepada setiap wilayah islam yang minim
pendapatan zakat dan pajaknya.
Dengan
demikian, masing-masing wilayah islam diberi kekuasaan untuk mengelola
kekayaannya. Jika terdapat surplus, khalifah Umar Ibn Abdul Aziz menyarankan
agar wilayah tersebut memberi bantuan kepada wilayah yang minim pendapatannya,
untuk menunjang hal ini, ia mengangkat ibn jahdam sebagai Amil shadaqah yang
bertugas menerima dan mendistribusikan hasil shadaqah secara merata ke seluruh
wilayah islam.
Pada masa pemerintahannya,
sumber-sumber pemasukan negara berasal dari zakat, hasil rampasan perang, pajak
penghasilan pertanian ( pajak ini diawal pemerintahan khalifah Umar Ibn Abdul
Aziz di tiadakan, mengingat situasi ekonomi yang belum kondusif. Setelah
stabilitas perekonomian masyarakat membaik, pajak ini ditetapkan, dan hasil
pemberian lapangan kerja produktif kepada masyarakat luas.
Akan
tetapi, kondisi baitul maal yang telah dikembalikan oleh Umar Ibn Abdul Aziz
kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para
penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi baitul maal, dan keadaan demikian
berkepanjangan sampai masa ke khalifahan Bani Abbasiyah.[7]
B.
Tradisi dan Praktek Ekonomi pada Masa Bani
Abbasiyah (750-1258M)
Bani Abbasiyah meraih tampuk kekuasaan
Islam setelah berhasil menggulingkan pemerintahan dinas Bani Umayyah pada tahun
750 H. Para pendiri dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad
SAW, sehingga khalifah tersebut dinamakan Khilafah Abbasiyah. Dinasti ini
didirikan oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad nin Ali bin Abdullah bin
al-Abbas (132-136H).
Diantara periode-periode pemerintahan
tersebut, Dinasti Abbasiyah mencapai masa keemasan pada periode pertama.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan dalam Islam.
Karena Abdullah al-Saffah hanya
memerintah dalam waktu yang singkat, pembina yang sesungguhnya dari Daulah
Abbasiyah adalah Abu Ja’far al Manshur (136-148H). Pada masa pemerintahannya, khalifah
al-Manshur lebih banyak melakukan konsolidasi dan penertiban administrasi
birokrasi.
Keberhasilan Khalifah al-Manshur dalam
meletakkan dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah memudahkan usaha para
Khalifah berikutnya untuk lebih fokus terhadap permasalahan ekonomi dan
keuangan negara, sehingga peningkatan dan pengembangan taraf hidup rakyat dapat
terjamin.
Ketika al-Mahdi (158-169H). Menjadi
Khalifa, keadaan negara menjadi stabil. Ia banyak menerapkan kebijakan yang
menguntungkan rakyat banyak, seperti pembangunan tempat-tempat persinggahan
para musafir haji, pembuatan kolam-kolam air bagi para khalifah dagang beserta
hewan bawaannya, serta memperbaiki dan memperbanyak jumlah telaga dan perigi.
Ia juga mengembalikan harta yang dirampas ayahnya kepada pemiliknya
masing-masing.
Ketika tampuk pemerintahan Khalifah
Harun al-Rasyid (170-193 H), pertumbuhan ekoonomi berkembang dengan pesat dan
kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya.
Dari gambaran diatas, terlihat bahwa
Dinasti Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam, termasuk kehidupan perekonomian, daripada
perluasan wilayah. Setelah melewati periode ini, Daulah Abbasiyah mengalami
kemunduran dan akhirnya dihancurkan oleh bangsa mongol pada tahun 1258 M.
C.
Tradisi dan Praktik Ekonomi pada Masa Bani
Ustmani
Awal penguasaan ustmani didunia islam yaitu
ketika Konstantinopel akhirnya jatuh ke tangan penakluk Turki tahun 1453. Hal
ini mengakhiri kekuasaan Barat, yang diwakili oleh Romawi, di kawasan Timur
Tengah. Semenjak itu, jalur perdagangan utama Barat lewat Laut Tengah menempuh
jalur darat Melintasi Asia Tengah menuju China dikuasai Turki dan karenanya,
banyak yang lebih memilih untuk memutar Afrika dan menempuh jalur samudra
Hindia. Sebagian bahwa mencoba untuk menguji teori Bumi bulat.
Adanya langkah memutar itu mendorong Usmaniyah
untuk melakukan aktivitas ekonomi baru di Samudra Hindia. Aktivitas ini membuat
jalur laut menjadi jalur giat secara ekonomi dan keagamaan namun juga berbahaya
karena persaingan Portugis dan Ingris. Sementara itu, usmaniyah lebih
berorientasi dalam upaya penaklukan kawasan Balkan untuk mempenetrasi Eropa
dari arah timur. Langkah ini menekankan pentingnya pajak tanah sebagai sumber
pemasukan bagi negara dan militer. Walaupun begitu beberapa pedagang Turki
memeliki posisi penting dalam perdagangan di Selat Malaka.
Pembangunan ekonomi di awal era Usmaniyah
berpusat pada kawasan Turki, khusunya Istanbul. Hal ini disebabkan luasnya
kawasan yang dikuasai sementara kawasan-kawasan tersebut sebagian terisolasi.
Jalur dagang uara dipercayakan pada bangsa Tartar dari Krimea untuk mengawasi
jalur prdagangan badak, bulu, dan barang-barang lain. Di arah selatan Usmaniyah
berhasil pula menguasai laut merah dan menjadi pelindung Mekah dan Madinah,
sekaligus melindungi jalur perdagangan rempah-rempah dari samudra Hindia.
Dalam perkembangannya, posisi Usmaniyah yang
berada diantara Eropa dan Asia sangat penting bagi karakteristik ekonomi negara
ini. Akhir dari periode ini yaitu kegagalan dalam menguasai Wina pada 1683 yang
menandakan titik balik peradaban di mana Eropa mulai menadi pihak yang
melakukan ekspansi kedunia Muslim. Ketidak mampuan Usmaniyah untuk bergerak
labih dalam lagi ke eropa membuat kekhalifaan ini menghentikan upaya perluasan
dan berorientasi pada upaya menjaga kestabilan negara.
Pada akhirnya, tahun 1774, laut Hitam lepas
dari monopoli Usmaniyah. Kekaisaran Rusia berkembang dan menjadi pemain baru
yang semakin kuat. Sementara itu, diselatan Napoleon pada 1798 berhasil
menguasai Mesir dan akhirnya Usmaniyah mengalami kemunduran dengan kekuasaan
hanya meliputi kawasan Turki dan Balkan. Setelah dua abad ketegangan antara
negara, produsen barang, dan pedagang, pada akhirnya pemerintah Usmaniyah secara
ekonomi harus menyerah pada perusahaan-perusahaan kapitalis Eropa.
Pada akhir kekuasaan Usmaniyah, wacana
penyatuan islam telah redup berganti dengan nasionalisme, seiring semakin
mengecilnya kawasan kekuasaan Usmaniyah. Sementara umat islam terpecah-pecah
dan dikuasai oleh kapitalisme Eropa, wacana nasionalisme muncul sebagai
semangat baru yang mengombinasikan antara latar belakang pendidikan Barat dan
semangat mengembalikan kejayaan islam. Generasi baru pemikir islam di mana di
satu sisi. Karenanya, para intelektual muda ini baik dari segi pemikiran untuk
pengembangan islam namun bidang ekonomi tetap merupakan bidang yang terisolasi
dan tidak dapat dikritisi oleh para pemikir ini karena mereka hidup dan
berkembang olehnya.[8]
[1] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), 108.
[2] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam (Bandung: Pustaka
Setia, 2010), 124.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah
Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal:42.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah
Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal:43.
[5] Nurul Huda, Ekonomi Pembangunan Islam (Jakarta: Kencana, 2015), 61.
[6] Abdullah, Peradaban Pemikiran., 126.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah
Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal:44.
[8] Huda, Ekonomi Pembangunan., 65-68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar