Rabu, 19 Desember 2018

Makalah Sejarah Peradaban Ekonomi Islam: Tradisi dan Praktek Masa Daulah Islam

MAKALAH
TRADISI DAN PRAKTEK EKONOMI PADA MASA DAULAH ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:
SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu:
Alwi Musa Muzaiyin, S.EI, M.Sy



Disusun oleh :
                Retno Sulistiyani                                              931335515



JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI

2017

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar belakang
Perkebangan ekonomi islam saat ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah pemikiran Muslim tentang ekonomi di masa lalu. Para pemikir Muslim selalu berupaya untuk membuat solusi atas segala persoalan hidupnya sesuai dengan perspekstif yang mereka miliki pada masanya. Namun tidak lepas dari itu, mereka tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi, konsep dan teori ekonomi dalam islam pada hakekatnya merupakan respon pada cendekiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi islam sesuai islam itu sendiri.
Banyak ekonom muslim lahir dimasa Daulah islam dibanding di masa Khulafa’ al-rashidin. Hal ini bisa dijadikan alasan bahwa tumbuhnya pemikir Muslim tentang ekonomi tidak bebas dari kenyataan-kenyataan yang tumbuh di zaman yang melahirkan menjadi pemikir yang ahli dibidang-bidang tertentu. Demikian juga, hal ini bisa dijadikan alat untuk melihat mengapa ilmu ekonomi belum ditemukan sebagai disiplin tersendiri di masa lalu, dan juga untuk mengetahui mengapa banyak pemikir Muslim tidak hanya memiliki kemampuan di satu bidang keilmuan.

B.            Rumusan masalah
1.      Bagaimana tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Ummayah?
2.      Bagaimana tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Abbasiyah?
3.      Bagaimana tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Utsmani?


C.           Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Ummayah.
2.      Untuk mengetahui tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Abbasiyah.
3.      Untuk mengetahui tradisi dan praktek ekonomi pada masa Bani Utsmani.
BAB II
PEMBAHASAN

A.           Tradisi dan Praktek Ekonomi pada Masa Bani Umayyah (661-750M)
Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أميةBanu Umayyah, Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya (beribukota di Damaskus) ; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah.
Keberhasilan yang dicapai Bani Umayyah memberikan bentuk pemikiran ekonomi yang berbeda, tepatnya ketika dunia islam berada dibawah kepemimpinan Khalifah Bani Umayyah, kondisi baitul maal berubah. Pada masa sebelumnya baitul maal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah, baitul maal berada sepenuhnya dibawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikeritik oleh islam.[1]
Pada masa pra islam, uang romawi dan persia digunakan di hijaz, disamping uang perak himyar yang bergambar burung hantu attic. Para khalifah terdahulu merasa cukup dengan mata uang asing yang sudah beredar.[2] Pada tahun 690-an, koin-koin kemudian diberikan ayat-ayat untuk membedakan koin islam dan bukan. Ayat-ayat yang dituliskan berhubungan dengan akidah yang ditulis ditengah dan pinggir koin. Frasa yang digunakan yaitu “tidak ada Tuhan selain Allah. Ia tidak mempunyai sekutu” ditengah koin, dan dipinggir terdapat kalimat “Muhammad adalah Rasulullah, yang mengirimnya dengan petunjuk dan ragam kebenaran untuk mengatasi semua agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukainya. Model ini terus digunakan hingga berakhir masa umayyah.

Pemikiran khalifah-khalifah di bidang ekonomi pada masa Bani Umayyah
a.       Khalifah Muawiyah ibn Abi Sofyan
Pada masa pemerintahannya, beliau mendirikan dinas pos berserta dengan berbagai fasilitasnya, menertibkan angakatan perang, mencetak uang, dan mengembangkan jabatan Adi ( hakim ) sebagai jabatan profesional. Selain itu, beliau juga menerapkan kebijakan pemberian gaji tetap kepada para tentara, pembentukan tentara profesional, serta pengembangan birokrasi seperti fungsi pengumpulan pajak dan administrasi.[3]
b.   Khalifah Abdul Malik ibn Marwan
Pemikiran yang serius terhadap penerbitan dan pengaturan unag dalam masyarakat islam muncul di masa pemerintahan beliau. Abd al-Malik mengubah bizantinum dan persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan arab serta tetap mencantumkan kalimat ‘’bismillahirrahmanirrahim pada tahun 74 H ( 659 M). Pembuatan mata uang pada masa itu didasarkan pemikiran bahwa mata uang selain memiliki nilai ekonomi juga sebagai pernyataan kedaulatan Dinasti Islam. Disamping itu, mata uang juga berfungsi sebagai sarana pengumuman keabsahan pemerintahan pada waktu itu yang namanya terpatri pada mata uang tersebut. Khalifah Abdul Malik bin Marwan pun memerintahkan Arabisasi maat uang sebagian dari politik arabisasi aparatur negara pada masa pemerintahannya.
Mata uang yang dibuat di dunia islam waktu itu disebut sikkah . Menurut Ibn Khaldun kosa kata sikkah selain dikenakan terhadap mata uang juga dikenakan terhadap gedung tempat pembuatan mata uang. Karenanya gedung tersebut juga disebut Dar as-Sikkah. Darul as-sikkah tersebar diberbagai pelosok wilayah islam pada waktu itu, sehingga Darul as-sikkah dikenal sampai di luar kawasan islam.
Di dunia islam mengenal dua jenis mata uang utama, yaitu mata uang dinar emas, di ambil dari kata dinarius, dan dirham perak yaitu berasal dari kosa kata yunani drachmos. Selain kedua jenis tersebut, terdapat mata uang pecahan atau disebut maksur seperti qitha dan mithqal. Pada empat hijrah dunia islam mengalami krisis mata uang emas dan perak, maka dibuatlah dari tembaga atau campuran tembaga dengan perak yang disebut dengan fulus ( diambil dari bahasa latin follis), yaitu mata uang tembaga tipis. Mata uang tersebut juga disebut al-qarathis karena mirip dengan lembaran kertas.
Setelah muncul mata uang fulus mata uang mulai dihitung. Setelah banyak mata uang bercap khalifah munculah kelompok orang-orang memberikan jasa dalam mempermudah transaksi keuangan dan penukaran mata uang ( as-shayyrifah). Di samping itu muncul istilah keuangan yang menunjukan bahwa tempat penukaran berubah fungsinya menjadi Bank. Istilah tersebut antara lain shaftajah, shakk, khath, hawwalah.
Selain itu khalifah Abdul Malik dalam hal pajak dan zakat memberikan kebijakan dengan memberlakukan kewajiban bagi umat Islam untuk membayar Zakat dan bebas dari pajak lainnya. Hal ini mendorong orang non-muslim memeluk agama Islam. Dengan cara ini, meraka terbebas dari pembayaran pajak. Setelah itu, meraka meninggalkan tanah pertaniannya guna mencari nafkah di kota-kota besar sebagai tentara. Kenyataan ini menimbulkan masalah bagi perekonomian negara. Karena pada satu sisi, perpindahan agama mengakiibatkan berkurangnya sumber pendapatan negara dari sektor pajak. Pada sisi lain, bertambahnya militer Islam dari kelompok mawali memerlukan dana subsidi yang semakin besar. Untuk mengatasi permasalahan ini, khalifah Abdul Malik bin Marwan mengembalikan beberapa militer Islam kepada profesinya semula, yakni sebagai petani dan menetapkan kepadanya untuk membayar sejumlah pajak sebagaimana kewajiban mereka sebelum mereka masuk islam, yakni sebesar beban kharaj dan jizyah.
Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan islam. Keberhasilan khalifah Abd al-malik diikuti oleh putranya Al-walid Abd al-Malik (705-715) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembanguna. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personil yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[4]
       
c.    Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz

Khalifah Umar bin Abdul Aziz termasuk khalifah besar yang berupaya lebih spiritualis dibanding Khalifah Umayyah sebelumnya. Ia berupaya kembali memberlakukan perdagangan bebas dengan argumen kalau lautan dan daratan adalah milik Allah dan negara tidak boleh menghalangi umat dalam berdagang. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya bea cukai. Walaupun begitu, ternyata negara lain memberlakukan pajak bagi ekspor dari negara islam sehingga Umar menarik kembali kebijakan ini dengan memberlakukan pajak. Pajak ini dinamakan usur dan besarnya 10% dari impor barang. Lebih lanjut, khalifar Umar juga melakukan pembedaan antara jizyah dan pajak tanah, yang tidak lagi diidentifikasikan semata untuk non-muslim.[5]
Dalam kaitannya dengan perubahan mata uang kita perlu memperhatikan pembaharuan sistem keuangan dan administrasi yang terjadi dimasa ini. Pada dasarnya tidak ada seorang muslim pun dari bangsa manapun yang dibebani membayar kewajiban pajak selain zakat atau santunan untuk orang miskin. Karena teori ini banyak para petani meninggalkan ladang mereka dan memililh untuk masuk islam, karena ketentuan pajak tidak ditentukan dengan keadaan tanah dan dan hasil panen mereka. Hal ini menyebabkan pendapatan pajak sangat berkurang dan pengeluaran bertambah dengan pembayaran subsidi untuk para prajurit yang baru bergabung.[6]


Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz juga menetapkan kebijakan dengan mengurangi beban pajak atas penganut kristen najran dari 2000 keping menjadi 200 keping. Kebijakan ini dikeluarkan karena ternyata masyarakat kristen khususnya Bani Najran merasa berat. Beban meraka dirasakan terlalu berat untuk dipikul. Karena kebanyakan mereka bukan orang-orang kaya. Karena itu mereka menuntut Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz untuk mengurangi beban pajak tersebut. Dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz menetapkan kebijakan untuk melarang pembelian tanah non-muslim kepada umat islam, langkah ini diambil khalifah karena banyak tanah orang kristen yang sudah menjadi milik orang islam. Sehingga banyak umat kristen yang tidak memiliki lahan untuk digarap.
Lebih jauh lagi, khalifah Umar Ibn Abdul Aziz menerapkan kebijakan otonomi daerah. Setiap wilayah islam mempunyai wewenang untuk mengelola zakat dan pajak sendiri-sendiri dan tidak diharuskan menyerakan upeti kepada pemerintahan pusat. Bahkan sebaliknya pemerintah pusat akan memberikan bantuan subsidi kepada setiap wilayah islam yang minim pendapatan zakat dan pajaknya.
Dengan demikian, masing-masing wilayah islam diberi kekuasaan untuk mengelola kekayaannya. Jika terdapat surplus, khalifah Umar Ibn Abdul Aziz menyarankan agar wilayah tersebut memberi bantuan kepada wilayah yang minim pendapatannya, untuk menunjang hal ini, ia mengangkat ibn jahdam sebagai Amil shadaqah yang bertugas menerima dan mendistribusikan hasil shadaqah secara merata ke seluruh wilayah islam.
Pada masa pemerintahannya, sumber-sumber pemasukan negara berasal dari zakat, hasil rampasan perang, pajak penghasilan pertanian ( pajak ini diawal pemerintahan khalifah Umar Ibn Abdul Aziz di tiadakan, mengingat situasi ekonomi yang belum kondusif. Setelah stabilitas perekonomian masyarakat membaik, pajak ini ditetapkan, dan hasil pemberian lapangan kerja produktif kepada masyarakat luas.
Akan tetapi, kondisi baitul maal yang telah dikembalikan oleh Umar Ibn Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi baitul maal, dan keadaan  demikian berkepanjangan sampai masa ke khalifahan Bani Abbasiyah.[7]








B.            Tradisi dan Praktek Ekonomi pada Masa Bani Abbasiyah (750-1258M)
Bani Abbasiyah meraih tampuk kekuasaan Islam setelah berhasil menggulingkan pemerintahan dinas Bani Umayyah pada tahun 750 H. Para pendiri dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, sehingga khalifah tersebut dinamakan Khilafah Abbasiyah. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad nin Ali bin Abdullah bin al-Abbas (132-136H).
Diantara periode-periode pemerintahan tersebut, Dinasti Abbasiyah mencapai masa keemasan pada periode pertama. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Karena Abdullah al-Saffah hanya memerintah dalam waktu yang singkat, pembina yang sesungguhnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al Manshur (136-148H). Pada masa pemerintahannya, khalifah al-Manshur lebih banyak melakukan konsolidasi dan penertiban administrasi birokrasi.
Keberhasilan Khalifah al-Manshur dalam meletakkan dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah memudahkan usaha para Khalifah berikutnya untuk lebih fokus terhadap permasalahan ekonomi dan keuangan negara, sehingga peningkatan dan pengembangan taraf hidup rakyat dapat terjamin.
Ketika al-Mahdi (158-169H). Menjadi Khalifa, keadaan negara menjadi stabil. Ia banyak menerapkan kebijakan yang menguntungkan rakyat banyak, seperti pembangunan tempat-tempat persinggahan para musafir haji, pembuatan kolam-kolam air bagi para khalifah dagang beserta hewan bawaannya, serta memperbaiki dan memperbanyak jumlah telaga dan perigi. Ia juga mengembalikan harta yang dirampas ayahnya kepada pemiliknya masing-masing.
Ketika tampuk pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H), pertumbuhan ekoonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya.
Dari gambaran diatas, terlihat bahwa Dinasti Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, termasuk kehidupan perekonomian, daripada perluasan wilayah. Setelah melewati periode ini, Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dan akhirnya dihancurkan oleh bangsa mongol pada tahun 1258 M.




C.           Tradisi dan Praktik Ekonomi pada Masa Bani Ustmani
Awal penguasaan ustmani didunia islam yaitu ketika Konstantinopel akhirnya jatuh ke tangan penakluk Turki tahun 1453. Hal ini mengakhiri kekuasaan Barat, yang diwakili oleh Romawi, di kawasan Timur Tengah. Semenjak itu, jalur perdagangan utama Barat lewat Laut Tengah menempuh jalur darat Melintasi Asia Tengah menuju China dikuasai Turki dan karenanya, banyak yang lebih memilih untuk memutar Afrika dan menempuh jalur samudra Hindia. Sebagian bahwa mencoba untuk menguji teori Bumi bulat.
Adanya langkah memutar itu mendorong Usmaniyah untuk melakukan aktivitas ekonomi baru di Samudra Hindia. Aktivitas ini membuat jalur laut menjadi jalur giat secara ekonomi dan keagamaan namun juga berbahaya karena persaingan Portugis dan Ingris. Sementara itu, usmaniyah lebih berorientasi dalam upaya penaklukan kawasan Balkan untuk mempenetrasi Eropa dari arah timur. Langkah ini menekankan pentingnya pajak tanah sebagai sumber pemasukan bagi negara dan militer. Walaupun begitu beberapa pedagang Turki memeliki posisi penting dalam perdagangan di Selat Malaka.
Pembangunan ekonomi di awal era Usmaniyah berpusat pada kawasan Turki, khusunya Istanbul. Hal ini disebabkan luasnya kawasan yang dikuasai sementara kawasan-kawasan tersebut sebagian terisolasi. Jalur dagang uara dipercayakan pada bangsa Tartar dari Krimea untuk mengawasi jalur prdagangan badak, bulu, dan barang-barang lain. Di arah selatan Usmaniyah berhasil pula menguasai laut merah dan menjadi pelindung Mekah dan Madinah, sekaligus melindungi jalur perdagangan rempah-rempah dari samudra Hindia.
Dalam perkembangannya, posisi Usmaniyah yang berada diantara Eropa dan Asia sangat penting bagi karakteristik ekonomi negara ini. Akhir dari periode ini yaitu kegagalan dalam menguasai Wina pada 1683 yang menandakan titik balik peradaban di mana Eropa mulai menadi pihak yang melakukan ekspansi kedunia Muslim. Ketidak mampuan Usmaniyah untuk bergerak labih dalam lagi ke eropa membuat kekhalifaan ini menghentikan upaya perluasan dan berorientasi pada upaya menjaga kestabilan negara.
Pada akhirnya, tahun 1774, laut Hitam lepas dari monopoli Usmaniyah. Kekaisaran Rusia berkembang dan menjadi pemain baru yang semakin kuat. Sementara itu, diselatan Napoleon pada 1798 berhasil menguasai Mesir dan akhirnya Usmaniyah mengalami kemunduran dengan kekuasaan hanya meliputi kawasan Turki dan Balkan. Setelah dua abad ketegangan antara negara, produsen barang, dan pedagang, pada akhirnya pemerintah Usmaniyah secara ekonomi harus menyerah pada perusahaan-perusahaan kapitalis Eropa.
Pada akhir kekuasaan Usmaniyah, wacana penyatuan islam telah redup berganti dengan nasionalisme, seiring semakin mengecilnya kawasan kekuasaan Usmaniyah. Sementara umat islam terpecah-pecah dan dikuasai oleh kapitalisme Eropa, wacana nasionalisme muncul sebagai semangat baru yang mengombinasikan antara latar belakang pendidikan Barat dan semangat mengembalikan kejayaan islam. Generasi baru pemikir islam di mana di satu sisi. Karenanya, para intelektual muda ini baik dari segi pemikiran untuk pengembangan islam namun bidang ekonomi tetap merupakan bidang yang terisolasi dan tidak dapat dikritisi oleh para pemikir ini karena mereka hidup dan berkembang olehnya.[8]


[1] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 108.
[2] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 124.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal:42.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal:43.
[5] Nurul Huda, Ekonomi Pembangunan Islam (Jakarta: Kencana, 2015), 61.
[6] Abdullah, Peradaban Pemikiran., 126.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal:44.
[8] Huda, Ekonomi Pembangunan., 65-68.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Kewirausahaan: Transformasi, Inovasi dan Kreativitas Kewirausahaan

RESUME TRANSFORMASI KEWIRAUSAHAAN, TEORI INOVASI DAN KREATIVITAS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: KEWIRAUSAHAAN Dosen Peng...