MAKALAH
PENGUMPULAN DAN DISTRIBUSI
ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah:
MANAJEMEN
ZISWAF
Dosen
Pengampu:
Ahmad Syakur, M.EI
Disusun
oleh:
Dona Candra S 931312215
Retno Sulistiyani 931335515
Choirun Nikmah 931336915
KELAS: D
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Eksistensi
zakat bagi perkembangan ekonomi umat Islam merupakan suatu bagian yang sangat
penting karena melalui zakat, mekanisme distribusi kesejahteraan dalam konsep
Islam diwujudkan. Pada zakat terjadi perpindahan kekayaan dari yang mampu
kepada yang tidak mampu dan berhak
menerimanya. Tujuan utamnya adalah zakat sebagai kesejahteraan rakyat. Dalam
Al-Qur’an surat Al-Ma’un dijelaskan
“Tahukah engkau (orang atau kumpulan orang atau Negara) yang mendustakan
agama …” Jadi, negara yang mendustakan agama adalah negara yang tidak
sungguh-sungguh mengurusi kaum miskin. Ayat tersebut menyebutkan, ciri
kesalehan suatu pribadi, institusi, dan negara adalah pemihakan kepada yang
terpinggirkan karena faktor kesalehan akan terganggu bukan hanya karena
spiritual tapi juga material.
Salah satu yang
menunjang kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat adalah adanya
kesejahteraan sosial-ekonomi. Ini merupakan seperangkat alternatif untuk
mensejahterakan umat Islam dari kemiskinan dan kemelaratan. Untuk itu perlu
dibentuk lembaga-lembaga untuk menanggulangi masalah sosial tersebut.
Sehubungan dengan hal itu, maka zakat dapat berfungsi sebagai salah satu sumber
dana sosial-ekonomi bagi umat Islam. Artinya, pendayagunaan zakat yang dikelola
oleh badan amil zakat tidak hanya terbatas pada kegiatan tertentu saja yang berdasarkan
pada orientasi konvensional, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk
kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi umat seperti dalam program pengentasan
kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan zakat produktif kepada mereka
yang memerlukan sebagai modal usaha.
Kita lihat
tentang system pengelolaan zakat yang ada pada Badan Amil Zakat di negeri ini.
Satu contoh pendistribusian zakat yang dipilah-pilah. Jika system pengelolaan
Badan Amil Zakat menerapkan sistem perbankan dan mengacu pada sistem
pengentasan kemiskinn yang menjadi bagian dari kewajiban departemen sosial maka
tentu akan merugikan hak-hak mustahik yang seharusnya mendapat bagian zakat itu
sendiri. Untuk itu pemerintah wajib menyelenggarakan berbagai tugas untuk
mewujudkan masyyarakat adil dan makmur menuju kesejahteraan rakyat lahir dan
batin. Salah satunya dengan cara melakukan manajemen yang baik dalam
pengumpulan. Pengelolaan dan pendistribusian di lembaga amil zakat, infaq dan
shadaqah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian manajemen?
2.
Bagaimana
penegrtian penghimpunan?
3.
Bagaimana
manajemen pengumpulan Zakat, Infaq, Shadaqah?
4.
Bagaimana
langkah-langkah manajemen penghimpunan?
5.
Bagaimana
prinsip-prinsip penghimpunan dan pengelolaan zakat?
6.
Bagaimana
manajemen distribusi Zakat, Infaq, Shadaqah?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian manajemen.
2.
Untuk
mengetahui penegrtian penghimpunan.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana manajemen Pengumpulan Zakat, Infaq, Shadaqah.
4.
Untuk
mengetahui langkah-langkah manajemen penghimpunan.
5.
Untuk
mengetahui prinsip-prinsip penghimpunan
dan pengelolaan zakat.
6.
Untuk
mengetahui manajemen distribusi Zakat, Infaq, Shadaqah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Manajemen
Secara
etimologi manajemen berasal dari bahasa latin, yaitu manus yang berarti tanggan dan agree
yang berarti melakukan. Kata-kata itu digabung menjadi kata kerja manager yang artinya menangani. Manager diterjemahkan ke dalam Bahasa
Inggris dalam bentuk kata kerja to manage,
dengan kata benda managemen, dan manager untuk orang yang melakukan
kegiatan menejemen. Akhirnya, managemen diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan.[1]
Menurut
George Terry yang dikutip dalam buku Tommy Suprapto mendefinisikan manajemen
sebagai berikut, “manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri
dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, penggiatan dan
pengawasan yang dilakukan untuk menentukan
serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan
melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber- sumber lainnya.”[2]
B.
Pengertian
Penghimpunan
Untuk memahami penghimpunan atau biasa disebut
istilah fundraising kita bisa merujuk
terlebih dahulu ke dalam kamus bahasa Inggris. Fundraisin di terjemahkan dengan pengumpulan uang. Mengapa
pengumpulan uang perlu ? pengumpulan uang sangat di perlukan untuk membiayai
program kerja dan oprasional sebuah lembaga. Intinya keberlangsungan hidup
sebuah lembaga tergantung pada sejauh mana pengumpulan dana itu di lakukan.
Penghimpunan biasanya di lakukan oleh lembaga-lembaga atau organisasi nirlaba.[3]
atau OPZ (karena organisasi pengelola zakat bekerja atas dasar ibadah dan
sosial, tidak fokus pada perolehan laba dan keuntungan, maka OPZ menjadi bagian
dari organisasi nirlaba).
C.
Manajemen Pengumpulan Zakat, Infaq, Shadaqah
Dalam
pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah
dan lembaga amil zakat yang dibentuk oleh masyarakat dan pengumpulan dan
pendayagunaan infak dan sedekah yang dikukuhkan oleh pemerintah. Pada manajemen
pengumpulan zakat, infak, dan shadaqah terdapat fungsi- fungsi manajemen
diantaranya yaitu:
1.
Perencanaan
(Planning)
Perencanaan
ditekankan pada kerangkan kerja operasional organisasi zakat untuk mencapai
tujuan yang telah ditargetkan baik jangka pendek, jangka menengah dan jangka
panjang. Perencanaan-perencanaan merupakan fungsi utama daripada manajemen dari
segala bidang dan tingkat manapun. Perencanaan dalam organisasi zakat mencakup
hal-hal luas seperti seperti tenaga lapangan yang bertujuan mengumpulkan zakat,
menentukan waktu yang tepat, menetapkan segmen muzakki dan mustahik, membuat forecasting
dan targeting dana yang akan dihimpun dan disalurkan sesuai dengan
prinsip syari’ah, merencanakan beberapa dana yang diharapkan dapat dihimpun dan
disalurkan untuk setiap periode.[4]
Hani
Handoko mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “perencanaan adalah pemilihan
sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang harus dilakukan, kapan,
bagaimana dan oleh siapa. Salah satu cara yang paling lumrah dalam penyusunan
suatu rencana adalah dengan mengatakan bahwa perencanaan berarti mencari dan
menemukan jawaban terhadap enam pertanyaan yaitu apa, dimana, bilamana,
bagaimana, siapa, dan mengapa.
Dalam aspek perencanaan terdapat dua tipe utama
rencana, yaitu:[5]
1.)
Rencana-rencana
Strategik (Strategic plans), rencana
ini dirancang untuk memenuhi tujuan-tujuan organisasi yang lebih luas dan
mengimplementasikan misi yang memberikan alasann khas keberadaan organisasi.
2.)
Rencana-rencana
operasional (Operational plans),
dalam aspek ini diuraikan secara terperinci bagaimana rencana-rencana strategic
akan dicapai. Dalam tipe operational
plans, terdapat dua sub-tipe dalam pelaksanaannya. Pertama, Rencana sekali
pakai (single use plans), bagian ini dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu dan tidak digunakan kembali
bila telah tercapai. Kedua, rencana tetap (standing
plans), merupakan pendekatan-pendekatan standar untuk penanganan
situasi-situasi yang dapat diperkirakan dan terjadi berulang-ulang.
2.
Pengorganisasian
(Organizing)
Pengorganisasian
dalam sebuah organisasi merujuk pada pembagian tugas dan tanggung jawab
masing-masing pihak yang terlibat dalam organisasi zakat dengan memanfaatkan
sarana dan prasana yang dimiliki organisasi zakat. Pengorganisasian, sbaiknya
sususnan organisai zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yaitu berfungsi untuk
mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infak, dan shadaqah kepada masyarakat.
Sebagai ketua uum ialah seorang tokoh atau ulama yang disegani umat serta
memperoleh restu dan petunjuk dari pemerinth daerah sebagai pengayom.
Terorganisir
maksudnya organisasi pengelola zakat disusun secara networking (terdapat jaringan
kerja) antar BAZ, antar LAZ, antar BAZ dan LAZ. Setiap BAZ atau LAZ memiliki
wilayah dan bekerja pada masing-masing wilayah sesuai dengan tugas dan peran
masing-masing.
Aspek
pengorganisasian mencakup pembagian tugas, pengelolaan SDM, pengelolaan sarana,
pengelolaan waktu dan sebagainy. Aspek pelaksanaan pengumpulan zakat mencakup
efektifitas dan efisiensi pngumpulan zakat. Pengumpulan zakat yang efektif dan
efisien akan tercapai manakala tahapan yang lainnya sudah dilakukan dengan baik
dan perencanaan pengumpulan zakat telah dirumuskan dengan baik.
3.
Pengarahan
(Actuating)
Pemberian
perintah, komunikasi, dan koordinasi dalam proses pelaksanaan tugas organisasi.
Jaringan kerja dalam proses pengorganisasian zkat mesti dipahami dan diterapkan
sehingga system pelayanan terpadu, terarah dan terintegrasi antar organisasi
zakat menjadi terbuka. Sistem ini juga membantu muzakki dalam mengakses
informasi secara bebas, mengontrol dan mengikuti perkembangan dana zakat yang
mereka tunaikan. Demkian juga dengan data base mustahik yang telah
mendapat santunan dan pembinaan dari
suatu LAZ/BAZ akan dapat diakses
dan diketahui oleh organisasi zakat
lainnya.
4.
Pengawasan
(Controlling)
Pengawasan
mencakup aspek evaluasi kinerja organisasi zakat. Pengawasan memudahkan organisasi
zakat mengidentifikasi berbagai peluang, kemudahan, dan tantagan yang dianggap
sebagai kekuatan yang mendukung dan kelemahan yang menghambat peningkatan
kinerja dan pencapaian tujuan organisasi.
Denan
adanya pengawasan kelamahan-kelemahan yang melekat dalam operasional zakat
dapat diperbaiki dan ditingkatkan
sumbardaya-sumberdaya yang dimiliki organisasi dapat dikontro dan diamankan,
serta pendistribusian dan pendayagunaan zakat oleh para mustahik produktif
dapat diketahui tingkat kemajuan dan kemundurannya, menjamin tercapainya tujuan
organisasi zakat, meluruskan berbagai penyimpangan yang tak sesuai dengan
tujuan dan program organisasi.[6]
D.
Langkah-langkah Manajemen Penghimpunan
Langkah-langkah
dalam manajemen penghimpunan merupakan penjabaran dari fungsi manajemen itu
sendiri, maka langkah-langkah tersebut merupakan pengejawantahan dari proses
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan.
Dalam
proses perencanaan maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:[7]
a.
Perkiraan
dan perhitungan masa depan
Dalam aspek ini suatu organisasi bisa membuat
perkiraan mengenai kemungkinan terlaksananya kegiatan fundraising, baik dari
segi waktu, tempat ataupun kondisi organisasi.
b. Penentuan
dan perumusan sasaran
Di bagian ini ditentukan sasaran yang akan
dijadikan objek penghimpunan, segmentasi mana yang akan dijadikan sasaran
penggalangan dana, kemudian ditentukan juga tujuan dari penggalangan dana itu
sendiri.
c. Penetapan Metode
Di bagian ini ditentukan metode apa yang akan
dipakai untuk penggalangan dana, metode penghimpunan sangat banyak sekali
macamnya, hal ini bisa ditentukan dengan berdasar kepada kondisi lembaga
ataupun objek penghimpunan.
d. Penetapan
Waktu dan Lokasi
Dalam poin ini ditentukan waktu pelaksanaan dan
juga tempat yang akan dijadikan sasaran penghimpunan.
e. Penetapan Program
Dalam
poin ini ditentukan gambaran atau rentetan kegiatan yang akan dilaksanakan
untuk mencapai tujuan penghimpunan.
f.
Penetapan
biaya
Dalam tahap ini
organisasi harus memperkirakan biaya yang diperlukan untuk proses penghimpunan,
dan juga menentukan target dana yang akan didapat. Dalam tahap ini suatu
lembaga membagi penghimpunan sesuai dengan strategi dan metode yang
dijalankannya, pembagian ini sangat penting karena pelaksanaanya pun akan
berbeda dan dilakukan dengan cara yang berbeda.
g.
Perumusan dan pembagian tugas kerja
Dibagian ini
ditentukan pembagian tugas kerja dalam pelaksanaan penghimpunan, pembagian
tugas ini dimaksudkan agar tidak adanya tumpah tindih tugas, semua tugas
terbagi habis dan tidak ada yang terbengkalai sehingga target penghimpunan yang
telah ditetapkan dalam perencanaan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
h.
Pemberian wewenang
Pada bagian ini
para karyawan ataupun pekerja diberikan kejelasan wewenang, agar tidak terjadi miss communication dan miss understanding
Dalam proses
penggerakan langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
a.
Pembimbingan
Pembimbingan adalah aktivitas manajemen yang berupa memerintah,
menugaskan memberi arah, memberi
petunjuk kepada bawahan dalam menjalankan
tugas sehingga dapat tercapai dengan efisien.
b.
Pengkoordinasian
Ibnu
Syamsi sebagaimana dikutip Hasanudin, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
“pengkoordinasian adalah aktivitas dan fungsi manajemen yang dilakukan dengan
jalan menghubungkan-hubungkan, memanunggalkan
dan menyeleraskan orang-orang dan pekerjaan-pekerjaanya sehingga semuanya
berlangsung tertib dan seirama menuju ke arah tercapainya tujuan bersama”.[8]
c.
Pengambilan
Keputusan
Pengambilan keputusan pada hakikatnya merupakan
kegiatan manajemen yang terwujud
dalam tindakan pemilihan
diantara pelbagai kemungkinan
untuk menyelesaikan persoalan dan pertentangan yang timbul dalam proses
pengelolaan organisasi.[9]
d. Menetapkan standar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
dimaksud dengan standar adalah ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan.
Adapun syarat-syarat standar yang baik adalah:[10]
1. Validitas; kesahihan
2. Reliabilitas; handal, terpercaya
3. Sensitivitas; kepekaan, kemampuan untuk membedakan
4.
Akseptabilitas;
dapat diterima untuk digunakan
5.
Practicable; dapat dipraktikan.
6.
Pemeriksaan
dan penelitian
Dalam
pemeriksaan dan penelitian terhadap pelaksanaan kegiatan penghimpunan. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan,yaitu:
1.
Peninjauan
pribadi manajer
2.
Laporan
secara lisan
3.
Laporan tertulis
4.
Laporan
dengan penelitian terhadap hal-hal yang bersifat istimewa.[11]
e.
Membandingkan
antara pelaksanaan tugas dengan standar.
Dalam proses ini dapat diadakan penilaian
apakah proses penghimpunan berjalan dengan baik atau sebaliknya telah terjadi
penyimpangan-penyimpangan. Apabila ternyata proses penghimpunan berjalan dengan
baik, artinya pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana dan hasilnya dapat
mendekati atau bahkan mencapai target yang telah ditentukan. Hal itu bisa
dijadikan contoh untuk pelaksanaan penghimpunan berikutnya. Tetapi apabila
dalam prosesnya terdapat penyimpanganpenyimpangan dan hasilnya tidak dapat
mencapai target yang telah ditentukan, maka manajer harus memfokuskan
perhatiannya ke arah penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi.[12]
f.
Mengadakan
tindakan perbaikan dan pembetulan
Yaitu
terhadap penyimpangan penyimpangan yang telah terjadi. Diantara penyebab terjadinya
penyimpangan-penyimpangan yaitu:
1. Kekurangmampuan pihak pelaksana. Solusi dari permasalahan ini
dilakukan dengan training, penambahan atau penggantian tenaga pelaksana.
2. Waktu dan biaya tidak cukup tersedia. Solusinya dengan tindakan
perbaikan berupa penyesuaian waktu dan biaya dengan kepadatan volume pekerjaan.
3. Ketidakmampuan manajer/pemimpin dalam mengelola setiap elemen yang
dibutuhkan. Solusinya dengan peningkatan kualitas manajemen melalui pelatihan, Training Development, dan Organization Development.[13]
E.
Prinsip-Prinsip Penghimpunan dan Pengelolaan Zakat
Dalam penghimpunan
dan pengelolaan
zakat terdapat beberapa prinsip-prinsip yang harus diikuti dan ditaati agar
pengelolaan dapat berhasil sesuai yang diharapkan, diantaranya :
1. Prinsip Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat hendaknya
dilakukan secaraterbuka dan diketahui oleh masyarakat umum.
2. Prinsip Sukarela, artinya bahwa dalam pemungutan atau pengumpulan zakat
hendaknya senantiasa berdasarkan pada prisip sukarela dari umat Islam yang
menyerahkan harta zakatnya tanpa ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang
dianggap sebagai suatu pemaksaan. Meskipun
pada dasarnya ummat Islam yang enggan membayar zakat harus mendapat sangsi
sesuai perintah Allah.
3. Prinsip Keterpaduan, artinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya
harus dilakukan
secara terpadu diantara komponen-komponen yang lainnya.
4. Prefesionalisme, artinya dalam pengelolaan zakat harus dilakukan
oleh mereka yang ahli dibidangnya, baik dalam
administrasi, keuangan dan sebaginya.
5. Prinsip Kemandirian, prinsip ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari
prinsip prefesionalisme, maka diharapkan lembaga-lembaga pengelola zakat dapat
mandiri dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu menunggu bantuan
dari pihak lain.
F.
Manajemen Distribusi Zakat, Infaq, Shadaqah
Masalah kemiskinan merupakan salah
satu penyebab munculnya permasalahan perekonomian masyarakat, karena definisi
kemiskinan adalah lemahnya sumber penghasilan yang mampu diciptakan individu
masyarakat yang juga mengimplikasikan akan lemahnya sumber penghasilan yang ada
dalam masyarakat itu sendiri. Dari fenomena diatas, maka Islam mulai
mengkonsentrasikan pada pengentasan kemiskinan dengan mencari pemecahannya
diberbagai aspek.[14]
Dalam sebuah hadis riwayat
al-Ashbahani, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Alah SWT telah mewajibkan
atas hartawan muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan.
Tidaklah mungkin terjadi seseorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan
pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan muslim. Ingatlah
Allah SWT akan melakukan perhitungan dan meminta pertanggung jawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa
mereka dengan siksaan yang pedih.
Hadis tersebut paling tidak
memberikan dua petunjuk dan isyarat. Pertama, kemiskinan dan kefakiran pada
umat bukanlah semata-mata karena kemalasan mereka dalam bekerja, akan tetapi
juga akibat dari pola kehidupan yang timpang, pola kehidupan yang tidak adil,
dan merosotnya rasa kesetiakawanan diantara sesama umat. Dalam laporan Susan
George, Lapoe dan Colin menyatakan bahwa penyebab utama kemiskinan adalah
ketimpangan sosial ekonomi karena adnya sekelompok kecil orang-orang yang hidup
mewah diatas penderitaan orang banyak, dan bukannnya diakibatkan oleh
semata-mata kelebihan jumlah penduduk. Kedua, sesungguhnya jika zakat, sedekah
dan infak dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan ditata dengan baik, baik
pengambilan maupun pendistribusiannya, akan mampu menanggulangi atau paling
tidak mengurangi masalah-masalah kemiskinan dan kefakiran.
Satu hal yang perlu disadari bersama
bahwa pelaksanaan ZIS (terutama zakat) bukanlah semata-mata diserahkan kepada
muzakki, akan tetapi tanggung jawab memungut dan mendistribusikannya dilakukan
oleh ‘alimin (Q.S At-Taubah: 60 dan 103) zakat bukan pula memberikan bantuan
kepada mustahik untuk dimanfaatkan secara langsung (bersifat konsumtif), akan
tetapi untuk meningkatkan kualitas hidup para mustahik, terutama fakir miskin.[15]
Maka pola distribusi dana zakat
produktif menjadi menarik untuk dibahas mengingat aturan syariah menetapkan
bahwa hasil pengumpulan zakat, infak dan sedekah sepenuhnya adalah hak milik
dari pada mustahik (Q.S Adz-Dzaariyaat: 19). Dengan demikian, pola distribusi
produktif yang dikembangkan pada umumnya mengambil skema qardul hasan yakni
satu bentuk pinjaman yang menetapkan tidak adanya tingkat pengembalian
tertentu (return/bagi hasil) dari pokok
pinjaman. Oleh karena itu, dana zakat yang digulirkan secara produktif tentunya
tidak dapat menuntut adanya tingkat pengembalian tertentu, sebagaiman halnya
sumber dana selain zakat.
Dari pemaparan diatas menurut, skema
yang dikedepankan dari pola qardul hasan yaitu:
1.
Ukuran
keberhasilan sebuah lembaga pengumpulan zakat adalah bagaimana lembaga tersebut
dapat menjadi salah satu elemen dari sekuritas sosial yang mencoba mengangkat
derajat kesejahteraan seorang mustahik menjadi muzaki.
2.
Modal
yang dikembalikan oleh mustahik kepada lembaga zakat, tidak berarti bahwa modal
tersebut sudah tidak lagi menjadi haknya si mustahik yang diberi pinjaman
tersebut. Ini artinya bisa saja dana tersebut diproduktifkan kembali dengan
memberi balik kepada mustahik tersebut yang akan dimanfaatkan untuk penambahan
modal usahanya lebih lanjut. Dan kalaupun tidak, hasil akumulasi dana zakat
dari hasil pengembalian modal akan kembali didistribusikan kepada mustahik lain
yang juga berhak. Dengan begitu ada harapan lembaga amil dapat benar-benar
menjadi partner bagi mustahik untuk pengembangan usahanya sampai terlepas dari
batas kemustahikkannya.
Pada sisi penyaluran
dan pendayagunaan ZIS, perlu diperhatikan kembali beberapa hal, yakni sebagai
berikut:
1.
Aspek
pengumpulan dan pengolahan data mustahik perlu diperhatikan terlebih dahulu,
untuk menetapkan berapa jumlah mestahik yang akan mendapatkannya.
2.
Untuk
aspek penyaluran dan pendayagunaan ZIS perlu disusun dan ditaati peraturan yang
menjamin adanya efisiensi dengan kriterian yang jelas. Studi kelayakan objek
perlu dilakukan, misalnya untuk menentukan apakah ZIS bersifat produktif
ataukah bersifat konsumtifyang akan diberikan.
3.
Harus
diperhatikan bahwa keberhasilan amil zakat bukan ditentukan oleh besarnya dan
ZIS yang dihimpun atau didayagunakan, melainkan juga pada sejauh mana para
mustahik dapat meningkatkan kegiatan usaha ataupun bekerjanya.
4.
Para
muzakki, terutama yang kewajiban zakatnya cukup besar tentu ingin mengetahui
bagaimana pendayagunaan ZIS yang dikeluarkan. Oleh karena itu, aspek
pelaporan pertanggung jawaban perlu
dihidupsuburkan.
5.
Aspek
hubungan masyarakat perlu dikembaangkan agar komunikasi lahir batin antara
muzakki dan mustahik dapat terus dipelihara.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zakat secara
etimologis berarti bertambah suci, atau berubah, atau dengan kata lain zakat
berati tumbuh, menyucikan, pembersihan diri dan sebagainya. Sedangkan secara
terminologis berarti ”Nama dari sebagian harta dari aset khusus yang
didistribusikan untuk khusus 8 asnaf dan
syarat-syaratnya”. Zakat merupakan rukun islam yang ketiga yang bersifat wajib bagi setiap
muslim.
Sedangkan untuk
infak dan sedekah mempunyai pemahaman arti yang sedikit berbeda dengan zakat.
Dalam terminologi syariah pengertian infak dan shadaqah berarti mengelurakan
sebagian harta atau penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan
ajaran islam. Hukum yang berlaku bagi infak dan shadaqah adalah sunah.
Jika zakat, sedekah dan infak
dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan ditata dengan baik, baik pengambilan
maupun pendistribusiannya, akan mampu menanggulangi atau paling tidak
mengurangi masalah-masalah kemiskinan dan kefakiran. Karena itu didalam
Al-Qur’an dan Hadis banyak perintah untuk berzakat, sekaligus pujian bagi yang
melakukannya, baik didunia maupun akhirat nanti. Sebaliknya, banyak pula ayat
Al-Qur’an dan Hadis yang mencela orang yang enggan mengeluarkannya, sekaligus
ancaman dunia dan ukhrawi bagi mereka. Oleh karena itu perlunya pengelolaan
pelaksanaan ZIS (terutama zakat) secara profesionalisme kerja (kesungguhan)
dari amil zakat sehingga menjadi amil yang amanah, jujur dan sebagainya
sehingga dapat dipercaya muzakki untuk mendistribusikan hartanya.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, E.K. Mochtar, Manajemen
Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam, Jakarta: Bhratara Karya Aksara,
1986.
Handoko,
T. Hani, Manajemen, cet. Ke-18, Yogyakarta: BPFE, 2003.
Hasanudin,
Manajemen Dakwah, Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2005.
Muhammaad dan Abu Bakar, Manajemen
Organisasi Zakat,Prespektif Pemberdayaan Umat dan Strategi Pengembangan
Organisais Pengelola Zakat, Malang: Madani, 2011.
Nofiaturrahmah,
Fifi, “Pengumpulan Dan Pendayagunaan
Zakat, Infak Dan Sedekah”, Jurnal Zakat Dan Wakaf, 2015.
Purwanto,
April, Manajemen Fundraising Bagi
Organisasi Pengelola Zakat, Yogyakarta:
Teras, 2009.
Qardhawi, Yusuf, Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi
Kerakyatan, Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.
Shaleh,
Abd.Rosyad, Manajemen Da’wah Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1977.
Suprapto, Tommy, Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi, Jakarta:
Med Press, 2009.
Usman, Husaini, MANAJEMEN
Teori, Praktek dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara 2009.
[1]
Husaini Usman, MANAJEMEN Teori, Praktek dan Riset Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara
2009), cet ke-1, h.5.
[2]
Tommy
Suprapto, Pengantar Teori dan Manajemen
Komunikasi (Jakarta: Med Press, 2009), cet ke-2,h.122.
[3]
April
Purwanto, Manajemen Fundraising Bagi
Organisasi Pengelola Zakat (Yogyakarta:
Teras, 2009) h. 11
[4]
Muhammaad dan Abu Bakar, Manajemen
Organisasi Zakat,Prespektif Pemberdayaan Umat dan Strategi Pengembangan
Organisais Pengelola Zakat, ( Malang: Madani, 2011), hlm.59-60.
[5]
T.
Hani Handoko, Manajemen, cet. Ke-18. (Yogyakarta: BPFE, 2003), h. 85.
[6]
Muhammaad dan Abu Bakar, Manajemen
Organisasi Zakat,Prespektif Pemberdayaan Umat dan Strategi Pengembangan
Organisais Pengelola Zakat, ( Malang: Madani, 2011), hlm.60-64.
[7]
Hasanudin, Manajemen Dakwah (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2005), h. 28.
[8]
Hasanudin, Manajemen Dakwah (Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2005), h. 30.
[9]
Hasanudin,
Manajemen Dakwah, h. 31
[10]
E.K. Mochtar Effendi, Manajemen Suatu
Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam ( Jakarta: PT. Bhratara Karya Aksara,
1986), h. 154
[12]
Abd.Rosyad
Shaleh, Manajemen Da’wah Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1977), h. 147
[13]
T. Hani Handoko, Manajemen (Yogyakarta:
BPFE, 1999), h. 365.
[14]
Yusuf Qardhawi, Spektrum
Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005 ),
21
[15]
Fifi Nofiaturrahmah,
“Pengumpulan Dan Pendayagunaan Zakat, Infak Dan Sedekah”, Jurnal Zakat Dan
Wakaf, 2 (Desember 2015).289
[16]
Fifi Nofiaturrahmah,
“Pengumpulan Dan Pendayagunaan Zakat, Infak Dan Sedekah”, Jurnal Zakat Dan
Wakaf, 292-294.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar