MAKALAH
MAKNA, SUMBER DAN APLIKASI KAIDAH
PERTAMA QOWAID FIQHIYAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah
QOWAID FIQHIYAH
Dosen
Pengampu :
Syaiful
Bahri, MHI.

Disusun
oleh :
Nama NIM
Retno Sulistiyani 931335515
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kaidah fiqh adalah suatu ilmu
yang berkaitan penjelasan tentang hukum-hukum yang umum. Kaidah fiqh boleh di
ta’rehkan sebagai hkum syara’ secara keseluruhan yang erangkumi berbagai
masalah hukum fiqh. Terdapat berbagai kaidah fiqh yang telah diperkenalkan oleh
para ulama untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang baru timbul dalam
sehari-hari.
Kaidah-kaidah yang
diperkenalkan jelas dapat memberi dampak positif dalam memelihara kemaslahatan
ummat sekarang. Terdapat lima kaidah utama yang disepakati dikalangan fiqaha.
Salah satunya adalahالآمور
بمقاصدها (segala sesuatu tergantung pada
niatnya).
Kaidah ini berasal dari banyak
materi fiqh, karena di dalam fiqh, nilai suatu perbuatan tergantung pada
niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah, adāan atau
qadhāandalam muamalah, apakah niat member atau meminjamkan, dalam jinayat
apakah kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun
merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.
Bagaimana makna kaidah pertama dalam qowaid
fiqhiyah?
2.
Bagaimana sumber dari kaidah pertama dalam
qowaid fiqhiyah?
3.
Bagaimana aplikasi dari kaidah pertama dalam
qowaid fiqhiyah?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui dan
memahami makna kaidah pertama
dalam qowaid fiqhiyah.
2.
Untuk mengetahui dan
memahami sumber dari kaidah
pertama dalam qowaid fiqhiyah.
3.
Untuk mengetahui dan
memahami aplikasi dari kaidah
pertama dalam qowaid fiqhiyah.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat
disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa
tentang makna, sumber dan aplikasi dari kaidah pertama qowaid fiqhiyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna Kaidah Pertama Dalam Qowaid Fiqhiyah
Kaidah dasar pertama yaitu niat dan maksud dalam perbuatan.
اَلأُمُوْرُبِمَقَاصِدِهَا
Artinya: Semua perkara bergantung pada maksudnya.
Kaidah ini menempati peran pokok dalam hukum islam.
Sebab, seluruh tindakan manusia bergantung pada niat dan maksudnya. Karenanya,
para ulama memberikan perhatian besar terhadap kaidah ini.
Secara bahasa, niat berarti maksud atau tujuan. Adapun
secara istilah niat adalah sebuah maksud untuk melakukan sesuatu yang bersamaan
dengan perbuatannya. Niat atau tujuan seseorang dalam melakukan sesuatu sangat
menentukan status hukum dari sesuatu dilakukannya.[1]
·
Fungsi Niat:
1.
Untuk membedakan ibadah dan
adat kebiasaan
2.
Untuk membedakan kualitas
pebuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.
Untuk menentukan sah tidaknya
suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnat.
·
Waktu pelaksanaan niat
Pelaksanaan niat secara umum
adalah pada awal ibadah. Hal ini di dasarkan penelitian ulama yang mengatakan
bahwa huruf “ba” yang terletak pada kata bi
Al-Niyyati mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Hal ini
memberi sebuah pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal itu
sendiri, oleh kerenanya niat tidak boleh diakhirkan dari amal yang akan
dikerjakan, apalagi didahulukan. Namun aturan main ini tidaklah bersifat kaku.
Ulama masih memberikan toleransi dalam beberapa ritual ibadahdi sesuaikan
dengan kondisi dan faktor kesulitan pelaksanaannya. Disamping ini, kemampuan
pelaksanaan niatpun masih dipertimbangkan. Faktor lain yang menjadi
pertimbangan fuqaha adalah permulaan suatu ibadah bersifat nisbi dan relatif,
artinya permulaan amal ibadah yang satu dengan yang lainnya tidak lah sama.
Berikut ini adalah beberapa
contoh niat yang boleh didahulukan karena faktor kesulitan
membersamakan dengan permulaan pekerjaan.
a.
Puasa wajib
Niat dalam puasa bisa dilakukan sebelum fajar,
bahkan jauh sebelum terbit fajar. Tetapi, apabila niat dalam puasa dilakukan
setelah fajar, maka puasanya tidak sah. Kecuali puasa sunah yang menurut
sebagian ulama niatnya boleh dilakukan setelah fajar hingga waktu zuhur tiba.
b.
Pembagian zakat
Niat untuk mengeluarkan zakat juga bisa
didahulukan sebelum menyerahkan harta zakat kepada fakir miskin, termasuk zakat
fitrah. Sebab, niat sulit disertakan pada saat menyerahkan harta zakat.
c.
Sholat jamak
Dalam pelaksanaan sholat jamak bagi mufasir,
niat jamak boleh diucapkan pada waktu mengerjakan sholat yang pertama. Jadi,
niat jamak untuk sholat yang kedua boleh diucapkan ketika hendak mengerjakan
sholat yang pertama. Misalnya sholat ashar hendak dijamak dengan sholat zuhur,
maka niat jamak untuk sholat ashar bisa diucapkan pada saat mengerjakan sholat
zuhur.
d.
Penyembelihan Qurban
Niat dalam berkurban boleh diucapkan sebelum
hewan disembelih, dan tidak wajib diucapkan bersamaan dengan awal
penyembelihan. Bahkan, ketika penyembelihan hewan kurban dimulai, pemilik
kurban hendaknya mewakilkannya kepada orang lain. Niat berkurban boleh diucapkan
pada saat penyerahan hewan kurban kepada pihak wakil, meskipun tidak langsung
disembelih.[2]
·
Tempat Niat
Temapat niat adalah di dalam hati, tetapi niat
juga boleh diucapkan dengan lisan. Namun jika antara lisan dan niat dalam hati
tidak sama, maka yang dijadikan pedoman adalah niat dalam hati.
Dalam setiap ibadah, niat hanya
dibutuhkan dalam hati tanpa harus diucapkan dengan lisan. Namun, dalam
persoalan-persoalan tertentu niat dalam hati tidak cukup tanpa ditegaskan
dengan ucapan lisan dan bahasa yang jelas. Diantara persoalan tersebut adalah:
1.
Perceraian
Dalam perceraian, antara niat dalam hati dan
pernyataan secara lisan sama-sama dibutuhkan. Apabila seseorang hendak
menceraikan istrinya tetapi ia hanya membersitkannya di dalam hati tanpa
dinyatakan dengan lisan, maka niat tersebut tidak langsung memutuskan hubungan
perkawinan.
2.
Nazar
Nazar yang dilakukan seseorang bisa
diperhitungkan dan berdampak pada hukum tertentu apabila diungkapkan dengan
lisan dan diniatkan dalam hati. Karenanya jika nazar hanya dibersitkan dalam
hati, tetapi tidak ditegaskan dengan lisan, maka tidak ada status hukumnya.[3]
·
Hal-hal yang membatalkan niat
Hal-hal yang membatalkan niat
adalah:
1.
Riddah atau murtad, yaitu terputusnya
agama islam seseorang. Baik yang ditimbulkan dari niat, ucapan atau perbuatan
yang menyebabkan kuffur.
2.
Berniat memutus atau tidak
melanjutkan ibadah yang sedang di jalankan, semisal orang melakukan shalat,
kemudian berniat memutuskan shalatnya, maka shalatnya menjadi batal. Hukum
batalnya shalat dengan niat memutus ini merupakan qiyas dengan masalah iman,
dimana iman sendiri bisa putus hati seorang muslim.
3.
Niat mengganti atau memindah
suatu ibadah di klasifikasikan dan digambarkan dengan contoh berikut:
a.
Mengganti sebuat shalat fardhu
dengan shalat fardhu yang lain, maka kedua-duanya menjadi tidak sah.
B. Sumber
Pengambilan Kaidah
Kaidah الأمور
بمقاصدها ketika di rujukkan kepada Al-Quran dan Hadits, antara
lain:
Artinya: Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus........(Q. S Al- Bayyinah [98]: 5)
Artinya: Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu (Q. S Al-Ahzab [33]: 5).
Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu
disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun (Q. S Al-Baqarah[2]: 225)
Dalam hadist nabi antara lain:
انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى فمن
كانت هجرته الى الله و رسوله فهجرته الى الله و رسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها
او امرأة ينكحها فهجرته الى ما هجر اليه.
Artinya: Setiap perbuatan itu bergantung
kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya, barang siapa
berhijrah karena Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan barang siapa berhijrah karena mengharap kepentingan dunia atau karena
wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang diniatkannya (HR.Bukhari
dari Umar bin Khatab).[5]
من قاتل ليكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل
الله عز و جل
Artinya: Barangsiapa berperang dengan maksud
meninggikan kalimat Allah swt, Maka dia ada dijalan Alah. (HR. Bukhari dari Abu
Musa)
انك لن تنفق نفقة تبتغى بها وجه الله الا أجرن
عليها حتى ما يجعل في فم امرأتك
Artinya: sesungguhnya tidaklah kamu
menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari keridhaan Allah swt diberi fahala
walaupun sekedar sesuap kedalam mulut istrimu. (HR. Bukhari).
من اتى فراشه وهو ينوى ان تقوم يصلى من الليل
فغلبته عيناه حتى اصبح كتب له ما نوى
Artinya: barang siapa yang tidur berniat
shalat malam, kemudian dia tertidur sampai subuh maka di tulis baginyapahala
sesuai dengan niatnya. (HR. Al-Nasai dari Abi Dzar.
Artinya: barang siapa menghendaki pahala dunia
kami berikan pahala itu dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami
berikan pahala itu. Dan kami akan memberikan balasan kepada orang yang
bersyukur (Q.S. Ali Imran [3]:145)
نية المؤمن خير من عمله
Artinya: Niat orang mukmin itu lebih baik
daripada amal perbuatannya saja (yang kosong dari niat) (RW. Ath-Thabrani)
Imam Ahmad sependapat dengan iamam syafi’i
bahwa hadist niat itu adalah salah satu dari tiga hadist yang menjadi tempat
pengembalian seluruh hukum islam. Menurut beliau tiga buah hadist yang menjadi
tempat pengembalian hukum itu adalah:
Pertama hadist yang telah tersebut di atas.
Hadist kedua.
من احدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Artinya: Barang siapa mengada-adakan dalam
agama ku ini sesuatau yang bukan termasuk agama, maka tertolakkan, (RW. Bukhari
Muslim).
انما بعث الناس على نياتهم
Artinya: Sesungguhnya manusia itu di
bangkitkan menurut niatnya.
C. Aplikasi Kaidah Pertama
1. Dalam shalat tidak disyaratkan
niat menyebutkan jumlah raka’at, maka bila seseorang muslim berniat
melaksanakan shalat magrib 4 raka’at tetapi ia tetap dalam melaksanakan 3
raka’at, maka shalatnya tetap sah.[6]
2. Seseorang yang akan
melaksanakan shalat zuhur tetapi niatnya melaksanakan shalat ashar, maka shalatnya
tidak sah.
3. Seseorang bersumpah untuk tidak
berbicara dengan seseorang, dan maksudnya dengan Ridwan. Maka sumpahnya hanya
berlaku pada ridwan saja.
4. Seseorang niat shalat zuhur,
kemudian setelah satu raka’at dia berpindah kepada shalat tahiyyatal-masjid,
maka batal shalat zuhurnya.
5. Seseorang mengkasad bahwa
tujuan dari memakan sesuatu makanan ataupun minuman yaitu untuk bisa beribadah
kepada Allah swt, maka perbuatannya tersebut diberi pahala.[7]
6. Seorang suami yang mentalak
istrinya dengan menggunakan lafat kinayah, maka apabila suami tidak meniatkan
lafaz kinayah tersebut kepada talak maka talaknya itu tidak sah. Tetapi bila
dikasadkan sebagai lafaz talak maka talaknya sah.
7. Seseorang yang tidur dan
berniat supaya bisa kuat untuk beribadah, maka perbuatan tidurnya itu diberi
pahala.
8. Seseorang perempuan yang sedang
berhaidz tidak melaksanakan shalat atau pun puasa dengan niat menjunjung
perintah syar’i, maka niatnya tersebut akan diberi pahala.
9. Seseorang yang belajar
pelajaran metematika yang berniat supaya bisa memecahkan masalah yang terdapat
dalam faraiz, maka niatnya itu diberi pahala.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Menurut kami masih banyak yang perlu dipelajari dalam kaidah-kaidah
qowaid fiqhiyah, terutama pada pembahasan kaidah pertama supaya mahasiswa lebih
memahami bagaiamana makna, sumber, dan aplikasi yang terdapat dalam kaidah
pertama qowaid fiqhiyah.
DAFTAR
PUSTAKA
Fadal, Moh. Kurdi. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta: Artha
Rivera, 2008.
Hakim, Abdul Hamid. Mabadi
Awwaliyah, Ushul Fiqh Wal Kawaid Fiqhiyyah. Jakarta: Sa’diyyah Fitran.tt
Syafe’i Rachmat. Ilmu Ushul
Fiqh, Cet. III. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Yahya Mukhtar, et. al. Dasar-Dasar
Pembinaan Fiqh Islam, Cet. I. Bandung: Al-Ma’arif, 1986.
Zubair Maimoen. Formulasi Nalar Fiqh,
Kiadah Fiqh Konseptual. Surabaya: Khalista, 2006.
[1] Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Artha Rivera,
2008), hlm. 17-18.
[2] Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Artha Rivera,
2008), hlm. 31.
[3] Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Artha Rivera,
2008), hlm. 32-33.
[4] KH.
Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, Kiadah Fiqh Konseptual, (
Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 101.
[6] Prof.
DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. III, (Bandung:
Pustaka Setia, 2007) Hal. 279.
[7]
Abdul Hamid Hakim, Mabadi
Awwaliyah, Ushul Fiqh Wal Kawaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Sa’diyyah
Fitran, tt) hal. 22.
saya selaku pembaca sangat berterima kasih
BalasHapusSaya memita izin mengutip sebagian catatan makalah anda