Rabu, 19 Desember 2018

MAKALAH
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM dan DHALALAHNYA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
USHUL FIQH
Dosen Pengampu :
H. Abdul Wahab Ahmad Khalil, MA

     Disusun oleh :
Nama                                             NIM
M. Agung Heris                                     931302013
Retno Sulistiyani                                    931335515
Zuliana                                                   931354315
Indi Dias Chesarina

JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2016



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam Al-Qur’an seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1.    Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf mengenai malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin Aqoid).
2.     Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin Akhlak).
3.     Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan setiap mukallaf, meliputi masalahucapan perbuatan akad (Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah, muamalah dan lain-lain.





B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.    Apakah pengertian Al-Qur’an?
2.    Bagaimana kehujjahan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang utama?
3.    Bagaimana penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum dan Al-Qur’an sebagai sumber hukum?
4.    Bagaimana sistematika hukum dalam Al-Qur’an?
5.    Bagaimana petunjuk (Dhalalah) Al-Qur’an ?

C.  Tujuan Penulisan
1.  Untuk mengetahui pengertian Al-Qur’an.
2.    Untuk mengetahui kehujjahan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang utama.
3.    Untuk mengetahui penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum dan Al-Qur’an sebagai sumber hukum.
4.    Untuk mengetahui sistematika hukum dalam Al-Qur’an.
5.    Untuk mengetahui petunjuk (Dhalalah) Al-Qur’an.

D.  Manfaat Penulisan
Manfaat disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan dalalahnya.








BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qur’an
·           Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna membaca atau baca’an, seperti terdapat dalam surat Al-Qiamah (75) : 17-18 :
إِنَّ عَلَيْنَ جَمْعَهُ و وَقُرْءَانَهُ و.فَإِذَاقَرَأْناَهُ فَا تَّبِعْ قُرْ ءَانَهُ و
Artinya:
“sesungguhnya tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai ) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” (Al-Qiamah : 17-18).
·           Secara Istilah (Terminologi) 
Adapun  difinisi Aqur’an secara istilah menurut sebagian ulama ushul fiqih menafsirkan Al Qur’an dengan beberapa fariasi pendapat yaitu:
1.        Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan dengan Al-Qur’an. Seperti diantaranya wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Ibrahim (zabur) Ismail (taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas memang kalamullah, tetapi dikarenakan diturunkan bukan kepada nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat disebut Al-Qur’an.
2.        Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan ibrahim : 4, maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Al-Qur’an tidak dinamakan Al-Qur’an serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak sah shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Qur’an, sekalipun ulama’ hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3.        Al-Quran dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4.        Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.
5.        Al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan surat yag terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Dengan demikian doa-doa, yang biasanya ditambahkan di akhirnya dengan Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.[1]
·       Dari difinisi di atas ada beberapa hal yang dapat di pahami di antaranya:
1.        Lafal dan maknanya langsung berasal dari Allah sehingga segala sesuatu yang di ilhamkan  Allah kepada nabi bukan di sebut Al-Qur’an, melainkan di namakan hadits.
2.        Tafsiran surat atau ayat Al-Qur’an yang ber bahasa Arab, meskipun mirip dengan Al-Qur’an itu, tidak dinamakan Al-Qur’an. Dan juga terjemahan surat dan ayat Al-Qur’an dengan bahasa lain (bahasa selain arab), tidak di pandang sebagai bagian dari Al-Qur’an, meskipun terjemahan itu menggunakan bahasa yang baikdan mengandung makna yang dalam.




B. Kehujjahan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam yang Utama
Abd. Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan Al-Qur’an dengan ucapannya sebagai berikut:
“Bukti bahwa Al-Qur’an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena Al-Qur’an itu datang dari Allah dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti dan tidak diragukan kesahan dan kebenarannya. Sedang bukti kalau Al-Qur’an itu datang dari Allah SWT, ialah bahwa Al-Qur’an itu membuat orang tidak mampu membuat atau mendatangkan seperti Al-Qur’an.”
Membuat tidak mampu (al i’jaaz) itu baru terjadi, apabila tiga hal berikut ini terdapat pada sesuatu yaitu adanya tantangan (At-tahaddy), adanya motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan-tantangan dan ketiadaan penghalang yang mencegah adanya tantangan.
Nabi Muhammad SAW ketika menyatakan kenabiannya dan orang-orang kafir menentangnya dan juga menentang ajaran-ajaran Allah SWT (Al-Qur’an) beliau berkata: “Apabila engkau sekalian meragukan semua ini, cobalah kamu datangkan atau kamu buat saja surat yang sama dengan Al-Qur’an.”
Ucapan seperti ini bukan berarti gurauan seraya orang kafir menjawab dengan: “Mana ada didunia ini sesuatu yang sama dengan yang lain. Bukan begitu.” Akan tetapi makna yang terpenting pernyataan ini adalah bahwa manusia tidak akan mampu menyusun satu ayat pun sebagaimana ayat Al-Qur’an, baik mengenai susunan dan keindahan bahasa juga maknanya, lebih-lebih kepastian dan kebenaran akan isinya yang mutlak yang berlaku dan tidak bisa dipungkiri.
Allah sendiri berfirman didalam ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
وَاِنْ كُنْتُمْ فِى رَيْبٍ .مِمَّانَزَّلْنَاعَلَى عَبْدِ نَافَاتُوْابِسُوْرَةٍمِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوْاشُهَدَآءَكُمْ مِنْ دُوْنِاللهِ اِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ.

Artinya:
“Dan apabila engkau sekalian didalam keadaan ragu-ragu terhadap apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, buatlah surat yang serupa dengannya, dan datangkanlah saksi-saksimu yang selain Allah, apabila engkau sekalian memang orang-orang yang benar.” (Q.S, 2:23)
Allah juga menegaskan:
اَمْ يَقُوْلُوْنَ تَقَوَّلَهُ بَلْ لاَيُؤْمِنُوْنَ.فَلْيَاْتُوْابِحَدِثٍ مِثْلِهِ اِنْ كَنُوْاصَادِقِيْنَ.
Artinya:
“Apakah mereka mengatakan Muhammad itu membuat-buatnya. Sebenarnya mereka tidak beriman. Hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang sepadan dengan Al-Qur’an itu. Apabila mereka itu memang orang-orang  yang benar.” (Q.S, 52: 33-34).
Betapapun  mereka, yang menentukan Al-Qur’an itu tidak dapat memberikan yang serupa dengan Al-Qur’an itu, apakah itu dari segi bahasanya, atau isinya dan lebih-lebih ketepatan isinya yang menyangkut baik riwayat orang-orang dahulu tentang jagad raya dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT.[2]
Para Ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber  pertama dan utama bagi Syari’at Islam, termasuk hukum Islam dan menganggapnya Al-Qur’an sebagai hukum Islam karena di latar belakangi sejumlah alasan, dintaranya :
1.             Kebenaran Al-Qur’an
Kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya.  Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
ذَالِكَاْلْكِتَابُلاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
Artinya:
“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
Berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan Aturan-Aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia.[3]
2.             Kemukjizatan Al-Qur’an
Mukjizat memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu adalah di luar kesanggupannya. Mukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah SWT berikan kepada para Nabi dan Rasul untuk menguatkan kenabian dan kerasulan mereka, dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainkan benar-benar datang dari Allah SWT. Seluruh nabi dan rasul memiliki mukjizat, termasuk di antara mereka adalah Rasulullah Muhammad SAW yang salah satu mukjizatnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa, karena Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan dan dimana pun mereka berada. Allah telah menjamin keselamatan Al-Qur’an sepanjang masa, hal tersebut sesuai dengan firman-Nya:

إِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَااْلذِكْرَوَإِنَّالَهُولَحَافِظُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Q. S. Al-Hijr, 15:9).
Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:
a.    Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang, dan apa-apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar adanya.
b.    Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang ini.
c.    Al-Qur’an sebagai Sumber  Hukum Menurut Imam Madzhab. Diantaraya :
1)        Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan Madharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
2)        Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Sebagai sumber hukum islam, dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu,”.
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Dan Imam Malik mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali Imran, petunjuk Lafazh yang terdapat dalam Al-qur’an  terbagi dalam dua macam yaitu:
·           Ayat Muhkamat
Muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat di pahami dengan mudah. Dan ayat Muhkamat disini terbagi dalam dua bagian yaitu; Lafazh dan Nash.
Imam malik menyepakati pendapat ulamak-ulamak lain bahwa lafad nash itu (qoth’i) artinya adalah lafazh yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qoth’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain, Sedangkan Lafadz Dhohir ( Zhanni ) adalah lafazh  yang menunjukkan makna jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut imam malik keduanya, dapat dijadikan hujjah, hanya saja Lafazh Nash di dahulukan dari pada Lafazh Dhohir. Dan juga menurut imam malik bahwa dilalah nash termsuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk Zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang di dahulukan adalah dilalah nash. Dan perlu di ingat adalah makna zhahir di sini adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik
·           Ayat-ayat Mutasyabbihat
Ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat di tentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.

3)        Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum  islam yang  paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali, dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an, kami ulangi kembali bahwa pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang  menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.
4)        Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang tidak akan berubah sepanjang masa. Alqur’an juga mengandung hukum-hukum yang bersifat GLOBAL (luas atau umum). Sehingga Al-Qur’an  tidak bisa di pisahkan dengan sunnah atau hadits, karna Sunnah ini merupakan penjelas dari Al-Qur’an seperti halnya Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad yang memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah Nash tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunnah dahulu tapi yang dimaksud Nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan penafsiran yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). Dan sikapnya dapat di klasifikasikan menjadi tiga :
a.     Sesungguhnya zhahir Al-Qur’an tidak mendahului as-sunnah.
b.    Rosulullah SAW yang berhak menafsirkan Al-Qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan dan menjelaskannya.
c.    Jika tidak di temukan penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para sahabatlah  yang  dipakai. Karna merekalah yang menyaksikan turunya Al-Qur’an.dan mereka pula yang lebih mengetahui  as-sunnah, yang mereka gunakan sebagai penafsiran Al-Qur’an.
5)        Menurut Ibnu Taimiah
Al-Qur’an itu tidak di tafsirkan, kecuali dengan Atsar, namun dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits Nabi, dan Qoul Sahabat, di ambil dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh : 242-247).

C. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum.
      1. Sifat-sifat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an
Umumnya hukum-hukum yang terdapat didalam Al-Qur’an itu bersifat garis besarnya saja, tidak sampai kepada perincian yang kecil-kecil. Kebanyakan penjelasan Al-Qur’an ada dalam As-sunnah. Sekalipun demikian, ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam Al-Qur’an cukup lengkap. Jadi ia merupakan pokok-pokok atau garis besar yang lengkap. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an:
مَافَرَّطْنَافِىي اْلْكِتَابِ مِنْ شَىْءٍ
Artinya:
“Tidaklah kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab.”
(Q.S, 6: 38)
                    Al-Qur’an telah sempurna, sebab syari’at juga sudah sempurna sebab Allah berfirman:
اَلْيَوْمَاَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلاَمَ دِيْناً
Artinya:
“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu sekalian akan agamamu, dan Kusempurnakan pula kepadamu sekalian akan nikmat-Ku, dan Akupun Ridla Islam sebagai agama bagi kamu sekalian.” (Q.S, 5:3).
Memang sudah jelas hukum-hukum Shalat, zakat, haji, dan lain-lainnya, namun Al-Qur’an tidak menjelaskannya dengan tuntas, yang menjelaskan adalah As-Sunnah, deimikian pula dengan perkawinan, qisash, dan lainnya. Jadi kesimpulannya, kebanyakan hukum yang terdapat didalam Al-Qur’an itu bersifat umum.[4]
Jelaskan yang anda ketahui ttg asas al q dlm mntpkn hkm
2. Asas-asas hukum
a.    Tidak memberatkan
Hal ini ternyata dalam firman Allah SWT:
لاَيُكَللِّفُاللهُ نَفْسًااِألاَّوُسْعَهَا
Artinya:
“Allah tidak memberatkan seseorang melainkan dengan kesanggupannya.” (Q.S, 2: 286)
Nabi pun bersabda:
بُعِثْتُ بِالحَنِيْفِيَّةِالسَّمْحَةِ
Artinya:
“Aku diutus membawa agama yang mudah lagi gampang.” (H.R. Ahmad dan Al-Baihaqi)

b.    Islam tidak memperbanyak beban atau tuntutan.
Segala sesuatu yang ditentukan didalam Al-Qur’an, juga didalam As-Sunnah semua manusia mampu melakukannya. Disamping itu dalam Al-Qur’an terkandung hukum-hukum azimah dan hukum-hukum rukhsah, seperti dalam keadaan berpergian, sakit, terpaksa dan lain sebagainya.
c.    Ketentuan-ketentuan Islam datang secara bertahap.[5]
Contohnya, al-khamr mula-mula dikatakan oleh Tuhan, orang-orang tidak diperbolehkan shalat apabila dalam keadaan mabuk, kemudian dikatakan di dalam al-khamr itu ada kemanfaatannya tetapi ada juga kemafsadatannya, akan tetapi kemafsadatnnya itulah yang lebih besar. Akhirnya al-khamr itu sama sekali diharamkan.[6]
d.   Sejalan dengan kemaslahatan manusia.
Hal ini dibuktikan dengan seiringnya Al-Qur’an meneybutkan sebab atau illat hukum. Misalnya tentang adanya pengaturan harta (fai)disebutkan bahwa pengaturan tersebut dimaksudkan agar harta itu tidak hanya berputar diantara orang yang kaya saja. Juga misalnya dalam surat Al-An’am ayat 108:
وَلاَتَسُبُواالَذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُونِااللهِ فَيَسَبُوااللهِ عَدُوًابَغَيْرِعِلْمٍ
Artinya:
“Dan jangan kamu maki-maki (berhala) yang mereka seru selain Allah, karena mereka akan memaki-maki Allah dengan melewati batas dan tanpa pengetahuan.”
Dalam ayat ini kita dilarang memaki-maki berhala karena apabila kita memaki-maki berhala, merekapun akan memaki-maki Allah.

D. Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an
                     Urutan sumber hukum brdasarkan kepada dialog antara  Rasulullah dengan Muadz bin Jabal. Rasulullah berdialog dengan Muadz ketika beliau mengurus  Muadz untuk menjadi gubernur di Yaman.
“Dari Muadz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah SAW, ketika mengutusnya (Muadz) ke Yaman bersabda: Bagaimana kau memberikan keputusan apabila dihadapkan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab: Saya akan memutuskan berdasarkan Kitabullah, Rasulullah berkata: Jika engkau tidak menemukan didalam Kitabullah? Muadz menjawab: Dengan Sunnah Rasulullah. Rasulullah berkata: Jika engkau tidak menemukan didalam sunnah Rasulullah? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuank. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah (Muadz) dalam hal yang diridhoi oleh Rasulullah.”
Alqur’an Sebagai sumber hukum yang utama,  maka Al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar hukum yang dikandung dalam Al-Qur’an itu ada tiga macam:
a.             Hukum I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang bersangkut paut dengan keimanan kepada Allah, malaikat, para nabi, hari kemudian dan lain-lain.
b.             Hukum Khuluqiyah yaitu hukum-hukum Allah bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c.              Hukum ‘Amaliyah  yaitu hukum-hukum yang bersangkut paut dengan ucapan, perbuatan, transaksi (aqad) dan pengelolaan harta. Inilah yang disebut fiqhul- qur’an dan inilah yang dimaksud dengan Ilmu Ushul Fiqh sampai kepadanya.[7]
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an,  garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1.      Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan
2.      Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
3.      Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat , mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.

Selanjutnya Abd. Wahhab mengemukakan hukum-hukum amaliyah didalam Al-Qur’an terdiri atas dua cabang hukum:
a.              Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah.
b.              Hukum-hukum mu’amalah, seperti aqad, pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan lain-lain selain ibadah, yaitu yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, baik perseorangan maupun kelompok. Inilah yang disebut dengan hukum mu’amalah yang didalam hukum modern bercabang-cabang sebagai berikut:[8]
1)      Hukum badan pribadi, tentang manusia sejak adanya dan kemudian ketika berhubungan sebagai suami isteri didalam Al-Qur’an terdapat sekitar 70 ayat yang di istilahkan dengan al-ahwalusyayakhabiyyah.
2)      Hukum perdata yaitu hukum mu’amalah antara perseorangan dengan perseorangan juga masyarakat, seperti jual beli, sewa meneyewa, gadai dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan. Ayat-ayat tentang ini sekitar 70 yang diistilahkan dengan al-ahkamulmmadaniyyah.
3)      Hukum pidana, sekitar 30 ayat yang diistilahkan dengan Al Ahkamul Jinyyah,
4)      Hukum acara yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan, kesaksian dan sumpah, sekitar 23 ayat diistilahkan dengan Al-ahkamul murafa’at.
5)   Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hukum dan pokok-pokoknya, yang membatasi hubungan antara hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat yang diidtilahkan dengan Al- Ahkamul Dusturiyyah.
6)   Hukum ketatanegaraan, yaitu hukum antara negara-negara Islam dengan negara bukan Islam, tata cara pergaulan dengan selain muslim didalam negara Islam. Semuanya baik ketika perang maupun damai, Ayat tentang ini sekitar 25 ayat dan diistilahkan dengan Al Ahkamud dauliyyah.
7)   Hukum tentang ekonomi dan keuangan, yaitu hak seorang miskin pada harta orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dan orang-orang kaya, antara negara dan perorangan. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat yang diistilahkan dengan Al Ahkamud istishadiyyah wal maliyyah.[9]
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yang  pertama, amaliyah yang  kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.[10]



E. Petunjuk (Dhalalah) Al-Qur’an
Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum Syara’. Merekapun spakat bahwa semua ayat al-Qur’an dari segi wurud(kedatangan) dan Tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushiaf-nya, yang tidak ada pada qiro’ah mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran pada Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka dengan jalan membawa nas mutlak pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja para penbahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qiroat Khairu Mutawatir yang periwayatannya tersendiri. Diantara para Sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud di mencantumkan kata Mutata Biatin pada ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-nya tertulis :
فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ا يا م متتا بعا ت
Dan menambah kata dzi ar-rohmi al—muharrami pada ayat 233, surat Al-Baqarah sehingga ayat tertulis:
وعلى الوارث دى الرحيم المحرم
Ubai Ibnu Ka’ab mencantumkan kata Min Al-Ummi pada ayat 12 surat An-Nisa,sehingga ayat tersebut tertulis pada mushaf-nya:
وان كان رجل يورث كلالة اوامراة وله اخ اواخت من الام
Namun, perlu di tegaskan bahwa hal tersebut tidak di dapati dalamMushaf  Utsmani yang kita pakai sekarang ini.
Adapun di tinjau dari segi Dilalah­-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat di bagi dalam dua bagian;
a.                   Nash yang Qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya tidak bisa di takwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri.[11] Contoh yang dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayat yang menyangkut hal hal tersebut, maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu,  dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. Misalnya pada firman Allah SWT yang artinya:
“Dan bagimu para suami separo dari harta yang ditinggalkan oleh ister-isterimu jika mereka itu tidak mempunyai anak. (Q.S, 4: 14)
b.      Nash yang Zhanni dilalah-nya
 Yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil ayat nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) atapun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya , iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama, slain berbeda pendapat tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yang qath’i dan zhanni dilalah, juga berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg termsuk qath’i atau zhanni dilalah.
Misalnya pada firman Allah SWT:
وَاْلمُطأَلَّقَاتُ يَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَللاَثَةَ قُرُوْءٍ.
Artinya:
“Dan wanita-wanita yang dicerai itu hendaklah menahan diri tiga kali quru’.” (Q.S, 2: 228)[12]



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.

B.       Saran
Untuk mendapatkan manfaat yang sempurna dari Makalah yang penulis buat  ini, hendaknya Pembaca  Memberikan Kritik dan saran serta melakukan Pengkajian Ulang (diskusi) terhadap penulisan sehingga penulis terhindar dari Kekeliruan.










DAFTAR PUSTAKA

Chalil Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Djazuli. A, Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Saebani, Beni Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Taimiyah Ibnu, Muqadimah Al-Qur’an, Beirut: Darul-Fikr, 1977.
Umar Muin, et. Al. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986.



[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Seti
[2] Drs. Muin Umar, dkk, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 72-73.
[3] Dikutip dari “Makalah Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum” IAIN Walisongo Semarang.

[4] Drs. Muin Umar, dkk, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 82-83
[5] Al-Hudhari Bik, Tarikh At-Tasyrri’ Al-Islami, Matba’ah Sa’adah, Mesir, Cetakan ke-6, 1954, hal.18
[6] Drs. Muin Umar, dkk (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 83-84.
[7] A. Djazuli, Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.63
[8] Drs. Muin Umar, dkk (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 85.
[9] Drs. Muin Umar, dkk (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 86.
[10] Dikutip dari, “ilmu ushul fiqh”. Prof.Dr.Abdul Wahhab Khalaf Diposkan oleh IMRON BUSFA di 10.41 

[11] Drs. Muin Umar, dkk, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm.87.
[12] Drs. Muin Umar, dkk, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 87-88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Kewirausahaan: Transformasi, Inovasi dan Kreativitas Kewirausahaan

RESUME TRANSFORMASI KEWIRAUSAHAAN, TEORI INOVASI DAN KREATIVITAS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: KEWIRAUSAHAAN Dosen Peng...