MAKALAH
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
dan DHALALAHNYA
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah
USHUL FIQH
Dosen
Pengampu :
H.
Abdul Wahab Ahmad Khalil, MA
Disusun oleh :
Nama NIM
M. Agung Heris 931302013
Retno
Sulistiyani 931335515
Zuliana 931354315
Indi Dias
Chesarina
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber hukum
dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an
maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum
syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena
memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas
juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang
melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah,
yaitu larangan atau perintah Allah.
Apabila terdapat suatu kejadian,
maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam Al-Qur’an seperti
macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1.
Hukum-hukum
akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh
setiap mukallaf mengenai malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari
kemudian (Doktrin Aqoid).
2.
Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus
dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan
menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin Akhlak).
3. Hukum-hukum
amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan setiap mukallaf, meliputi
masalahucapan perbuatan akad (Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta
benda, ibadah, muamalah dan lain-lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun
merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apakah
pengertian Al-Qur’an?
2. Bagaimana
kehujjahan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang utama?
3. Bagaimana
penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum dan Al-Qur’an sebagai sumber hukum?
4. Bagaimana
sistematika hukum dalam Al-Qur’an?
5. Bagaimana
petunjuk (Dhalalah) Al-Qur’an ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian Al-Qur’an.
2. Untuk
mengetahui kehujjahan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang utama.
3. Untuk
mengetahui penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum dan Al-Qur’an sebagai sumber
hukum.
4. Untuk
mengetahui sistematika hukum dalam Al-Qur’an.
5. Untuk
mengetahui petunjuk (Dhalalah) Al-Qur’an.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat disusunnya makalah ini adalah untuk
memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang Al-Qur’an sebagai sumber hukum
dan dalalahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Al-Qur’an
·
Secara
Bahasa (Etimologi)
Merupakan bentuk mashdar (kata
benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna membaca atau
baca’an, seperti terdapat dalam surat Al-Qiamah (75) : 17-18 :
إِنَّ عَلَيْنَ جَمْعَهُ و وَقُرْءَانَهُ و.فَإِذَاقَرَأْناَهُ
فَا تَّبِعْ قُرْ ءَانَهُ و
Artinya:
“sesungguhnya tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan
(membuatmu pandai ) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka
ikutilah bacaannya itu.” (Al-Qiamah : 17-18).
·
Secara
Istilah (Terminologi)
Adapun difinisi
Aqur’an secara istilah menurut sebagian ulama ushul
fiqih menafsirkan Al Qur’an dengan beberapa fariasi pendapat yaitu:
1.
Al-Qur’an
merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan
dengan Al-Qur’an. Seperti diantaranya wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi
Ibrahim (zabur) Ismail (taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas memang
kalamullah, tetapi dikarenakan diturunkan bukan kepada nabi Muhammad SAW, maka
tidak dapat disebut Al-Qur’an.
2.
Bahasa
Al-Qur’an adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat
Al-Qur’an, antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An-
NAhl 103 dan ibrahim : 4, maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan
terjemahan Al-Qur’an tidak dinamakan Al-Qur’an serta tidak bernilai ibadah
membacanya. Dan tidak sah shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Qur’an,
sekalipun ulama’ hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab),
tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3.
Al-Quran
dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa
perubahan dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4.
Membaca
setiap kata dalam Al-Qur’an mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari
bacaan sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.
5.
Al-Qur’an
dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan
surat yag terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak boleh diubah dan diganti
letaknya. Dengan demikian doa-doa, yang biasanya ditambahkan di akhirnya dengan
Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.[1]
· Dari difinisi di atas ada beberapa hal yang dapat di
pahami di antaranya:
1.
Lafal dan maknanya
langsung berasal dari Allah sehingga segala sesuatu yang di ilhamkan Allah kepada nabi bukan di sebut Al-Qur’an,
melainkan di namakan hadits.
2.
Tafsiran
surat atau ayat Al-Qur’an yang ber bahasa Arab, meskipun mirip dengan Al-Qur’an
itu, tidak dinamakan Al-Qur’an. Dan juga terjemahan surat dan ayat Al-Qur’an dengan
bahasa lain (bahasa selain arab), tidak di pandang sebagai bagian dari
Al-Qur’an, meskipun terjemahan itu menggunakan bahasa yang baikdan mengandung
makna yang dalam.
B. Kehujjahan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
yang Utama
Abd.
Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan Al-Qur’an dengan ucapannya
sebagai berikut:
“Bukti bahwa
Al-Qur’an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan
aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena
Al-Qur’an itu datang dari Allah dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang
pasti dan tidak diragukan kesahan dan kebenarannya. Sedang bukti kalau
Al-Qur’an itu datang dari Allah SWT, ialah bahwa Al-Qur’an itu membuat orang
tidak mampu membuat atau mendatangkan seperti Al-Qur’an.”
Membuat
tidak mampu (al i’jaaz) itu baru terjadi, apabila tiga hal berikut ini terdapat
pada sesuatu yaitu adanya tantangan (At-tahaddy), adanya motivasi dan dorongan
kepada penantang untuk melakukan tantangan-tantangan dan ketiadaan penghalang
yang mencegah adanya tantangan.
Nabi Muhammad SAW ketika menyatakan kenabiannya dan orang-orang kafir
menentangnya dan juga menentang ajaran-ajaran Allah SWT (Al-Qur’an) beliau
berkata: “Apabila engkau sekalian meragukan semua ini, cobalah kamu datangkan
atau kamu buat saja surat yang sama dengan Al-Qur’an.”
Ucapan
seperti ini bukan berarti gurauan seraya orang kafir menjawab dengan: “Mana ada
didunia ini sesuatu yang sama dengan yang lain. Bukan begitu.” Akan tetapi
makna yang terpenting pernyataan ini adalah bahwa manusia tidak akan mampu
menyusun satu ayat pun sebagaimana ayat Al-Qur’an, baik mengenai susunan dan
keindahan bahasa juga maknanya, lebih-lebih kepastian dan kebenaran akan isinya yang mutlak yang
berlaku dan tidak bisa dipungkiri.
Allah
sendiri berfirman didalam ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
وَاِنْ كُنْتُمْ فِى رَيْبٍ .مِمَّانَزَّلْنَاعَلَى
عَبْدِ نَافَاتُوْابِسُوْرَةٍمِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوْاشُهَدَآءَكُمْ مِنْ
دُوْنِاللهِ اِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ.
Artinya:
“Dan apabila engkau sekalian didalam
keadaan ragu-ragu terhadap apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami,
buatlah surat yang serupa dengannya, dan datangkanlah saksi-saksimu yang selain
Allah, apabila engkau sekalian memang orang-orang yang benar.” (Q.S, 2:23)
Allah juga
menegaskan:
اَمْ
يَقُوْلُوْنَ تَقَوَّلَهُ بَلْ لاَيُؤْمِنُوْنَ.فَلْيَاْتُوْابِحَدِثٍ مِثْلِهِ
اِنْ كَنُوْاصَادِقِيْنَ.
Artinya:
“Apakah mereka mengatakan Muhammad itu
membuat-buatnya. Sebenarnya mereka tidak beriman. Hendaklah mereka mendatangkan
kalimat yang sepadan dengan Al-Qur’an itu. Apabila mereka itu memang
orang-orang yang benar.” (Q.S, 52: 33-34).
Betapapun mereka, yang menentukan Al-Qur’an itu tidak
dapat memberikan yang serupa dengan Al-Qur’an itu, apakah itu dari segi
bahasanya, atau isinya dan lebih-lebih ketepatan isinya yang menyangkut baik
riwayat orang-orang dahulu tentang jagad raya dan hukum-hukum yang ditetapkan
oleh Allah SWT.[2]
Para Ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai
sumber pertama dan utama bagi Syari’at
Islam, termasuk hukum Islam dan menganggapnya Al-Qur’an sebagai hukum Islam
karena di latar belakangi sejumlah alasan, dintaranya :
1.
Kebenaran
Al-Qur’an
Kehujjahan
Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun
tidak ada keraguan atasnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
ذَالِكَاْلْكِتَابُلاَرَيْبَ فِيْهِ
هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
Artinya:
“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
Berdasarkan
ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan
padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan
Aturan-Aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang
masa hidupnya.
M. Quraish
Shihab menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti
kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai
petunjuk bagi seluruh ummat manusia.[3]
2.
Kemukjizatan
Al-Qur’an
Mukjizat
memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya
karena hal itu adalah di luar kesanggupannya. Mukjizat merupakan suatu
kelebihan yang Allah SWT berikan kepada para Nabi dan Rasul untuk menguatkan
kenabian dan kerasulan mereka, dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka
bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainkan benar-benar datang dari Allah
SWT. Seluruh nabi dan rasul memiliki mukjizat, termasuk di antara mereka adalah
Rasulullah Muhammad SAW yang salah satu mukjizatnya adalah Kitab Suci
Al-Qur’an.
Al-Qur’an
merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, karena
Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh ummat
manusia sepanjang masa, karena Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk
keselamatan manusia kapan dan dimana pun mereka berada. Allah telah menjamin
keselamatan Al-Qur’an sepanjang masa, hal tersebut sesuai dengan firman-Nya:
إِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَااْلذِكْرَوَإِنَّالَهُولَحَافِظُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Q.
S. Al-Hijr, 15:9).
Adapun beberapa bukti dari
kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:
a.
Di dalam Al-Qur’an
terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi di
masa mendatang, dan apa-apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat tersebut
adalah benar adanya.
b.
Di dalam
Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat dibuktikan dengan
ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang ini.
c.
Al-Qur’an
sebagai Sumber Hukum Menurut Imam Madzhab. Diantaraya :
1)
Pandangan
Imam Abu Hanifah
Imam Abu
Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum
islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup
maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah
tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab,
misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan Madharat.
Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak di bolehkan
membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
2)
Pandangan
Imam Malik
Menurut
Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya
berasal dari Allah SWT. Sebagai sumber hukum islam, dan Dia berpendapat bahwa
Al-Qur’an itu bukan makhluk, Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam
Malik juga sangat menentang orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an secara murni
tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “ seandainya aku mempunyai
wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya
nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu,”.
Dengan
demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in)
yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir
melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Dan Imam Malik mengikuti jejak mereka
dalam cara menggunakan ra’yu.
Berdasarkan
ayat 7 surat Ali Imran, petunjuk Lafazh yang terdapat dalam
Al-qur’an terbagi dalam dua macam yaitu:
·
Ayat
Muhkamat
Muhkamat adalah
ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat di pahami dengan mudah. Dan
ayat Muhkamat disini terbagi dalam dua bagian yaitu; Lafazh dan Nash.
Imam malik
menyepakati pendapat ulamak-ulamak lain bahwa lafad nash itu
(qoth’i) artinya adalah lafazh yang menunjukkan
makna yang jelas dan tegas (qoth’i) yang secara pasti tidak memiliki
makna lain, Sedangkan Lafadz Dhohir ( Zhanni )
adalah lafazh yang menunjukkan makna jelas, namun masih
mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut
imam malik keduanya, dapat dijadikan hujjah, hanya saja Lafazh Nash di
dahulukan dari pada Lafazh Dhohir. Dan juga menurut imam malik
bahwa dilalah nash termsuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir
termasuk Zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara
keduanya, maka yang di dahulukan adalah dilalah nash. Dan perlu di ingat adalah
makna zhahir di sini adalah makna zhahir menurut pengertian
Imam Malik
·
Ayat-ayat
Mutasyabbihat
Ialah
ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat di tentukan
artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
3)
Pendapat
Imam Syafi’i
Imam
Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran
tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara keduanya sangat erat
sekali, dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan beliau
menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i
menyamakan derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan
As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini
sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan
demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat
mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan
ibadah-ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa Arab bagi mereka
yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an, kami ulangi kembali
bahwa pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan
menggunakan bahasa selain Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak
dalam, keadaan Madharat.
4)
Pandangan
Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam Ibnu
Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang
tidak akan berubah sepanjang masa. Alqur’an juga mengandung hukum-hukum yang
bersifat GLOBAL (luas atau umum). Sehingga Al-Qur’an tidak bisa di pisahkan dengan sunnah atau
hadits, karna Sunnah ini merupakan penjelas dari Al-Qur’an seperti halnya Imam
As-Syafi’I, Imam Ahmad yang memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang
kuat disamping Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber
hukum itu adalah Nash tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau
As-Sunnah dahulu tapi yang dimaksud Nash tersebut adalah
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam
penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan penafsiran yang
datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). Dan sikapnya dapat di
klasifikasikan menjadi tiga :
a.
Sesungguhnya
zhahir Al-Qur’an tidak mendahului as-sunnah.
b.
Rosulullah
SAW yang berhak menafsirkan Al-Qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak
menafsirkan atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan
dan menjelaskannya.
c.
Jika tidak
di temukan penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para
sahabatlah yang dipakai. Karna merekalah yang menyaksikan
turunya Al-Qur’an.dan mereka pula yang lebih mengetahui as-sunnah,
yang mereka gunakan sebagai penafsiran Al-Qur’an.
5)
Menurut
Ibnu Taimiah
Al-Qur’an itu tidak di tafsirkan,
kecuali dengan Atsar, namun dalam beberapa pendapatnya, ia
menjelaskan kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits Nabi, dan Qoul
Sahabat, di ambil dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh : 242-247).
C. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum.
1.
Sifat-sifat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an
Umumnya hukum-hukum yang terdapat
didalam Al-Qur’an itu bersifat garis besarnya saja, tidak sampai kepada
perincian yang kecil-kecil. Kebanyakan penjelasan Al-Qur’an ada dalam
As-sunnah. Sekalipun demikian, ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam Al-Qur’an
cukup lengkap. Jadi ia merupakan pokok-pokok atau garis besar yang lengkap. Hal
ini dinyatakan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an:
مَافَرَّطْنَافِىي
اْلْكِتَابِ مِنْ شَىْءٍ
Artinya:
“Tidaklah
kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab.”
(Q.S, 6:
38)
Al-Qur’an
telah sempurna, sebab syari’at juga sudah sempurna sebab Allah berfirman:
اَلْيَوْمَاَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ
اْلاِسْلاَمَ دِيْناً
Artinya:
“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu
sekalian akan agamamu, dan Kusempurnakan pula kepadamu sekalian akan nikmat-Ku,
dan Akupun Ridla Islam sebagai agama bagi kamu sekalian.” (Q.S, 5:3).
Memang sudah jelas
hukum-hukum Shalat, zakat, haji, dan lain-lainnya, namun Al-Qur’an tidak
menjelaskannya dengan tuntas, yang menjelaskan adalah As-Sunnah, deimikian pula
dengan perkawinan, qisash, dan lainnya. Jadi kesimpulannya, kebanyakan hukum
yang terdapat didalam Al-Qur’an itu bersifat umum.[4]
Jelaskan yang anda ketahui ttg asas al q dlm
mntpkn hkm
2. Asas-asas hukum
a.
Tidak memberatkan
Hal ini ternyata dalam
firman Allah SWT:
لاَيُكَللِّفُاللهُ نَفْسًااِألاَّوُسْعَهَا
Artinya:
“Allah tidak memberatkan seseorang melainkan dengan kesanggupannya.” (Q.S, 2: 286)
“Allah tidak memberatkan seseorang melainkan dengan kesanggupannya.” (Q.S, 2: 286)
Nabi pun bersabda:
بُعِثْتُ
بِالحَنِيْفِيَّةِالسَّمْحَةِ
Artinya:
“Aku diutus membawa agama yang mudah lagi gampang.” (H.R. Ahmad dan
Al-Baihaqi)
b.
Islam tidak memperbanyak beban atau tuntutan.
Segala sesuatu yang
ditentukan didalam Al-Qur’an, juga didalam As-Sunnah semua manusia mampu
melakukannya. Disamping itu dalam Al-Qur’an terkandung hukum-hukum azimah
dan hukum-hukum rukhsah, seperti dalam keadaan berpergian, sakit,
terpaksa dan lain sebagainya.
c.
Ketentuan-ketentuan Islam datang secara bertahap.[5]
Contohnya, al-khamr
mula-mula dikatakan oleh Tuhan, orang-orang tidak diperbolehkan shalat apabila
dalam keadaan mabuk, kemudian dikatakan di dalam al-khamr itu ada
kemanfaatannya tetapi ada juga kemafsadatannya, akan tetapi kemafsadatnnya
itulah yang lebih besar. Akhirnya al-khamr itu sama sekali diharamkan.[6]
d.
Sejalan dengan kemaslahatan manusia.
Hal ini dibuktikan dengan
seiringnya Al-Qur’an meneybutkan sebab atau illat hukum. Misalnya
tentang adanya pengaturan harta (fai)disebutkan bahwa pengaturan tersebut
dimaksudkan agar harta itu tidak hanya berputar diantara orang yang kaya saja.
Juga misalnya dalam surat Al-An’am ayat 108:
وَلاَتَسُبُواالَذِيْنَ
يَدْعُوْنَ مِنْ دُونِااللهِ فَيَسَبُوااللهِ عَدُوًابَغَيْرِعِلْمٍ
Artinya:
“Dan jangan kamu maki-maki (berhala) yang mereka seru selain Allah,
karena mereka akan memaki-maki Allah dengan melewati batas dan tanpa
pengetahuan.”
Dalam ayat ini kita dilarang
memaki-maki berhala karena apabila kita memaki-maki berhala, merekapun akan
memaki-maki Allah.
D. Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an
Urutan
sumber hukum brdasarkan kepada dialog antara
Rasulullah dengan Muadz bin Jabal. Rasulullah berdialog dengan Muadz
ketika beliau mengurus Muadz untuk
menjadi gubernur di Yaman.
“Dari
Muadz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah SAW, ketika mengutusnya (Muadz) ke
Yaman bersabda: Bagaimana kau memberikan keputusan apabila dihadapkan kepadamu
sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab: Saya akan memutuskan berdasarkan
Kitabullah, Rasulullah berkata: Jika engkau tidak menemukan didalam Kitabullah?
Muadz menjawab: Dengan Sunnah Rasulullah. Rasulullah berkata: Jika engkau tidak
menemukan didalam sunnah Rasulullah? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad
dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuank. Maka Rasulullah merasa lega
dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan
Rasulullah (Muadz) dalam hal yang diridhoi oleh Rasulullah.”
Alqur’an Sebagai sumber hukum yang utama, maka Al-Qur’an
memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar hukum yang dikandung dalam Al-Qur’an itu ada
tiga macam:
a.
Hukum I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum
yang bersangkut paut dengan keimanan kepada Allah, malaikat, para nabi, hari
kemudian dan lain-lain.
b.
Hukum Khuluqiyah yaitu hukum-hukum
Allah bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan bagi
seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c.
Hukum ‘Amaliyah yaitu hukum-hukum yang bersangkut paut dengan
ucapan, perbuatan, transaksi (aqad) dan pengelolaan harta. Inilah yang disebut
fiqhul- qur’an dan inilah yang dimaksud dengan Ilmu Ushul Fiqh sampai
kepadanya.[7]
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash
al-Qur’an, garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1. Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang
berhubungan dengan akidah dan kepercayaan
2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang
berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat ,
mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat,
dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Selanjutnya Abd. Wahhab mengemukakan hukum-hukum amaliyah didalam
Al-Qur’an terdiri atas dua cabang hukum:
a.
Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa,
zakat, haji, nadzar, sumpah dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah.
b.
Hukum-hukum mu’amalah, seperti aqad,
pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan lain-lain selain ibadah, yaitu yang
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, baik perseorangan maupun
kelompok. Inilah yang disebut dengan hukum mu’amalah yang didalam hukum
modern bercabang-cabang sebagai berikut:[8]
1)
Hukum badan pribadi, tentang manusia sejak adanya
dan kemudian ketika berhubungan sebagai suami isteri didalam Al-Qur’an terdapat
sekitar 70 ayat yang di istilahkan dengan al-ahwalusyayakhabiyyah.
2)
Hukum perdata yaitu hukum mu’amalah antara perseorangan
dengan perseorangan juga masyarakat, seperti jual beli, sewa meneyewa, gadai
dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan. Ayat-ayat tentang ini sekitar
70 yang diistilahkan dengan al-ahkamulmmadaniyyah.
3)
Hukum pidana, sekitar 30 ayat yang
diistilahkan dengan Al Ahkamul Jinyyah,
4)
Hukum acara yaitu yang bersangkut paut dengan
pengadilan, kesaksian dan sumpah, sekitar 23 ayat diistilahkan dengan Al-ahkamul
murafa’at.
5)
Hukum perundang-undangan, yaitu yang
berhubungan dengan hukum dan pokok-pokoknya, yang membatasi hubungan antara
hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat. Ayat
tentang ini sekitar 10 ayat yang diidtilahkan dengan Al- Ahkamul Dusturiyyah.
6)
Hukum ketatanegaraan, yaitu hukum antara
negara-negara Islam dengan negara bukan Islam, tata cara pergaulan dengan
selain muslim didalam negara Islam. Semuanya baik ketika perang maupun damai,
Ayat tentang ini sekitar 25 ayat dan diistilahkan dengan Al Ahkamud
dauliyyah.
7)
Hukum tentang ekonomi dan keuangan, yaitu hak
seorang miskin pada harta orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara
fakir dan orang-orang kaya, antara negara dan perorangan. Ayat tentang ini
sekitar 10 ayat yang diistilahkan dengan Al Ahkamud istishadiyyah wal
maliyyah.[9]
Yang pertama menjadi dasar agama,
yang kedua menjadi penyempurna bagian yang pertama, amaliyah
yang kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum
yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut
hukum Islam.[10]
E. Petunjuk (Dhalalah) Al-Qur’an
Kaum
Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum Syara’. Merekapun spakat
bahwa semua ayat al-Qur’an dari segi wurud(kedatangan) dan Tsubut (penetapannya)
adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita
dengan jalan mutawattir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang
mencantumkan beberapa kata pada mushiaf-nya, yang tidak ada pada
qiro’ah mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan
penafsiran pada Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad
mereka dengan jalan membawa nas mutlak pada muqayyad dan hanya
untuk dirinya sendiri. Hanya saja para penbahas berikutnya menduga bahwa hal
tersebut termasuk qiroat Khairu Mutawatir yang periwayatannya
tersendiri. Diantara para Sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada
mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud di mencantumkan kata Mutata
Biatin pada ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-nya
tertulis :
فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ا يا
م متتا بعا ت
Dan menambah kata dzi ar-rohmi al—muharrami pada ayat
233, surat Al-Baqarah sehingga ayat tertulis:
وعلى الوارث دى الرحيم المحرم
Ubai Ibnu
Ka’ab mencantumkan kata Min Al-Ummi pada ayat 12 surat An-Nisa,sehingga
ayat tersebut tertulis pada mushaf-nya:
وان كان رجل يورث كلالة اوامراة وله
اخ اواخت من الام
Namun,
perlu di tegaskan bahwa hal tersebut tidak di dapati dalamMushaf Utsmani
yang kita pakai sekarang ini.
Adapun di
tinjau dari segi Dilalah-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat di bagi
dalam dua bagian;
a.
Nash
yang Qath’i dilalah-nya
Yaitu nash
yang tegas dan jelas maknanya tidak bisa di takwil, tidak mempunyai makna yang
lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri.[11] Contoh
yang dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian
waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak
seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayat yang menyangkut hal hal tersebut,
maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan
dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. Misalnya pada firman Allah SWT yang
artinya:
“Dan bagimu para suami separo dari
harta yang ditinggalkan oleh ister-isterimu jika mereka itu tidak mempunyai
anak. (Q.S, 4: 14)
b. Nash yang Zhanni dilalah-nya
Yaitu
nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil ayat nash yang mempunyai
makna lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) atapun karena
susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya
, iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para
ulama, slain berbeda pendapat tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yang qath’i
dan zhanni dilalah, juga berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg termsuk
qath’i atau zhanni dilalah.
Misalnya
pada firman Allah SWT:
وَاْلمُطأَلَّقَاتُ
يَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَللاَثَةَ قُرُوْءٍ.
Artinya:
“Dan wanita-wanita yang dicerai itu hendaklah
menahan diri tiga kali quru’.” (Q.S, 2: 228)[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum
dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an
maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum
syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas
karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’
dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil
adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk
menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
B. Saran
Untuk mendapatkan manfaat yang
sempurna dari Makalah yang penulis buat ini, hendaknya
Pembaca Memberikan Kritik dan saran serta melakukan Pengkajian Ulang
(diskusi) terhadap penulisan sehingga penulis terhindar dari Kekeliruan.
DAFTAR
PUSTAKA
Chalil Moenawar, Kembali Kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Djazuli. A, Penggalian,
Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Saebani, Beni Ahmad, Ilmu Ushul
Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul
Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Taimiyah Ibnu, Muqadimah
Al-Qur’an, Beirut: Darul-Fikr, 1977.
Umar Muin, et. Al. Ushul Fiqh 1,
Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
1986.
[2] Drs. Muin Umar, dkk, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 72-73.
[4] Drs. Muin Umar, dkk, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 82-83
[5] Al-Hudhari Bik, Tarikh At-Tasyrri’ Al-Islami, Matba’ah Sa’adah, Mesir,
Cetakan ke-6, 1954, hal.18
[6] Drs. Muin Umar, dkk (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 83-84.
[7] A. Djazuli, Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm.63
[8] Drs. Muin Umar, dkk (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 85.
[9] Drs. Muin Umar, dkk (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 86.
[10] Dikutip
dari, “ilmu ushul fiqh”. Prof.Dr.Abdul Wahhab Khalaf Diposkan oleh IMRON
BUSFA di 10.41
[11] Drs. Muin Umar, dkk, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm.87.
[12] Drs. Muin Umar, dkk, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, 1986), hlm 87-88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar