RESUME
FENOMENOLOGI
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah
FILSAFAT UMUM
Dosen
Pengampu :
H.
Imam Masrur M.Th.I,CHt,CI
Disusun oleh :
Nama NIM
Retno
Sulistiyani (931335515)
Eka
Susanti (931335715)
Nikmahtul Ulfa Mufarida (931337615)
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu
filsafat adalah ilmu yang menjadi induk segala pengetahuan. Filsafat juga dapat
dijadikan paduan dalam kehidupan karena hal-hal yang berada di dalam lingkupnya
selalu menyangkut sesuatu yang mendasar dan membutuhkan penghayatan. Filsafat
juga memberi petunjuk mengenai tata cara pergaulan antara sesama. Tak lepas
dari semua ini, pada dasarnya filsafat adalah bersumber dari pertumbuhannya
pola pikir manusia. Semua yang ada, atau yang telah ada bisa diperhatikan dan
dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas individu dan
manusia mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara mendalam untuk
menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan
keabsahannya. Dengan demikian dapat dikata bahwa berfilsafat adalah mendalami
sesuatu secara mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki seseorang. Dan
akhirnya bisa melahirkan aliran fenomenologi yang akan dipaparkan dalam makalah
ini. Yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena.
B.
Rumusan Masalah
A.
Bagaimana Pengertian Fenomenologi ?
B.
Siapa Saja Filsuf Filsafat Fenomenologi ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Pengertian Fenomenologi.
2.
Untuk Mengetahui Siapa Saja Filsuf Filsafat Fenomenologi.
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat
disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa
tentang fenomenologi dan filsuf atau tokoh beserta pemikiran, analis, dan
kontribusinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fenomenologi
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon,
yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa
Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi, fenomenologi adalah suatu
aliran yang membicarakan suatu fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan
diri.[1]
Menurut para filsuf pengikut fenomenologi atau suatu fenomen tidak
perlu harus diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga dilihat atau
ditilik secara rohani, tanpa melewati indera. Juga fenomen tidak perlu suatu
peristiwa. Untuk sementara dapat dikatakan bahwa menurut para pengikut filsafat
fenomenologi fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”,
apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita.
Pengaruh filsafat fenomenologi besar sekali di Eropa dan Amerika.
Pada zaman diantara perang dunia pertama dan kedua pengaruh cara berfikir
fenomenologis besar sekali. Para filsuf eksistensialisme juga dipengaruhi oleh
metode pemikiran fenomenologis.[2]
B.
Filsuf Filsafat Fenomenologi
1.
Edmund Husserl (1859-1938)
a.
Pemikiran :
1)
Hukum-hukum logika yang memberi kepastian, tidak mungkin bersifat a
posteriori sebagai hasil pengalaman, tetapi bersifat a priori.
2)
Dunia tidak dapat memberikan kebenaran, maka kita harus mencari
dalam erlebnisse (pengalaman dengan sadar)supaya ada kepastian akan
kebenaran.
3)
Usaha untuk mencapai hakekat segala sesuatu adalah reduksi, ada
tiga macam reduksi yaitu: reduksi fenomenologis, reduksi eidetis, reduksi
transendental.
b.
Analisis :
Logika sejenis dengan ilmu pasti,
karena cara hukum-hukumnya yang berlaku adalah sama.
c.
Kontribusi :
1)
- Berhitung, 2 + 2 = 4.
-
Bola berbentuk bulat, tanpa kita harus mengamati bola tersebut, kita
pasti sudah tahu kalau bola itu berbentuk bulat.
2)
- Aku sedang duduk.
Dengan mengamati aku, tubuhku yang diatas kursi maka nyata aku sedang duduk.
-
Sedang membaca, sedang bercakap-cakap, dan lain-lain.
3)
Reduksi fenomenologis : Membuang
segala pengalaman dan tidak tau apapun seperti halnya tarzan yang baru keluar
dari hutan.
Reduksi eidetis :
Kita mengamati suatu benda, dan memikirkan apa serta untuk apa benda tersebut.
Reduksi transendental : Setelah
kita melihat dan mengamati beberapa fenomena bagaimana orang lain menggunakan/
memanfaatkan benda itu tadi, kita menyimpulkan lalu tau kegunaan dari suatu
benda itu tadi.
Max Scheler (1874-1928)
a.
Pemikiran :
1)
Nilai adalah hal yang dituju oleh perasaan, yang mewujudkan a
priori emosi.
2)
Pribadi tidak sama dengan makhluk yang berjiwa, juga tidak sama
dengan “aku” yang berpikir, berkehendak, dan sebagainya.
3)
Manusia sebagai makhuk yang hidup bukan hanya timbul dari binatang,
tetapi ia adalah binatang yang berfikir, yang tidak dapat menyerah kepada alam.
4)
Kasih adalah sesuatu yang suci, yang tinggi, yang bukan termasuk
kawasan inderawi, melainkan kawasan pribadi.
b.
Analisis :
Scherles adalah seorang realis, yang memusatkan perhatiannya kepada
kenyataan dan hidup yang konkrit.
c.
Kontribusi :
1)
- Jatuh cinta. Misalnya si A
sedang melihat si B sebagai nilai yang dituju oleh perasaan si A kemudian
mewujudkan suatu a priori emosi yaitu jatuh cinta.
-
Merasakan amarah
2)
Dua orang yang memikirkan benda yang sama tetapi berbeda pendapat mengenai kedua benda
tersebut.
- Sama-sama
merasakan haus, sama-sama ingin minum, namun jenis minuman yang diinginkan
berbeda.
3) Dalam mencari makanan, hewan kalau
menjumpai buah apel langsung dimakan apa adanya, sedangkan manusia mengolahnya
terlebih dahulu misalnya menjadikan jus, kripik apel dan lain sebagainya.
4) Adanya hubungan kasih sayangantara makhluk
dengan Tuhan-nya.
-
Adanya hubungan kasih sayang antara anak dengan orang tua.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi, menurut makalah yang telah dipaparkan, filsafat fenomenologi
yang dikemukakan Husserl ini bermuara dalam suatu idealisme transedental.
Pengaruh Husserl besar sekali, baik dibidang filsafat maupun di bidang ilmu
pengetahuan positif. Begitu pula dengan Max Scheler, filsuf dengan tekanan
menunjuk kepada pribadi. Ia termasuk filsuf yang berhasil mengajak kita kembali
memperhatikan manusia.
B.
Saran
Menurut
kami masih banyak lagi yang perlu dipelajari mengenai filsafat fenomenologi,
agar dapat memahami lebih dalam lagi apa yang dibahas didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. ( Yogyakarta: PT. Kanisius,
1980).
K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX. (Jakarta: PT. Gramedia,
1981).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar