MAKALAH
ILMU JARH WA
TA’DIL
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah
ULUMUL HADITS
Dosen
Pengampu :
Hisbulloh Hadziq,
S.H.I,.M.Pd.I

Disusun
oleh :
Nama NIM
Retno
Sulistiyani 931335515
Miftakhul Jannah
931335615
Eka Susanti 931335715
Fitrotun Najah 931335815
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A .Latar Belakang
Salah satu
objek penting lainnya dalam kajian ulumul Hadits adalah perbincangan mengenai Ilmu
jarh wa ta’dil. Jarh atau Tajrih menurut bahasa
berarti luka, sedangkan menurut istilah, Jarh ialah tersifatinya seorang Rawi
dengan sifat-sifat tercela, seperti kadzdzab, su’al-hifzh, mukhtalath, ghair
ma’mun, dan lain-lain sehingga tertolak periwayatannya.
Pengertian Ta’dil menurut bahasa ialah lafal adil, sedangkan menurut
istilah, Arti ta’dil adalah tersifatinya seorang perawi yang mengarah pada
diterimanya periwayatannya.
Latar belakang terjadinya ilmu jarh wa ta’dil dimulai sejak adanya
periwayatan hadits, sebagai usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan
hadits sahih dan dhaif. Menurut T.M. Hasbi As-Shiddiqie, sekurang-kurangnya ada
tujuh periode perkembangan hadits.
Pembahasan mengenai ilmu jarh wa ta’dil diantaranya dalah: macam-macam
kaidah jahr dan ta’dil, hukum mencela para perawi, tidak boleh mencela lebih
dari keperluan, syarat menerima penta’dilan dan pentajrihan, jarh dan ta’dil
yang diterima dan yang ditolak, jumlah kesaksian dalam jarh atas ta’dil,
mendahulukan jarh atas ta’dil, jumlah kesaksian dalam jarh atas ta’dil,
mendahulukan jarh atas ta’dil.
Pertentangan
jarh wa ta’dil terhadap seorang perawi, maka
menimbulkan pendapat yang dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar Razy, AL
Amidy dan lain-lain adalah arah itu didahulukan atas ta’dil secara muthlaq
walaupun yang mengadilkan itu lebih banyak jumlahnya.
Demikianlah secara singkat latar belakang Ilmu Jarh Wa Ta’dil sebagai
pelengkap uraian bab ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun merumuskan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
- Apakah pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil ?
- Bagaimana
latar belakang terjadinya Ilmu Jarh Wa Ta’dil ?
- Bagaimana pembahasan mengenai Ilmu Jarh wa
Ta’dil ?
- Bagaimana pertentangan Jarh wa Ta’dil ?
C. Tujuan Penulisan
- Untuk memahami pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil.
- Untuk mengetahui latar
belakang terjadinya Ilmu Jarh Wa Ta’dil.
- Untuk mengetahui pembahasan mengenai Ilmu Jarh
wa Ta’dil.
- Untuk mengetahui pembahasan mengenai
pertentangan Jarh wa Ta’dil.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat
disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa
tentang pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil serta pembahasannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jarh wa Ta’dil
1. Jarh atau Tajrih menurut bahasa berarti luka
atau melukai dapat juga diartikan sebagai aib. Al-Jarh adalah bekas luka pada
tubuh dengan sebab terkena senjata tajam, sedangkan jika dibaca al-jurh berarti
nama sebuah luka,[1] seperti
luka kena pisau atau yang lainnya.
Sedangkan menurut istilah, Jarh ialah
tersifainya seorang Rawi dengan sifat-sifat tercela, seperti kadzdzab, su’al-hifzh,
mukhtalath, ghair ma’mun, dan lain-lain sehingga tertolak periwayatannya. Adib
Salih menyatakan sebagai berikut:
“Sifat
yang ada pada rawi yang dengannya, riwayatnya ditolak dan tidak diterima.”[2]
Ajaj Al-Khatib dalam karyanya Ushul
al-Hadis, mendefinisikan jarh sebagai sifat lahiriah rawi yang
keadilannya cacat, seperti lemah ingatan, sehingga riwayatnya jatuh atau
tertolak dengan tajrih ini, rawi disifati dengan sifat yang mengarah
pada kelemahan atau tidak diterima riwayatnya.[3]
2. Pengertian Ta’dil menurut bahasa ialah lafal
adil yang seakar dengan lafal ‘adalah yang apabila telah di muta’adil-kan
atau ditransitifkan akan menjadi perkataan ta’dil. Sebelum perkataan ta’dil
diterangkan secara harfiah, ada baiknya jika diterangkan terlebih dahulu
pengertian adil itu secara umum.
Adl menurut kitab Manhaj Dzawin Nazhar
adalah sebagai berikut : “Orang yang memiliki ketetapan dalam takwa, yaitu
dengan menjauhi semua perbuatan yang buruk, baik berupa kemusyrikan, kefasikan
maupun bid’ah. Juga dikatan ‘adl jika mereka mampu menjauhi dosa-dosa
kecil dan hina, namun ia bertetap dalam hal-hal yang berkaitan dengan muru’ah.[4]
Sedangkan menurut istilah, Arti ta’dil
adalah tersifatinya seorang perawi yang mengarah pada diterimanya
periwayatannya. Orang yang dinilai adil ialah orang yang tidak cacat urusan
agama dan muru’ahnya, sehingga kabar dan persaksiannya dapat diterima
sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi.[5]
Menurut keterangan tersebut, yang
dinamakan adil adalah orang yang tidak ada ketercelaan pada dirinya, sehingga
tidak ditolak riwayatnya atau pemberitaannya. Jadi, orang yang di-ta’dil
atau yang dinilai adil adalah orang yang dirinya selamat dari segala celaan
yang tidak layak dimiliki oleh seorang rawi agar riwayatnya tidak ditolak.
Seorang yang dinilai adil dalam periwayatan hadits, harus seorang Muslim, mukallaf,
dhabith, tsiqah dan selamat dari kefasikan. Prof Hasbi Ash-Shiddiqie, dalam
karyanya Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, mengemukakan definisi jarh
wa ta’dil sebagai berikut : “Zhahirnya ‘aib sehingga riwayatnya tertolak
(dan) ta’dil didapat ketika keadilan dan ke-dhabith-annya
diketahui.”[6]
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan
bahwa Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ‘Ilmu yang membahas tentang
kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkannya”.
B. Latar Belakang Terjadinya Ilmu Jarh Wa
Ta’dil
Pertumbuhan
Ilmu jarh wa ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, ini adalah sebagai
usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits sahih dan dhaif. Walaupun
jarh dan ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, alangkah baiknya jika
dikemukakan terlebih dahulu masa perkembangan hadits semenjak zaman Rasulullah
sampai masa pensyarahan (penafsiran) kitab-kitab hadits.
Menurut
T.M. Hasbi As-Shiddiqie, sekurang-kurangnya ada tujuh periode perkembangan
hadits, yaitu :
1. Masa Turun Wahyu
Masa ini selama 23
tahun, yaitu tahun kedelapan sebelum Hijriah sampai tahun kesebelas Hijriah.
Masa ini masa pembentukan Tasyri Islami (hukum Islam) dimana Rasulullah sebagai
penyampai dan para sahabat sebagai penerima risalah yaitu sejak awal kenabian
sampai beliau wafat.
2. Masa Khukafaur Rasyidin
Lamanya 29 tahun, yaitu
tahun kesebelas Hijriah sampai tahun empat puluh hijriah. Masa ini terkenal
dengan masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.
3. Masa Perkembangan Riwayat dan Perlawanan
ke Kota-kota Untuk Memberi Hadits.
Masa ini lamanya 60
tahun, yaitu mulai tahun empat puluh Hijriah sampai tahun seratus Hijriah.
4. Masa Pembukuan Hadits
Masa ini dimulai dari
permulaan abad kedua Hijriah sampai akhirnya, lamanya kurang lebih seratus
tahun.
5. Masa Pen-tashihan Hadits
Menyaringnya dan
menafsirnya yaitu mulai sejak abad ketiga Hijriah sampai akhirnya, kurang lebih
seratus tahun lamanya.
6. Masa Menafis dan Menyaring Kitab-Kitab
Hadits
Lamanya kira-kira tiga
setengah abad, yaitu mulai abad keempat sampai tahun 656 Hijriah.
7. Masa Membuat Syarah dan Menyusun
Kitab-Kitab Takhri.
Masa ini adalah dimana
masa mengumpulkan hadits hukum dan menyusunnya dalam kitab-kitab jami’ sejak
tahun 656 Hijriah smapai sekarang.
C. Pembahasan Mengenai
Ilmu Jarh Wa Ta’dil
1. Macam-Macam Kaidah Jahr
dan Ta’dil
Kaidah-kaidah jahr dan ta’dil ada 2 macam :
a.
Pertama,
kepada cara-cara perawinya hadits, sahnya periwayatan, keadaan perawi dan kadar
kepercayaan kepada mereka. Disebut pula
naqdun kharijjun, yaitu kritik yang datang dari luar hadits atau kritik
ekstrensik ( kritik yang tidak mengenai isi hadist).
Dalam
masalah proses penerimaan dan penyampaian periwayatan hadits, akan menjadi
parameter diterima atau tidaknya suatu hadits.
·
Perawi
mendengar langsung dari gurunya, (murid bertemu langsung dengan gurunya).
Diantara
lafal-lafal yang menunjuk pada pertemuan itu ialah:
1.) سَمِعْتُ, سَمِعْنَا
(Saya
mendengar, kami mendengar)
2.) حَدَّ ثَنِي,
حَدَّ ثَنَا
(Seseorang telah bercerita kepadaku/ kami)
3.) أَخْبَرَنِي,أَخْبَرَنَا
(Seseorang
telah mengabarkan kepadaku/kami)
4.) أنْبَأنَا
(Seseorang
telah memberi tahukan kepada kami)
5.) قللِي(لنا)فُلاَنٌ
(Seseorang
telah berkata padaku/ kami)
6.) ذَكَرَلِي(لن)فلان
(Seseorang
telah menuturkan padaku/ kami)
7.) قال حدثني,
قال حدثنا
(Dia
berkata telah bercerita kepadaku/ kami)
·
Rawi yang belum diketahui secara pasti tentang bertemu
tidaknya dengan gurunya, apakah ia mendengar lagsung atau tidak. Adapun
lafal-lafal yang menunjuk pada arti ini adalah:
روي = diriwayatkan oleh,
حكي = dihikayatkan oleh,
عن =
dari,
أن =
bahwasannya,
Adapun sebagai catatan, bahwa hadits yang diriwayatkan
dengan sighat tamridh (yaitu bentuk penilaian yang ambigu) ini tidak bisa
dipastikan bahwa Nabi Saw, atau guru benar-benar bersabda tentang hal itu,
kecuali jika ada qarinah lain.[7]
b.
Kedua,
berpautan dengan hadits sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak ada
jalan-jalan keshahihannya dan ketiadaan keshahihannya dinamakan
naqdun dakhiliyun, yaitu kritik dari dalam hadits atau kritik intrensik.
Tiadalah
diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang benar-benar
cacat. Ibnu Hajr dalam muqaddamah Fat-hal-bari berkata, “Tiadalah diterima
pencacatan terhadap seseorang terkecuali terdapat sesuatu yang terang
mencacatkan, karena sebab-sebab mencacatkan seseorang berbeda-beda. Dan
semuanya berkisar di sekitar lima hal, yaitu bid’ah, menyalahi orang lain,
kesilapan, tidak diketahui si perawi, ada tuduhan bahwa sanadnya munqathi
(bahwa perawi itu mentadlis atau mengirsal).
2. Hukum Mencela Para Perawi
Mencacat
para perawi termasuk dalam jenis celaan yang dibolehkan apabila jelas ada suatu
kemuslihatan. Al-Ghazzaly dalam ihya’ Ulum ad-din dan An-Nawawy dalam riyadh
ash-Shalihin dan lai-lain berpendapat, mencela keadaan seseorang baik dia masih
hidup ataupun sesudah dia meninggal dibolehkan apabila karena ada sesuatu
kepentingan agama.
Ada enam sebab
yang membolehkan mencela seseorang yaitu :
a.
Karena
teraniaya, boleh bagi yanag teraniaya mengatakan kepada hakim bahwa dia telah
dizalimi oleh seseorang.
b. Meminta pertolongan untuk membasmi
kemungkaran. Seseorang boleh mengatakan dengan penguasa atau kepada pihak yang
dapat menghilangkan kemungkaran seseorang yang telah berbuat suatu kemungkaran
untuk menegurnya.
c. Untuk meminta fatwa. Maka seorang
mustafti boleh mengatakan kepada mufti (umpamanya) bahwa seseorang yang telah
berbuat zalim kepada dirinya dan memohon nasehat tentang upaya untuk melepaskan
diri dari kezaliman itu.
d. Untuk menghindarkan diri dari kejahatan.
Termasuk kedalam hal ini, mencela diri saksi (menyebut cacatan-cacatan pada
diri saksi) dihadapan hakim, demikian pula pada perawi hadist yang memang harus
dicela. Tindakan ini, boleh hukumnya
dengan ijma’ segala ulama, bahkan wajib.
e. Orang yang dicacat itu adalah orang yang
terang-terang berbuat bid’ah. Maka boleh disebut secara terang-terang bid’ah
yang dianut dan maksiyat yang dilakukan.
f. Untuk memperkenalkan pribadi yang
sebenarnya. Apabila seseorang dikenal dengan sesuatu sifat yang menunjuk kepada
suatu aib seperti si tuli, si pincang maka kita boleh mengatakan, “... si A
yang pincang...” dengan maksud
menerangkan keadaan orang yang sebenarnya dikehendaki, bukan dengan
maksud menjelekkan-nya.
3. Tidak Boleh Mencela Lebih Dari Keperluan
Mencela
seseorang merupakan suatu perbuatan yang sukar dan terkadang menimbulkan
kerenggangan batin antara manusia dan dibolehkan karena sesuatu darurat yang
diperbolehkan syara’, maka para ulama menetapkan bahwa mencela lebih dari kadar
keperluan tidak dibolehkan, dan tidak boleh kita sebut cacat-cacat yang
disebutkan oleh seorang ulama, jika orang yang dicela itu dipuji oleh orang
lain. Dan tidak boleh kita mencela pribadi-pribadi ulama yang tidak ada sangkut
pautnya dengan periwayatan hadits.
Adz
Dzahabi dalam kitab Mizanul I’tidal berkata: “Saya tidak menyebutkan dalam
kitab ini para perawi yang nyata-nyata lemah, karena pegangan kita sekarang
bukan lagi para perawi yang menjadi sanad antara kita dengan tokoh-tokoh hadits
yang dikenal keahlian mereka dan kebenaran mereka dalam menyebut nama-nama
orang yang sebelum mereka.
Maka
celaan-celaan itu dilakukan terhadap orang-orang yang menjadi rentetan antara
Nabi dengan pendewaan hadits, bukan rentetan antara pendewaan hadits dengan
kita. Dahulu hadits berpindah secara lisan maka perlu diadakan penta’dilan dan
pentajrihan untuk mengetahui mana hadits yang diterima dan mana hadits yang
ditolak. Sekarang ini kita hanya berpegang pada kitab-kitab yang mendewakan
hadits sehingga kita tidak perlu benar-benar meneliti siapa perawi-perawi
antara kita dengan kitab itu. Yang perlu hanyalah sekedar dari kitab yang
disebutkan dan cukuplah sudah kalau dia
seorang yang tidak terang-terang berbuat ma’shiyat dan sesuatu yang merusakkan
muruahnya.
4. Syarat Menerima Penta’dilan dan
Pentajrihan
Disyaratkan
kepada Mu’addil dan para Jarih, harus berilmu, taqwa, wara’, jauh dari
ta’ashshub dan mengetahui sebab-sebab jarah dan ta’dil. Orang yang tidak
demikian keadaannya, tidaklah dapat diterima tazkiyah dan jarahnya.
Dalam
kitab Thawatihurahmut syarah Musallamuts diterangkan bahawa Muzakki (orang yang
menyatakan keadilan seseorang) harus seorang yang adil lagi mengethaui
sebab-sebab jarah dan ta’dil, insyaf lagi jujur, bukan Muta’ashshib (‘ujub
kepada diri sendiri) Orang yang Muta’ashshib tidak dengan perkataannya.
5. Jarh dan Ta’dil yang Diterima dan yang
Ditolak
Para
ulama berbeda pendapat tentang penerimaan jarah dan ta’dil yang mubham (tidak
diterangkan sebab) yaitu :
a. Diterima ta’dil yang tidak disebut
sebab.
Karena sebab ta’dil
banyak, maka tidak perlu disebut satu per satu. Mengenai jarah tidak dapat
diterima, kecuali yang diterangkan sebabnya, karena jarah ini cukup disebut
satu saja, dan karena ada yang memberi nilai jarah, padahal bukan. Lantaran itu
perlu diterangkan sebab supaya teranglah bahwa sebab yang dikemukakan itu
memang suatu jarah, atau bukan.
Banyak orang yang
menjuluki Abu Hanifah dan ulama-ulama Kufah yang lain dengan Ash Habur Ra’yi,
yang maksudnya untuk meremehkan riwayat mereka. Ini adalah pengaruh ta’ashshub.
b. Kebalikan dari yang pertama.
Yaitu wajib diterangkan
sebab-sebab keadilan tidak wajib diterangkan cacat karena orang banyak
berpura-pura shalih, maka perlu diterangkan keadaan yang sebenarnya.
c. Harus diterangkan sebab jarah dan sebab
keadilan.
d. Tidak wajib diterangkan sebab-sebabnya.
Jika ada yang mencela
dan memuji, orang yang mengetahui benar benar sebab pencelaan dan sebab pujian
itu.
Ibnu Shalah dalam
Muqaddamahnya, berpegang kepada pendapat yang pertama, serta menerangkan bahwa
menurut Al Khatib, itulah madzhab imam-imam hadits, seperti Al-Bukhari dan
Muslim. Lantaran itu Al-Bukhari berhujjah dengan orang-orang yang lebih dahulu
sudah dicela oleh orang lain seperti ‘Ikrimah, Ismail ibn Abu Uwais, ‘Ashim ibn
Ali, dan Umar ibn Marzuq. Dan Muslim berhujjah dengan Suwid ibn Sa’id. Dan
golongan perawi yang dicela oleh yang lain. Demikian pula tindakan oleh Abu
Daud. Mereka semua tidak menerima jarah yang tidak diterangkan sebabnya.
Dan kalau kita menerima
perkataan: “si anu itu lemah, atau hadits ini dla’if” maka bukanlah kita
memegangi perkataan itu sebagai dasar hukum, tetapi perkataan yang semacam itu
menimbulkan keraguan yang kuat dalam hati ini yang mengharuskan kita tawaqquf.
6. Jumlah Kesaksian dalam Jarh atas Ta’dil
Ulama
sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Iraqy berbeda pendapat tentang bolehkah
kita kepada pendapat seorang saja, baik dalam bersyahadah (kesaksian), maupun
riwayat, berdasarkan beberapa pendapat:
a. Tidak diterima dalam men-ta’dilkan[8]
seorang baik dalam syahadah maupun dalam bidang riwayat, terkecuali
perkataan dua orang. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan
lain-lain.
b. Mencukupkan dengan seorang saja dalam
bidang syahadah dan riwayat. Ini pendapat yang dipilih Al-Qadhi
Abu Bakar al-Baqillany, karena tadzkiyah itu sama dengan membawa khabar.
c. Membedakan antara kesaksian dan riwayat.
Disyaratkan dua orang pada kesaksian dan cukup seorang pada periwayat.
Diriwayatkan
oleh Al-Imam Fakhruddin dan Al-Amidyseta dinukilkan dari kebanyakan ulama dan
dinukilkan pula oleh Abu Amr ibn Shalahdan dipilih pendapat itu oleh Al-
Khathib dan lain-lain, bahwa dalam bidang riwayat cukup seorang karena bilangan
tidak diperlukan dalam menerima khabar, maka tidak pula diperlukan dalam
mencacat perawi dan memujinya. Tadzkiyah itu diterima dari segala orang yang
adil demikian pula cacatnya.
7. Mendahulukan Jarh atas Ta’dil
Para
ulama sebagai yang diterangkan oleh Al ‘Iraqy berbeda pendapat tentang bolehkah
kita berpegang kepada pendapat seorang saja, baik dalam bersyahadah, maupun
riwayat, atas beberapa pendapat.
a. Tidak diterima dalam menta’dilkan
seseorang yang baik dalam syahadah maupun dalam bidang riwayat, terkecuali
perkataan dua orang. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqada Madinah dan lain-lain.
b. Mencukupkan dengan seorang saja dalam
bidang syahadah dan riwayat. Ini pendapat yang dipilih Al-Qadli Abu Bakar Al
Baqillay, karena tazkiyah itu sama dengan membawa khabar.
c. Membedakan antara kesaksian dan riwayat.
Disyaratkan dua orang pada kesaksian dan cukup seorang pada periwayat.
Diriwayatkan
oleh Al-Imam Fakhruddin dan Al Amidy serta dinukilkannya dari kebanyakan ulama
dan dinukilkan pula oleh Aabu Amer Ibnush Shalah dan dipilih pendapat itu oleh
Al Khathib dan lain-lain, bahwa dalam bidang riwayat cukup seorang saja karena
bilangan tidak diperlukan dalam menerima khabar, maka tidak pula diperlukan
dalam mencatat perawi dan memujinya. Tazkiyah itu diterima dari segala orang
yang adil, demikian pula cacatnya, baik dia lelaki maupun dia perempuan, merdeka
ataupun tidak.
D. Pertentangan
Jarh Wa Ta’dil
Apabila
bertentangan jarah dan ta’dil terhadap seorang perawi, maka pendapat yang
dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar Razy, AL Amidy dan lain-lain
adalah arah itu didahulukan atas ta’dil secara muthlaq walaupun yang
mengadilkan itu lebih banyak jumlahnya. Demikian pula dinukilkan oleh Al Khatib
dari jumur ulama. Didahulukan jarah atas ta’dil adalah karena orang-orang yang
mencacatnya mempunyai pengetahuan yang tidak dipunyai oleh yang mengendalikan
itu. Yang mencacat menerangkan sesuatu hal yang tersembunyi dari yang
mengendalikan.
Dihikayatkan
oleh Al Khathib dalam kitab Al Kifayah dan
oleh pengarang Al Mahsul bahwa jika bilangan yang memandang adil lebih
banyak, didahulukan ta’dil karena banyak jumlahnya menguatkan pendapat dan
mengharuskan kita menghargai pendapat mereka.
Kemudian
Al Khathib berkata: “ini suatu kesilapan dari orang yang berpendapat demikian,
karena orang-orang yang mengadilkan itu walaupun berjumlah banyak, mereka tidak
menolak apa-apa yang dikhabarkan oleh orang yang mencelanya.”
Al
iqrady dalam syarah Alfiyah dan As Sayuthy dalam kitab At Tadrib berkata: “jika
bertentangan jarh dan ta’dil, maka tiadalah menadi kuat salah satunya tanpa ada
yang menguatkan”. Menurut As Sayuthy pendapat yang lebih shahih ialah jarah itu
di dahulukan atas ta’dil jika diterangkan sebabnya, walaupun bilangan orang
yang mengadilkan lebih banyak.
Berkata
Al Khathi, “Apabila seorang alim mengatakan bahwa segala orang yang aku
riwayatkan haditsnya adalah kepercayaan, walaupun aku tidak menyebutkan
namanya”. Kemudian ia meriwayatkan dari orang yang tidak disebut namanya, maka
dapatlah ia menganggap bahwa orang adil itu memandang adil orang yang tidak
disebut namanya. Namun demikian kita tidak dapat beramal dengan tazkiyahnya dan
tidak cukup untuk memandang adil seseorang menurut pendapat yang shahih,
sebelum dia menyebut nama orang itu, karena walaupun orang yang tak disebut
namanya kepercayaan disisinya maka boleh jadi kalau disebut namanya adalah
orang yang majruh disisi orang lain. Dan jika yang mengatakan itu seorang
mujtahi, seperti Malik, Asy Syafi’iy maka cukuplah perkataannya itu terhadap
pengikut-pengikutnya, tidak terhadap orang lain. Dan inilah yang dipilih oleh
Imamul Haramain.
Riwayat
orang adil dari orang yang disebut namanya, tidaklah merupakan pengakuan bahwa
orang yang disebut namanya itu adil. Demikianlah pendapat kebanyakan ahli
hadits, karena boleh jadi orang adil itu meriwayatkan dari orang-orang yang
tidak adil. Karena, riwayatnya tidak merupakan perkataan adil terhadap orang
yang disebut namanya itu. Sebagian sahabat Asy Syafi’iy memandang yang demikian sebagai tanda,
pernyataan keadilan orang itu.
Apabila
seorang alim memberi fatwa sesuai dengan suatu hadits, maka tidaklah dipandang
bahwa orang alim itu memandang shahih hadits tersebut. Demikian pula apabila
fatwanya menyalahi hadits, tidaklah merupakan cacatnya terhadap hadits.
Walhasil, Ijma’ yang terjadi atas sesuatu hukum, tidaklah merupakan pernyataan
shahnya hadits yang sesuai dengan hukum itu, karena boleh jadi yang dipegang
adalah hadits yang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kita dapat
menyimpulkan bahwa Ilmu Jarh Wa Ta’dil merupakan Ilmu
yang membahas tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkannya.
Latar belakang terjadinya ilmu jarh wa
ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, sebagai usaha ahli hadits dalam
memilih dan menentukan hadits sahih dan dhaif.
Banyak
pembahasan mengenai Ilmu Jarh Wa Ta’dil diantaranya pembahasan mengenai macam-macam
kaidah jahr dan ta’dil, hukum mencela para perawi, tidak boleh mencela lebih
dari keperluan, syarat menerima penta’dilan dan pentajrihan, jarh dan ta’dil
yang diterima dan yang ditolak, jumlah kesaksian dalam jarh atas ta’dil,
mendahulukan jarh atas ta’dil, jumlah kesaksian dalam jarh atas ta’dil,
mendahulukan jarh atas ta’dil,
Pertentangan
jarh wa ta’dil terhadap seorang perawi, maka
menimbulkan pendapat yang dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar Razy, AL
Amidy dan lain-lain adalah arah itu didahulukan atas ta’dil secara muthlaq.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman M
dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2011.
Ali Fayyad,
Mahmud. Manhaj Al-Muhadditsiin Fii Dhabth As-Sunnah. Terj. A.Zarkasyi
Chumaidy. Banfung: Pustaka Setia,1998.
Hasbi
ash-Shiddieqy, Fuad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2002.
---------1999.
Rahman Fazlur,
et. Al. Wacana Studi Hadits Konteporer, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2002.
[1] ‘Abd Al-‘Aziz Muhammad
bin Ibrahim Al-Abd Al-Lathif, selanjutnya disebut Al-‘Abd Al-Lathif, Dhawabith
al-Jarh wa al-Ta’dil, (Madinah Munawwarah: al-Jami’ah al-Islamiyah, tth), h.10.
[2] Adib Shalih, Lamahat fi
Ushul al-Hadis, (Beirut: al-Maktab al-Islami: 1997)
[3] Al-‘Abd Al-Latif, op
cit., h.11.
[4] Muhammad Mahfudz bin
Abdullah At-Tarmasi, Manhaj Dzawin Nazhar, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi,
1955), h.9.
[5] Muhammad Ajjad Khatib,
op cit., h. 260.
[6] T.M Hasbi As-Shiddiqie,
Pokok-pokok Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. 2. H. 206,211
[7] Diringkas dari Endang
Soetari, op cit., h. 147-148
[8] Maksudnya memandang adil
terhadap seorang perawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar