Rabu, 19 Desember 2018

Makalah Ulumul Hadits: Jarh Wa Ta'dil

MAKALAH
ILMU JARH  WA  TA’DIL
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
ULUMUL HADITS
Dosen Pengampu :
Hisbulloh Hadziq, S.H.I,.M.Pd.I 


Disusun oleh :
Nama                                                       NIM
Retno Sulistiyani                                      931335515
Miftakhul Jannah                                     931335615
Eka Susanti                                              931335715
Fitrotun Najah                                          931335815

JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2015/2016


BAB I
PENDAHULUAN

A .Latar Belakang
     Salah satu objek penting lainnya dalam kajian ulumul Hadits adalah perbincangan mengenai Ilmu jarh wa ta’dil. Jarh atau Tajrih menurut bahasa berarti luka, sedangkan menurut istilah, Jarh ialah tersifatinya seorang Rawi dengan sifat-sifat tercela, seperti kadzdzab, su’al-hifzh, mukhtalath, ghair ma’mun, dan lain-lain sehingga tertolak periwayatannya.
     Pengertian Ta’dil menurut bahasa ialah lafal adil, sedangkan menurut istilah, Arti ta’dil adalah tersifatinya seorang perawi yang mengarah pada diterimanya periwayatannya.
     Latar belakang terjadinya ilmu jarh wa ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, sebagai usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits sahih dan dhaif. Menurut T.M. Hasbi As-Shiddiqie, sekurang-kurangnya ada tujuh periode perkembangan hadits.
     Pembahasan mengenai ilmu jarh wa ta’dil diantaranya dalah: macam-macam kaidah jahr dan ta’dil, hukum mencela para perawi, tidak boleh mencela lebih dari keperluan, syarat menerima penta’dilan dan pentajrihan, jarh dan ta’dil yang diterima dan yang ditolak, jumlah kesaksian dalam jarh atas ta’dil, mendahulukan jarh atas ta’dil, jumlah kesaksian dalam jarh atas ta’dil, mendahulukan jarh atas ta’dil.
     Pertentangan jarh wa ta’dil terhadap seorang perawi, maka menimbulkan pendapat yang dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar Razy, AL Amidy dan lain-lain adalah arah itu didahulukan atas ta’dil secara muthlaq walaupun yang mengadilkan itu lebih banyak jumlahnya.
     Demikianlah secara singkat latar belakang Ilmu Jarh Wa Ta’dil sebagai pelengkap uraian bab ini.

  


B. Rumusan Masalah
     Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
  1. Apakah pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil ?
  2. Bagaimana latar belakang terjadinya Ilmu Jarh Wa Ta’dil ?
  3. Bagaimana pembahasan mengenai Ilmu Jarh wa Ta’dil ?
  4. Bagaimana pertentangan Jarh wa Ta’dil ?

C. Tujuan Penulisan                                                                      
  1. Untuk memahami pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil.
  2. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya Ilmu Jarh Wa Ta’dil.
  3. Untuk mengetahui pembahasan mengenai Ilmu Jarh wa Ta’dil.
  4. Untuk mengetahui pembahasan mengenai pertentangan Jarh wa Ta’dil.

D. Manfaat Penulisan
     Manfaat disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil serta pembahasannya.











BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Jarh wa Ta’dil
1.  Jarh atau Tajrih menurut bahasa berarti luka atau melukai dapat juga diartikan sebagai aib. Al-Jarh adalah bekas luka pada tubuh dengan sebab terkena senjata tajam, sedangkan jika dibaca al-jurh berarti nama sebuah luka,[1] seperti luka kena pisau atau yang lainnya.
     Sedangkan menurut istilah, Jarh ialah tersifainya seorang Rawi dengan sifat-sifat tercela, seperti kadzdzab, su’al-hifzh, mukhtalath, ghair ma’mun, dan lain-lain sehingga tertolak periwayatannya. Adib Salih menyatakan sebagai berikut:
“Sifat yang ada pada rawi yang dengannya, riwayatnya ditolak dan tidak diterima.”[2]
     Ajaj Al-Khatib dalam karyanya Ushul al-Hadis, mendefinisikan jarh sebagai sifat lahiriah rawi yang keadilannya cacat, seperti lemah ingatan, sehingga riwayatnya jatuh atau tertolak dengan tajrih ini, rawi disifati dengan sifat yang mengarah pada kelemahan atau tidak diterima riwayatnya.[3]
2.  Pengertian Ta’dil menurut bahasa ialah lafal adil yang seakar dengan lafal ‘adalah yang apabila telah di muta’adil-kan atau ditransitifkan akan menjadi perkataan ta’dil. Sebelum perkataan ta’dil diterangkan secara harfiah, ada baiknya jika diterangkan terlebih dahulu pengertian adil itu secara umum.
     Adl menurut kitab Manhaj Dzawin Nazhar adalah sebagai berikut : “Orang yang memiliki ketetapan dalam takwa, yaitu dengan menjauhi semua perbuatan yang buruk, baik berupa kemusyrikan, kefasikan maupun bid’ah. Juga dikatan ‘adl jika mereka mampu menjauhi dosa-dosa kecil dan hina, namun ia bertetap dalam hal-hal yang berkaitan dengan muru’ah.[4]
     Sedangkan menurut istilah, Arti ta’dil adalah tersifatinya seorang perawi yang mengarah pada diterimanya periwayatannya. Orang yang dinilai adil ialah orang yang tidak cacat urusan agama dan muru’ahnya, sehingga kabar dan persaksiannya dapat diterima sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi.[5]
     Menurut keterangan tersebut, yang dinamakan adil adalah orang yang tidak ada ketercelaan pada dirinya, sehingga tidak ditolak riwayatnya atau pemberitaannya. Jadi, orang yang di-ta’dil atau yang dinilai adil adalah orang yang dirinya selamat dari segala celaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang rawi agar riwayatnya tidak ditolak. Seorang yang dinilai adil dalam periwayatan hadits, harus seorang Muslim, mukallaf, dhabith, tsiqah dan selamat dari kefasikan. Prof Hasbi Ash-Shiddiqie, dalam karyanya Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, mengemukakan definisi jarh wa ta’dil sebagai berikut : “Zhahirnya ‘aib sehingga riwayatnya tertolak (dan) ta’dil didapat ketika keadilan dan ke-dhabith-annya diketahui.”[6]
     Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ‘Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkannya”.

B.  Latar Belakang Terjadinya Ilmu Jarh Wa Ta’dil
Pertumbuhan Ilmu jarh wa ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, ini adalah sebagai usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits sahih dan dhaif. Walaupun jarh dan ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, alangkah baiknya jika dikemukakan terlebih dahulu masa perkembangan hadits semenjak zaman Rasulullah sampai masa pensyarahan (penafsiran) kitab-kitab hadits.
Menurut T.M. Hasbi As-Shiddiqie, sekurang-kurangnya ada tujuh periode perkembangan hadits, yaitu :
1.    Masa Turun Wahyu
Masa ini selama 23 tahun, yaitu tahun kedelapan sebelum Hijriah sampai tahun kesebelas Hijriah. Masa ini masa pembentukan Tasyri Islami (hukum Islam) dimana Rasulullah sebagai penyampai dan para sahabat sebagai penerima risalah yaitu sejak awal kenabian sampai beliau wafat.
2.    Masa Khukafaur Rasyidin
Lamanya 29 tahun, yaitu tahun kesebelas Hijriah sampai tahun empat puluh hijriah. Masa ini terkenal dengan masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.
3.    Masa Perkembangan Riwayat dan Perlawanan ke Kota-kota Untuk Memberi Hadits.
Masa ini lamanya 60 tahun, yaitu mulai tahun empat puluh Hijriah sampai tahun seratus Hijriah.
4.    Masa Pembukuan Hadits
Masa ini dimulai dari permulaan abad kedua Hijriah sampai akhirnya, lamanya kurang lebih seratus tahun.
5.    Masa Pen-tashihan Hadits
Menyaringnya dan menafsirnya yaitu mulai sejak abad ketiga Hijriah sampai akhirnya, kurang lebih seratus tahun lamanya.
6.    Masa Menafis dan Menyaring Kitab-Kitab Hadits
Lamanya kira-kira tiga setengah abad, yaitu mulai abad keempat sampai tahun 656 Hijriah.
7.    Masa Membuat Syarah dan Menyusun Kitab-Kitab Takhri.
Masa ini adalah dimana masa mengumpulkan hadits hukum dan menyusunnya dalam kitab-kitab jami’ sejak tahun 656 Hijriah smapai sekarang.





C.  Pembahasan Mengenai Ilmu Jarh Wa Ta’dil
1.  Macam-Macam Kaidah Jahr dan Ta’dil
     Kaidah-kaidah jahr dan ta’dil ada 2 macam :
a.       Pertama, kepada cara-cara perawinya hadits, sahnya periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan kepada  mereka. Disebut pula naqdun kharijjun, yaitu kritik yang datang dari luar hadits atau kritik ekstrensik ( kritik yang tidak mengenai isi hadist).
Dalam masalah proses penerimaan dan penyampaian periwayatan hadits, akan menjadi parameter diterima atau tidaknya suatu hadits.
·         Perawi mendengar langsung dari gurunya, (murid bertemu langsung dengan gurunya).
Diantara lafal-lafal yang menunjuk pada pertemuan itu ialah:
1.)      سَمِعْتُ, سَمِعْنَا
(Saya mendengar, kami mendengar)
2.)      حَدَّ ثَنِي, حَدَّ ثَنَا
(Seseorang telah bercerita kepadaku/ kami)
3.)       أَخْبَرَنِي,أَخْبَرَنَا
(Seseorang telah mengabarkan kepadaku/kami)
4.)      أنْبَأنَا
(Seseorang telah memberi tahukan kepada kami)
5.)      قللِي(لنا)فُلاَنٌ
(Seseorang telah berkata padaku/ kami)

6.)      ذَكَرَلِي(لن)فلان
(Seseorang telah menuturkan padaku/ kami)
7.)      قال حدثني, قال حدثنا
(Dia berkata telah bercerita kepadaku/ kami)
·         Rawi yang belum diketahui secara pasti tentang bertemu tidaknya dengan gurunya, apakah ia mendengar lagsung atau tidak. Adapun lafal-lafal yang menunjuk pada arti ini adalah:
روي = diriwayatkan oleh,
حكي = dihikayatkan oleh,
عن   = dari,
أن    = bahwasannya,
Adapun sebagai catatan, bahwa hadits yang diriwayatkan dengan sighat tamridh (yaitu bentuk penilaian yang ambigu) ini tidak bisa dipastikan bahwa Nabi Saw, atau guru benar-benar bersabda tentang hal itu, kecuali jika ada qarinah lain.[7]
b.    Kedua, berpautan dengan hadits sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak ada jalan-jalan keshahihannya dan ketiadaan keshahihannya dinamakan naqdun dakhiliyun, yaitu kritik dari dalam hadits atau kritik intrensik.
Tiadalah diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang benar-benar cacat. Ibnu Hajr dalam muqaddamah Fat-hal-bari berkata, “Tiadalah diterima pencacatan terhadap seseorang terkecuali terdapat sesuatu yang terang mencacatkan, karena sebab-sebab mencacatkan seseorang berbeda-beda. Dan semuanya berkisar di sekitar lima hal, yaitu bid’ah, menyalahi orang lain, kesilapan, tidak diketahui si perawi, ada tuduhan bahwa sanadnya munqathi (bahwa perawi itu mentadlis atau mengirsal).

2.   Hukum Mencela Para Perawi
Mencacat para perawi termasuk dalam jenis celaan yang dibolehkan apabila jelas ada suatu kemuslihatan. Al-Ghazzaly dalam ihya’ Ulum ad-din dan An-Nawawy dalam riyadh ash-Shalihin dan lai-lain berpendapat, mencela keadaan seseorang baik dia masih hidup ataupun sesudah dia meninggal dibolehkan apabila karena ada sesuatu kepentingan agama.
Ada enam sebab yang membolehkan mencela seseorang yaitu :
a.       Karena teraniaya, boleh bagi yanag teraniaya mengatakan kepada hakim bahwa dia telah dizalimi oleh seseorang.
b.      Meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran. Seseorang boleh mengatakan dengan penguasa atau kepada pihak yang dapat menghilangkan kemungkaran seseorang yang telah berbuat suatu kemungkaran untuk menegurnya.
c.       Untuk meminta fatwa. Maka seorang mustafti boleh mengatakan kepada mufti (umpamanya) bahwa seseorang yang telah berbuat zalim kepada dirinya dan memohon nasehat tentang upaya untuk melepaskan diri dari kezaliman itu.
d.      Untuk menghindarkan diri dari kejahatan. Termasuk kedalam hal ini, mencela diri saksi (menyebut cacatan-cacatan pada diri saksi) dihadapan hakim, demikian pula pada perawi hadist yang memang harus dicela. Tindakan  ini, boleh hukumnya dengan ijma’ segala ulama, bahkan wajib.
e.       Orang yang dicacat itu adalah orang yang terang-terang berbuat bid’ah. Maka boleh disebut secara terang-terang bid’ah yang dianut dan maksiyat yang dilakukan.
f.       Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya. Apabila seseorang dikenal dengan sesuatu sifat yang menunjuk kepada suatu aib seperti si tuli, si pincang maka kita boleh mengatakan, “... si A yang pincang...” dengan maksud  menerangkan keadaan orang yang sebenarnya dikehendaki, bukan dengan maksud menjelekkan-nya.

3.    Tidak Boleh Mencela Lebih Dari Keperluan
Mencela seseorang merupakan suatu perbuatan yang sukar dan terkadang menimbulkan kerenggangan batin antara manusia dan dibolehkan karena sesuatu darurat yang diperbolehkan syara’, maka para ulama menetapkan bahwa mencela lebih dari kadar keperluan tidak dibolehkan, dan tidak boleh kita sebut cacat-cacat yang disebutkan oleh seorang ulama, jika orang yang dicela itu dipuji oleh orang lain. Dan tidak boleh kita mencela pribadi-pribadi ulama yang tidak ada sangkut pautnya dengan periwayatan hadits.
Adz Dzahabi dalam kitab Mizanul I’tidal berkata: “Saya tidak menyebutkan dalam kitab ini para perawi yang nyata-nyata lemah, karena pegangan kita sekarang bukan lagi para perawi yang menjadi sanad antara kita dengan tokoh-tokoh hadits yang dikenal keahlian mereka dan kebenaran mereka dalam menyebut nama-nama orang yang sebelum mereka.
Maka celaan-celaan itu dilakukan terhadap orang-orang yang menjadi rentetan antara Nabi dengan pendewaan hadits, bukan rentetan antara pendewaan hadits dengan kita. Dahulu hadits berpindah secara lisan maka perlu diadakan penta’dilan dan pentajrihan untuk mengetahui mana hadits yang diterima dan mana hadits yang ditolak. Sekarang ini kita hanya berpegang pada kitab-kitab yang mendewakan hadits sehingga kita tidak perlu benar-benar meneliti siapa perawi-perawi antara kita dengan kitab itu. Yang perlu hanyalah sekedar dari kitab yang disebutkan dan cukuplah sudah kalau  dia seorang yang tidak terang-terang berbuat ma’shiyat dan sesuatu yang merusakkan muruahnya.

4.    Syarat Menerima Penta’dilan dan Pentajrihan
Disyaratkan kepada Mu’addil dan para Jarih, harus berilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’ashshub dan mengetahui sebab-sebab jarah dan ta’dil. Orang yang tidak demikian keadaannya, tidaklah dapat diterima tazkiyah dan jarahnya.
Dalam kitab Thawatihurahmut syarah Musallamuts diterangkan bahawa Muzakki (orang yang menyatakan keadilan seseorang) harus seorang yang adil lagi mengethaui sebab-sebab jarah dan ta’dil, insyaf lagi jujur, bukan Muta’ashshib (‘ujub kepada diri sendiri) Orang yang Muta’ashshib tidak dengan perkataannya.

5.    Jarh dan Ta’dil yang Diterima dan yang Ditolak
Para ulama berbeda pendapat tentang penerimaan jarah dan ta’dil yang mubham (tidak diterangkan sebab) yaitu :
a.    Diterima ta’dil yang tidak disebut sebab.
Karena sebab ta’dil banyak, maka tidak perlu disebut satu per satu. Mengenai jarah tidak dapat diterima, kecuali yang diterangkan sebabnya, karena jarah ini cukup disebut satu saja, dan karena ada yang memberi nilai jarah, padahal bukan. Lantaran itu perlu diterangkan sebab supaya teranglah bahwa sebab yang dikemukakan itu memang suatu jarah, atau bukan.
Banyak orang yang menjuluki Abu Hanifah dan ulama-ulama Kufah yang lain dengan Ash Habur Ra’yi, yang maksudnya untuk meremehkan riwayat mereka. Ini adalah pengaruh ta’ashshub.
b.    Kebalikan dari yang pertama.
Yaitu wajib diterangkan sebab-sebab keadilan tidak wajib diterangkan cacat karena orang banyak berpura-pura shalih, maka perlu diterangkan keadaan yang sebenarnya.
c.    Harus diterangkan sebab jarah dan sebab keadilan.
d.   Tidak wajib diterangkan sebab-sebabnya.
Jika ada yang mencela dan memuji, orang yang mengetahui benar benar sebab pencelaan dan sebab pujian itu.
Ibnu Shalah dalam Muqaddamahnya, berpegang kepada pendapat yang pertama, serta menerangkan bahwa menurut Al Khatib, itulah madzhab imam-imam hadits, seperti Al-Bukhari dan Muslim. Lantaran itu Al-Bukhari berhujjah dengan orang-orang yang lebih dahulu sudah dicela oleh orang lain seperti ‘Ikrimah, Ismail ibn Abu Uwais, ‘Ashim ibn Ali, dan Umar ibn Marzuq. Dan Muslim berhujjah dengan Suwid ibn Sa’id. Dan golongan perawi yang dicela oleh yang lain. Demikian pula tindakan oleh Abu Daud. Mereka semua tidak menerima jarah yang tidak diterangkan sebabnya.
Dan kalau kita menerima perkataan: “si anu itu lemah, atau hadits ini dla’if” maka bukanlah kita memegangi perkataan itu sebagai dasar hukum, tetapi perkataan yang semacam itu menimbulkan keraguan yang kuat dalam hati ini yang mengharuskan kita tawaqquf.

6.    Jumlah Kesaksian dalam Jarh atas Ta’dil
Ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Iraqy berbeda pendapat tentang bolehkah kita kepada pendapat seorang saja, baik dalam bersyahadah (kesaksian), maupun riwayat, berdasarkan beberapa pendapat:
a.    Tidak diterima dalam men-ta’dilkan[8] seorang baik dalam syahadah maupun dalam bidang riwayat, terkecuali perkataan dua orang. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lain-lain.
b.    Mencukupkan dengan seorang saja dalam bidang syahadah dan riwayat. Ini pendapat yang dipilih Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillany, karena tadzkiyah itu sama dengan membawa khabar.
c.    Membedakan antara kesaksian dan riwayat. Disyaratkan dua orang pada kesaksian dan cukup seorang pada periwayat.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Fakhruddin dan Al-Amidyseta dinukilkan dari kebanyakan ulama dan dinukilkan pula oleh Abu Amr ibn Shalahdan dipilih pendapat itu oleh Al- Khathib dan lain-lain, bahwa dalam bidang riwayat cukup seorang karena bilangan tidak diperlukan dalam menerima khabar, maka tidak pula diperlukan dalam mencacat perawi dan memujinya. Tadzkiyah itu diterima dari segala orang yang adil demikian pula cacatnya.

7.    Mendahulukan Jarh atas Ta’dil
Para ulama sebagai yang diterangkan oleh Al ‘Iraqy berbeda pendapat tentang bolehkah kita berpegang kepada pendapat seorang saja, baik dalam bersyahadah, maupun riwayat, atas beberapa pendapat.
a.    Tidak diterima dalam menta’dilkan seseorang yang baik dalam syahadah maupun dalam bidang riwayat, terkecuali perkataan dua orang. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqada Madinah dan lain-lain.
b.    Mencukupkan dengan seorang saja dalam bidang syahadah dan riwayat. Ini pendapat yang dipilih Al-Qadli Abu Bakar Al Baqillay, karena tazkiyah itu sama dengan membawa khabar.
c.    Membedakan antara kesaksian dan riwayat. Disyaratkan dua orang pada kesaksian dan cukup seorang pada periwayat.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Fakhruddin dan Al Amidy serta dinukilkannya dari kebanyakan ulama dan dinukilkan pula oleh Aabu Amer Ibnush Shalah dan dipilih pendapat itu oleh Al Khathib dan lain-lain, bahwa dalam bidang riwayat cukup seorang saja karena bilangan tidak diperlukan dalam menerima khabar, maka tidak pula diperlukan dalam mencatat perawi dan memujinya. Tazkiyah itu diterima dari segala orang yang adil, demikian pula cacatnya, baik dia lelaki maupun dia perempuan, merdeka ataupun tidak.

D.  Pertentangan Jarh Wa Ta’dil
Apabila bertentangan jarah dan ta’dil terhadap seorang perawi, maka pendapat yang dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar Razy, AL Amidy dan lain-lain adalah arah itu didahulukan atas ta’dil secara muthlaq walaupun yang mengadilkan itu lebih banyak jumlahnya. Demikian pula dinukilkan oleh Al Khatib dari jumur ulama. Didahulukan jarah atas ta’dil adalah karena orang-orang yang mencacatnya mempunyai pengetahuan yang tidak dipunyai oleh yang mengendalikan itu. Yang mencacat menerangkan sesuatu hal yang tersembunyi dari yang mengendalikan.
Dihikayatkan oleh Al Khathib dalam kitab Al Kifayah dan  oleh pengarang Al Mahsul bahwa jika bilangan yang memandang adil lebih banyak, didahulukan ta’dil karena banyak jumlahnya menguatkan pendapat dan mengharuskan kita menghargai pendapat mereka.
Kemudian Al Khathib berkata: “ini suatu kesilapan dari orang yang berpendapat demikian, karena orang-orang yang mengadilkan itu walaupun berjumlah banyak, mereka tidak menolak apa-apa yang dikhabarkan oleh orang yang mencelanya.”
Al iqrady dalam syarah Alfiyah dan As Sayuthy dalam kitab At Tadrib berkata: “jika bertentangan jarh dan ta’dil, maka tiadalah menadi kuat salah satunya tanpa ada yang menguatkan”. Menurut As Sayuthy pendapat yang lebih shahih ialah jarah itu di dahulukan atas ta’dil jika diterangkan sebabnya, walaupun bilangan orang yang mengadilkan lebih banyak.
Berkata Al Khathi, “Apabila seorang alim mengatakan bahwa segala orang yang aku riwayatkan haditsnya adalah kepercayaan, walaupun aku tidak menyebutkan namanya”. Kemudian ia meriwayatkan dari orang yang tidak disebut namanya, maka dapatlah ia menganggap bahwa orang adil itu memandang adil orang yang tidak disebut namanya. Namun demikian kita tidak dapat beramal dengan tazkiyahnya dan tidak cukup untuk memandang adil seseorang menurut pendapat yang shahih, sebelum dia menyebut nama orang itu, karena walaupun orang yang tak disebut namanya kepercayaan disisinya maka boleh jadi kalau disebut namanya adalah orang yang majruh disisi orang lain. Dan jika yang mengatakan itu seorang mujtahi, seperti Malik, Asy Syafi’iy maka cukuplah perkataannya itu terhadap pengikut-pengikutnya, tidak terhadap orang lain. Dan inilah yang dipilih oleh Imamul Haramain.
Riwayat orang adil dari orang yang disebut namanya, tidaklah merupakan pengakuan bahwa orang yang disebut namanya itu adil. Demikianlah pendapat kebanyakan ahli hadits, karena boleh jadi orang adil itu meriwayatkan dari orang-orang yang tidak adil. Karena, riwayatnya tidak merupakan perkataan adil terhadap orang yang disebut namanya itu. Sebagian sahabat Asy Syafi’iy  memandang yang demikian sebagai tanda, pernyataan keadilan orang itu.
Apabila seorang alim memberi fatwa sesuai dengan suatu hadits, maka tidaklah dipandang bahwa orang alim itu memandang shahih hadits tersebut. Demikian pula apabila fatwanya menyalahi hadits, tidaklah merupakan cacatnya terhadap hadits. Walhasil, Ijma’ yang terjadi atas sesuatu hukum, tidaklah merupakan pernyataan shahnya hadits yang sesuai dengan hukum itu, karena boleh jadi yang dipegang adalah hadits yang lain.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
     Dari pembahasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa Ilmu Jarh Wa Ta’dil merupakan Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkannya.
     Latar belakang terjadinya ilmu jarh wa ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, sebagai usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits sahih dan dhaif.
     Banyak pembahasan mengenai Ilmu Jarh Wa Ta’dil diantaranya pembahasan mengenai macam-macam kaidah jahr dan ta’dil, hukum mencela para perawi, tidak boleh mencela lebih dari keperluan, syarat menerima penta’dilan dan pentajrihan, jarh dan ta’dil yang diterima dan yang ditolak, jumlah kesaksian dalam jarh atas ta’dil, mendahulukan jarh atas ta’dil, jumlah kesaksian dalam jarh atas ta’dil, mendahulukan jarh atas ta’dil,
     Pertentangan jarh wa ta’dil terhadap seorang perawi, maka menimbulkan pendapat yang dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar Razy, AL Amidy dan lain-lain adalah arah itu didahulukan atas ta’dil secara muthlaq.













DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman M dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Ali Fayyad, Mahmud. Manhaj Al-Muhadditsiin Fii Dhabth As-Sunnah. Terj. A.Zarkasyi Chumaidy. Banfung: Pustaka Setia,1998.
Hasbi ash-Shiddieqy, Fuad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
---------1999.
Rahman Fazlur, et. Al. Wacana Studi Hadits Konteporer, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.






[1] ‘Abd Al-‘Aziz Muhammad bin Ibrahim Al-Abd Al-Lathif, selanjutnya disebut Al-‘Abd Al-Lathif, Dhawabith al-Jarh wa al-Ta’dil, (Madinah Munawwarah: al-Jami’ah al-Islamiyah, tth), h.10.
[2] Adib Shalih, Lamahat fi Ushul al-Hadis, (Beirut: al-Maktab al-Islami: 1997)
[3] Al-‘Abd Al-Latif, op cit., h.11.
[4] Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasi, Manhaj Dzawin Nazhar, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1955), h.9.
[5] Muhammad Ajjad Khatib, op cit., h. 260.
[6] T.M Hasbi As-Shiddiqie, Pokok-pokok Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. 2. H. 206,211
[7] Diringkas dari Endang Soetari, op cit., h. 147-148
[8] Maksudnya memandang adil terhadap seorang perawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Kewirausahaan: Transformasi, Inovasi dan Kreativitas Kewirausahaan

RESUME TRANSFORMASI KEWIRAUSAHAAN, TEORI INOVASI DAN KREATIVITAS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: KEWIRAUSAHAAN Dosen Peng...