Rabu, 19 Desember 2018

Filsafat Ilmu: Landasan Epistimologi Ekonomi

TUGAS ARTIKEL
LANDASAN EPISTEMOLOGI ILMU EKONOMI
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
FILSAFAT ILMU
Dosen Pengampu :
Nuril Hidayati, M. Hum



Disusun oleh :
Nama                                                          NIM
Retno Sulistiyani                                             931335515



JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI

2016

Metode Ilmiah sebagai Landasan Epistemologi Ilmu

Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana cara dan sarana apakah yang kita butuhkan agar dapat memperoleh pengetahuan. Dalam perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari kebenaran melalui penelitian-penelitian ilmiah yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya. Karena kita dapat menganggap diri kita mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan dengan landasan epistemologi. Sebelum berbicara mengenai landasan epistemologi, alangkah baiknya kita mengenal dulu apa yang di maksud dengan epistemologi?
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilahtheory of knowledge. Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan lain sebagainya. Jadi, epistemologi (filsafat ilmu) dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa secara langsung berhubungan secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia
Namun ada beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi dari pada epistemologi adalah:
1)        P. Hardono Hadi. Menurut beliau epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
2)        D.W Hamlyin, beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat  dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaian serta secara umum.
3)        Runes dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, stukture, methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferrier pada tahun 1854 (Runes, 1971-1994).
Landasan dari epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan dengan benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metode ilmiah telah dijadikan pedoman dalam menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmu. Menurut Burhanudin Salam, metode ilmiah dapat dideskripsikan dalam langkah-langkah sebagai berikut:
1)      Penemuan atau Penentuan Masalah
Disini secara sadar kita menetapkan masalah yang akan kita telaah dengan ruang lingkup dan batas-batasnya.
2)      Perumusan Kerangka Masalah
Merupakan usaha untuk mendeskripsikan masalah dengan jelas dengan mengidentifikasikan faktor-faktor yang membentuk suatu masalah tersebut.
3)       Pengajuan Hipotesis
Merupakan usaha kita untuk memberikan penjelasan sementara mengenai hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor yang membentuk kerangka masalah tersebut.
4)      Hipotesis dari Deduksi
Hipotesis dari deduksi merupakan langkah perantara dalam usaha kita untuk menguji hipotesis yang diajukan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa deduksi hipotesis merupakan identifikasi fakta-fakta apa saja yang dapat kita lihat dalam dunia fisik yang nyata, dalam hubungannya dengan hipotesis yang kita ajukan.
5)      Pembuktian Hipotesis
Usaha untuk mengumpulkan fakta-fakta dari  suatu permasalahan. Kalau fakta-fakta tersebut memang ada, maka dinyatakan bahwa hipotesis itu telah terbukti, apabila didukung oleh fakta-fakta yang nyata. Jika dalam hipotesis itu tidak terbukti maka hipotesis itu ditolak kebenarannya dan kita kembali mengajukan hipotesis yang lain, sampai kita menemukan hipotesis tertentu yang didukung oleh fakta.
6)      Penerimaan Hipotesis
Penerimaan hipotesis menjadi teori ilmiah yang telah terbukti kebenarannya dan dianggap sebagai pengetahuan baru. Atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai suatu penjelasan teoritis mengenai suatu gejala tertentu.
Metode ilmiah berperan dalam proses transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan  sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio ini telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban atas suatu masalah pengetahuan. Bahkan ini merupakan cara tertua yang digunakan manusia dalam wilayah keilmuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional dengan pegertian lain disebut dengan metode deduktif yang dikenal dengan silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles.
Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif (baik menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif). Pendekatan rasiaonal selalu mendayagunakan pemikiran dalam menafsirkan suatu objek berdasarkan argumentasi-argumentasi yang logis. Jika kita berpedoman bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang memilki kerangka berpikir yang paling meyakinkan, maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan persoalan, sebab kriteria penilainya bersifata nisbi (relatif) dan selalu subjektif. Kesimpulan yang benar menurut alur pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan. Misalnya seseorang yang menguasai teori-teori ekonomi belum tentu mampu menghasilkan keuntungan yang besar, ketika dia mempraktekan teori-teorinya. Padahal teori-teori itu dibangun menurut alur pemikiran yang benar.
Seperti halnya pada landasan epistemologi filsafat dapat diperoleh melalui cara yang pertama yaitu filosof harus membicarakan (mempertanggungjawabkan) tentang bagaimana cara mereka memperoleh pengtahuan filsafat. Sifat itu sering kurang di pedulikan kebanyakan  orang  karena pada umumnya orang mementingkan apa yang di peroleh atau di ketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya. Karena pada dasarnya berfilsafat ialah berpikir, dan berpikir itu tentu menggunakan akal. Dan yang menjadi persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba  sistematika filsafat, II,1973: 111) mempersoalkan hal ini, ia melihat pada jamannya akal telah di gunakan secara terlalu bebas, bahkan sampai luar batas kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada massa itu.
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat? dengan berpikir secara mendalam, sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek pemikiranya sesuatu yang konkret, tetapi yang hendak di ketahui adalah bagian di“belakang” objek konkret itu. Berpikir secara mendalam artinya ia hendak mengetahui sedalam-dalamnya bagian yang abstrak itu. Kapan pengtahuan itu di katakana mendalam? Pengetahuan dikatakan mendalam tatakala ia sudah berhenti sampai tanda Tanya. Dia tidak dapat maju di situlah orang berhenti, dan ia telah mengetahui sesuatu itu secara mendalam. Jadi jelas mendalam bagi seseorang belum tentu mendalam bagi orang lain.
Sain mengetahui sebatas fakta empiris (berdasarkan pengamatan) ini tidak mendalam tetapi itu pun mempunyai rentangan, sejauh mana hal abstrak di belakang fakta  empiris itu dapat di ketahui oleh seseorang, akan banyak terganntung pada kemampuan berpikir seseorang. Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empiris, maka akal yang harus kita gunakan. Apapun kelemahan akal bahkan sekali pun amat di ragukan hakikat keberadaannya, akal yang menghasilkan apa yang di sebut filsafat. Ada satu hal yang penting di sini: janganlah hidup ini di gantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini di tentukan seluruhnya oleh filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum di ketahui secara jelas identitasnya.
Karena kelemahan rasionalisme atau metode deduktif inilah, Bacon yakin dan mampu membuat kesimpulan umum yang lebih benar, bila kita mau mengumpulkan fakta melalui pengamatan langsung, maka dia mengenalkan metode induktif sebagi lawan dari metode deduktif. Sebagi implikasi dari metode induktif, tentunya Bacon menolak segala macam kesimpulan yang tidak didasarkan fakta lapangan dan hasil pengamatan.





DAFTAR PUSTAKA
Qomar Mujammil, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga 2005.
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Tafsir Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Kewirausahaan: Transformasi, Inovasi dan Kreativitas Kewirausahaan

RESUME TRANSFORMASI KEWIRAUSAHAAN, TEORI INOVASI DAN KREATIVITAS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: KEWIRAUSAHAAN Dosen Peng...