MAKALAH
TAS’IR DAN IKHTIKAR
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah:
FIQH MU’AMALAH 2
Dosen
Pengampu:
Faridatul Fitriyah, M. Sy

Disusun
oleh :
Retno
Sulistiyani 931335515
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perekonomian merupakan bagian yang
sangat penting untuk kelangsungan utuhnya sebuah negara. Perekonomian negara yang kokoh akan mampu menjamin kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Salah satu penunjang perekonomian negara adalah kesehatan pasar, baik pasar
barang jasa, pasar uang, maupun pasar tenaga kerja. Kesehatan pasar, sangat
tergantung pada makanisme pasar yang mampu menciptakan tingkat harga yang
seimbang, yakni tingkat harga yang dihasilkan oleh interaksi antara kekuatan
permintaan dan penawaran yang sehat. Apabila kondisi ini dalam keadaan wajar dan normal (tanpa ada pelanggaran), monopoli misalnya? maka harga akan
stabil, namun apabila terjadi persaingan yang tidak jujur, maka keseimbangan
harga akan terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat secara umum.
Dalam agama Islam kita memang di
halalkan dan di suruh untuk mencari rezki melalui berbagai macam usaha seperti
bertani, berburu atau melakukan perdagangan atau jual beli. Namun tentu saja
kita sebagai orang yang beriman diwajibkan menjalankan usaha perdagangan secara
Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus menurut Alquran dan Sunnah, ada
aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di
bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan
akhirat. Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai macam syarat dan
rukun yang harus dipenuhi oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual
beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi apa yang telah di
syariatkan tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan
berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di
akhirat.
Selain harus mengetahui bagaimana
jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut hukum islam, kita juga dituntut
untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar kita tidak terjerumus
kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian dan pembahasan dalam tas’ir?
2.
Bagaimana pengertian dan pembahasan dalam ikhtikar?
3.
Bagaimana kewenangan pemerintah terhadap tas’ir dan ikhtikar?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui bagaimana pengertian dan pembahasan dalam tas’ir.
2.
Untuk mengetahui bagaimana pengertian dan pembahasan dalam
ikhtikar.
3.
Untuk mengetahui bagaimana peran kewenangan pemerintah terhadap
tas’ir dan ikhtikar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tas’ir
Pengertian
Tas’ir
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang
artinya menyalakan. Lalu dibentuk menjadi kata as-si'ru dan jamaknya as'ar
yang artinya harga (sesuatu). Kata as-si'ru ini digunakan di pasar untuk
menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api,
seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu. Dan para ulama merumuskan
definisi Tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang imam (penguasa), wakilnya atau
setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan kepada para pelaku
pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu, mereka
dilarang untuk menambah harganya hingga harga tidak membumbung atau mengurangi
harganya hingga tidak memukul selain mereka. Jadi, mereka dilarang untuk
menambah atau mengurangi dari harga yang dipatok demi kemaslahatan masyarakat.
Menurut Imam Taqiyuddin
An-Nabhani:
Tas'ir adalah
perintah para penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan
kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan
mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah atas harga
itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga itu agar
mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka dilarang memambah atau
mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyarakat.
Sayyid
Sabiq menjelaskan bahwa Tas'ir berarti menetapkan harga tertentu untuk barang
dagangan yang dijual selama tidak ada kezaliman penguasa dan tidak pula
kezaliman terhadap pembeli. Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa tas'ir dengan
keadaan yang mewajibkan para pedagang untuk menjual dan membeli dengan harga
pasaran. Seperti yang dikemukakan bahwa keadaan yang mewajibkan pedagang untuk
menjual barang dagangannya dengan harga mistli (harga pasar).[1]
Menurut
Fathi ad-Duraini guru besar Fikih Universitas Damaskus, ketetapan pemerintah itu
tidak hanya terhadap komoditi yang digunakan dan diperlukan masyarakat, tetapi
juga terhadap manfaat dan jasa pekerja yang diperlukan masyarakat. Misalnya,
apabila sewa rumah naik dengan tiba-tiba dari harga biasanya atau harga semen
naik secara tidak wajar.[2]
Sesuai
dengan kandungan definisi-definisi diatas, para ulama fikih sepakat menyatakan
bahwa yang berhak untuk menentukan dan menetapkan harga itu adalah pihak
pemerintah setelah mendiskusikannya dengan pakar-pakar ekonomi. Dalam
menetapkan harga itu pemerintah harus mempertimbangkan kemaslahatan para
pedagang dan para konsumen. Dengan demikian, menurut ad-Duraini apapun bentuk
komoditi dan keperluan warga suatu negara untuk kemaslahatan mereka pihak
pemerintah berhak atau bahkan harus menentukan harga yang logis sehingga pihak
produsen dan konsumen tidak dirugikan.[3]
Dengan
demikian tas'ir, penetapan harga oleh pemerintah kepada para pelaku pasar agar
tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu. Jadi, mereka dilarang
untuk menambah atau mengurangi harga yang dipatok demi kemaslahatan masyarakat.
Artinya, negara melakukan intervensi (campur tangan) dengan menetapkan harga
tertentu atas suatu komuditas dan setiap orang dilarang menjual lebih atau
kurang dari harga yang ditetapkan itu demi mempertimbangkan kemaslahatan
masyarakat.
Perdebatan
Akademik Seputar Tas'ir
Para
ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini tidak
dijumpai dalam Al-Qur'an. Ketentuan yang berkaitan dengan Tas'ir Al-Jabari
terdapat dalam hadis Rasulullah Saw, seperti yang diriwayatkan dari Anas Ibn
Malik:
“Dari
Anas Ibn Malik ia berkata: "Pada zaman Rasulullah Saw. Terjadi pelonjakan
harga di pasar, lalu sekelompok orang menghadap kepada Rasulullah Saw. seraya
berkata: ya Rasulullah, harga-harga di pasar kian melonjak begitu tinggi,
tolonglah tetapkan harga itu. Rasulullah Saw., menjawab: sesungguhnya Allah-lah
yang (berhak) menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki.
Saya berharap akan bertemu dengan Allah dan jangan seseorang di antara kalian
menuntut saya untuk berlaku zalim dalam so'al harta dan nyawa".
Para
ulama berbeda pendapat mengenai masalah hukum tas'ir. Jumhur ulama' dari Ulama
Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah, seperti Ibnu Qudamah, ulama Muta'akkhirin
seperti Imam Syaukani dan Imam An-Nabhani mengharamkan secara mutlak penetapan
harga oleh pemerintah (Tas'ir) mereka mendasar pada Q.S An-Nisa (4: 29)
يَآاَيُّهَا
الَّذِينَءَامَنُواْلاَتَأْكُلُوآأَموَالَكُم بَينَكُم بِاْلْبَاطِلِ إِلَّآأَن
تضكُونَ تِجَارَ ةً عَن تَرَضٍ مِّنكُم وَلاَ تَقتُلثوآأَنفُسَكُم إِنَّ اللهَ
كَانَ بِكُم رَحِيمَا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaanyang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah maha penyayang kepadamu.”
Menurut jumhur ulama, tas'ir bertentangan dengan nash-nash yang terdapat
dalam Al-Qur'an dan Hadis. Sebab, tas'ir bermakna pemaksaan atas penjual atau
pembeli untuk berjual-beli dengan harga tertentu. Ini melanggar kepemilikan
seseorang karena kepemilikan itu bermakna memiliki kekuasaan atas harta
miliknya. Karena itu, ia berhak menjual dengan harga yang ia sukai. Pematokan
harga tertentu akan menghalangi atau merampas sebagai kekuasaan seseorang atas
hartanya. Sesuai keterangan nash diatas, maka hal itu tidak boleh terjadi.
Maqasid Larangan Tas’ir
Rasulullah
menjelaskan tas’ir (menetapkan harga) dalam hadits Rasulullah:
امْتَنَعَ الَنَّبِيُّصَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
عَنِ التَّسْعشيرِ عِندَمَا قَالَ الصَّحَابَةُ: سَعِّرلَنَا يَارَسُولُ اللهِ
وَقَالَ: إِنَّ اللهُ هُوَالمُسَّعِّرُ وَإِنِّى لَأَرءجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ
وَلَيْسَ أَحَدٌمِّنْكُمْ يَطءلُبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ ....
“Rasulullah Saw melarang tas’ir (harga barang
ditentukan), ia berkata kepada para sahabat: Wahai Rasulullah, tentukan
harga... Rasulullah Saw menjawab: sesungguhnya Allah SWT yang menentukan harga,
dan aku ingin bertemu Allah SWT, dan tidak ada yang menututku karena kezalimanku
dan masalah harga dan jiwa...”
Malikiyah menafsirkan hadis tersebut berdasarkan
maslahat yang ingin dicapai dalam hadis ini. Tujuan tas’ir (menetapkan harga)
adalah melndungi hajat pedagang yang menjual barangnya sesuai aturan supply dan demand. Maka penentuah harga bagi
mereka adalah menzalimi mereka.
Tetapi dalam kondisi khusus, seperti jika terjadi monopoli sehingga supply dan demand tidak terjadi lagi, maka
tas’ir (penetapan harga) diperbolehkan.[4]
B. Ikhtikar
Pengertian
Ikhtikar
الاِ
حْتِكَارُ لُغَةً : احْتِبَا سُ الشيْ ءِ انْتِظَا رًا لِغَلَائِهِ [5]
“Al-Ikhtikar secara bahasa berarti
menahan sesuatu untuk menunggu harga naik”. Ikhtikar juga berarti الجمع
والإ مسا ك mengumpulkan
(barang-barang) dan menahan. Ikhtikar artinya lazim (aniaya) dan merusak
pergaulan. Menahan (menimbun) barang-barang kebutuhan pokok manusia untuk
dapaat meraih keuntugan dengan menaikkan harganya. Adapun pengertian ikhtikar
dalam tinjauan fiqh adalah penahanan atau penimbunan atas suatu barang dagangan
dengan tujuan untuk dijual kembali pada saat harga naik.[6]
Ikhtikar adalah
mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara menjua lebih sedikit
barang utnuk harga yang lebih tinggi. Abu Hurairah r.a meriwayatkan hadist
Rasulullah Saw. Sebagai berikut:
“barang siapa melakukan
ikhtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga naik secara tajam, maka ia
berdosa”. (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Di zaman Rasulullah
Saw, salah satu cara melakukan ikhtikar adalah dengan cara menimbun agar harga
naik akibat kelangkaan tersebut. Secara lebih spesifik mazdhab Syafi’i dan
Hambali mendefinisikan Ikhtikar yaitu “menimbun barang yang teah dibeli pada
saat harga bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi
pada saat dibutuhkan oleh penduduk setempat atau lainnya”.[7]
Hukum
Ikhtikar
Para ahli fiqh
menyatakan ikhtikar adalah perbuatan terlarang. Dasar hukum pelarangan ini
adalah kandungan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya,
termasuk didalamnya ikhtikar, diharamkan oleh agama, lihat QS Al-Baqarah
(2:279).
لَا
تَظْلِمُو ن ولَا تُظْلَمُونَ
“Kamu
tidak dianiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Disamping itu banyak
hadits Raasulullah Saw. Tidak membenarkan perbuatan ikhtikar. Hadits riwayat
At-Tabrani dari Ma’qil bin Yasar.
فَقَا
لَ مَمْقِلُ بْنُ يَسَا رٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ- صَلَى الله عليه وسلم- يَقُولُ
: مَنْ دَخَلَ فِى شَىْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِميْنَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ
كَا نَ حَقا عَلَى اللهِ أَنْ يَقْدِ فَهُ فِى مُعْظَمٍ مِنَ النَا رِ يَوْمَ
الْقِيَا مَةِ.[8]
Ma’qal ibn Yasar
berkata, saya mendengan Rasulullah Saw. Bersabda: “barang siapa yang masuk
pasar untuk merusak harga pasaran orang
Islam, untuk memahalkan (melonjakkan harga barang) atas mereka itu niscaya
Allah mengikatnya dengan tulang dari api neraka pada hari kiamat. Hadits
riwayat Ahmad yang diterima dari Abu Hurairah:
Dari Abu Hurairah ia
berkata, Rasulullah Saw. Bersabda: “barang siapa yang melakukan ikhtikar dengan
tujuan hendak memahalkan (melonjakkan harga barang) atas orang Islam, maka dia
adalah orang yang bersalah.
Berdasarkan
ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah di atas, para ulama sepakat mengatakan,
bahwa ikhtikar tergolong dalam perbuatan yang dilarang (haram). Ulama mazhab
Syafi’i, Hanbali, Maliki, Zaidiyah, dan Az-Zahiri berpendapat bahwa melakukan
ikhtikar hukumnya haram, berdasarkan ayat dan hadits yang telah diebutkan.
Menurut kalangan Mazhab Maliki, ikhtikar itu hukumnya haram dan harus dicegah
oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu membawa mudharat yang
besar terhadap kehidupan masyarakat dan negar. Oleh karena itu, pihak penguasa
harus segera campur tangan untuk
mengatasinya sesuai dengan kaidah fiqh yang megatakan: “Hak orang lain
terpelihara menurut syara’.”
Mazhab
Syafi’i berpendapat, ikhtikar merupakan seuatu perbuatan yang salah, maknanya
sangat dalam. Sebab orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja, berarti
telah berbuat suatu peningkatan terhadap ajaran agama (syara’), merupakan
perbuatan yang diharamkan. Apalagi ancaman dalam berbagai hadits adalah neraka.
Ulama Mazhab Hambali juga mengatakan, bahwa ikhtikar merupakan perbuatan yang
diharamkan syara’, karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan
negara. Imam al-Kasani menyatakan pengharaman ikhtikar adalah karena munculnya
kemudharatan kepada masyarakat.
Indikator
Ikhtikar
Ikhtikar artinya
menimbun barang agar barang tersebut berkurang, lalu harganya naik. Yang
menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits:
Dari
Mu’adz bin Jabal ia berkata: aku bertanya kepada Rasulullah Saw. Tentang
ikhtikar, apakah ikhtikar itu? Rasulullah bersabda: “apabila seseorang
(pedagang) mendengar harga murah ia merasa gelisah, dan apabila ia mendengar
harga mahal, ia merasa senang, seburuk-buruk seorang hamba adalah orang yang
melakukan ikhtikar, Ketika Allah memberikan harga yang murah ia merasa susah,
dan ketika Allah memberikaan harga tinggi, ia merasa senang”. (HR Thabani).[9]
Dalam hal ini para ulama
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan ikhtikar adalah yang memiliki
kriteria sebagai berikut:
a. Bahwa barang yang ditimbun adalah sekedar
cukup dari kebutuhannya, berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh.
Karena seseorang boleh menimbun untuk persediaan nafkah dirinya dan keluarganya
dalam tenggang waktu selama satu tahun.
b. Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat
memuncaknya harga barang agar dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi
karena orang sangat membutuhkan barang tersebut.
c. Bahwa penimbunan dilakukan terhadap
barang yang sangat dibutuhkan masyarakat, seperti makanan, dan lain-lain. Jika
barang-barang yang ada di tangan pedagang tidak dibutuhkan manusia, maka hal
itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan
pada manusia.
Jenis
Barang Ikhtikar
Para ulama berbeda
pendapat dalam memahami objek yang ditimbun yaitu: kelompok pertama
mendefinisikan ikhtikar sebagai penimbunan yang hanya terbatas pada bahan
mkanan pokok (primer), kelompok kedua mendefinisikan ikhtikar secara
umum yaitu menimbun segala barang-barang keperluan manusia baik primer maupun
sekunder.
Dikalangan ulama
Hanafiyah menyatakan, ikhtikar berlaku pada produk-produk yang berbentuk
makanan, pakaian, dan hewan, meliputi seluruh produk yang menjadi keperluan
masyarakat. Mereka beralasan perbuatan ikhtikar mendatangkan mudharat
pada orang banyak.
Abu Yusuf (murid Abu
Hanafiyah) mendefinisikan ikhtikar lebih luas dan umum. Beliau
menyatakan bahwa larangan ikhtikar tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian,
dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang dibutuhkan masyarakat. Menurut
mereka yang menjadi ‘ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ikhtikar
tersebut adalah kemudharatan yang menimpa orang banyak. Oleh karena itu
kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas pada makanan,
pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang dbutuhkan orang.[10]
Ulama yang bermazhab
Hanbali dan Imam al-Ghazali berpendapat, produk yang berlaku ikhtiikar adalah
barang yang berkaitan dengan makanan saja. Sedangkan selain bahan makanan pokok
seperti, obat-obatan, wewangian, dan sebagainya tidak terkena larangan meskipun
termasuk barang yang dimakan. Alasan mereka adalah karena yang dilarang dalam
nash hanyalah makanan, maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk
oleh nash.
Adapun dalil yang
menyatakan bahwa ikhtikar itu berlaku terhadap bahan makanan yakni hadis
riwayat Umar ibn Kahtab:
Dari Umar ibn Khatab ia
berkata, saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “barang siapa yang menimbun
bahan makanan terhadap orang-orang Muslim, maka Allah akan menjadikan dia dalam
kebangkrutan”.
Hikmah
Larangan Ikhtikar
Imam Nawawi menjelaskan
hikmah dari larangan ikhtikar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan
manusia secara umum. Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan
menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam
usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, akan menciptakan
banyak kesempataan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran.
Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapat dan daya
beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan
membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada
dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
dalam masyarakat. Islam mengharamkan orang menimbun dan menahan harta dari
peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih
dihari kiamat.
Monopoli
dan Ikhtikar
Penimbunan adalah
perbuatan yang mengumpulkan barang-barang sehingga barang tersebut menjadi
langka dipasaran kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi sehingga
warga setempat sulit untuk menjangkaunya hal ini bisa dipahami bahwa apabila
tersedia sedikit barang maka harga akan lebih mahal. Apalagi jika barang yang
ditimbun itu merupakan kebutuhan primer manusia serti bahan makanan pokok.
Islam melarang praktik
yang seperti ini karena hal tersebut dapat menimbulkan kerugian pada orang
lain. Begitu juga denga menimbun terhadap barang-barang kebutuhan pokok sangat
dikecam dalam islam karena biasanya apabila harga brang-barang kebutuhan pokok
naik maka akan berpengaruh frontal teradap harga-harga brang lainnya, sehingga
harga barang menjadi tidak stabil dan dapat mengakibatkan krisis.
Pasar
monopoli adalah suatu bentuk pasar dimana hanya terdapat satu firma (penjual)
dan menghasilakan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat
dekat.[11]
Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang larangan monopoli dan persaingan
usaha yang tidak sehat dijelaskan, monopoli adalah penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tetentu oleh satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Praktik monopoli adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.
Dilihat
dari definisi diatas, pasar monopoli mempunyai ciri-ciri:
a.
Didalam
pasar monopoli hanya tedapaat satu penjual.
b.
Jenis
barang yang diproduksi tidak ada penggantinya (no subtitutes) “yang mirip”.
c.
Ada
hambatan atau rintang (bariers) bagi perusahaan baru yang akan masuk dalam
pasar monopoli. Fartor penghambat ini aada dua macam. Yaitu faktor penghambat
teknis dan faktor penghambat legal.
d.
Dapat
menikmati skala ekonomi (econimies of sacale).
e.
Dapat
memengaruhi penentuan harga.
f.
Promosi
iklan kurang diperlukan.
Perbedaan
monopoli dan ikhtikar:
a.
Bahwa
monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan dapat memproduksi
suatu barang tertentu yang dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan ikhtikar tidak
hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal besar namun masyarakat menengah dengan
modal alakadarnyapun bisa melakukannya.
b.
Suatu
perusahaan monopoli cenderung dalam melakukan aktivitas ekonomi dan penetapan
harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi standar pemerintah),
sedangkan ikhtikar dimana dan kapanpun bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab
penimbunan sangat mudah untuk dilakukan.
c.
Untuk
mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ikhtikar kelangkaan barang dan
kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo yang tentatif dan
mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam monopoli kenaikan
harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya biaya produksi dan operasional
suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga dipengaruhi olh kelangkaan barang.
d.
Praktik
monopoli adalah legal dan bahkan dinegara tertentu dilindungi oleh
undang-undang atau aturan suatu negara, sedangkan khtikar merupakan aktifitas
ekonomi yang ilegal.
Pada
dasarnya islam tidak melarang monopoli apalagi yang melakukan monopoli adalaah
negara, namun pandangan islam berhati-hati terhadap mekanisme penentuan harga
didalam monopoli yang cenderung berpotensi mngahasilkan kerugian bagi konsumen.
Sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja.
Dengan ungkapan yang sangat sederhana bahwa Islam pada dasarnya tidak
mempermasalahkan apakah suatu perusahaan monopolis atau oligopolis sepanjang
tidak mengambil keuntungan diatas normal. Namun, Islam secara jelas melarang
ikhtikar (penimbunan) yaitu mengambil keuntungan diatas normal dengan cara
menjual lebih sedikit untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, atau dalam
istilah ekonominya dengan monopili’s rent-seeking.[12]
C. Kewenangan Pemerintah Terhadap Tas’ir
dan Ikhtikar
Apabila penimbunan
suatu barang terjadi, maka pemerintah berhak memaksa pedagang untuk menjualnya
dengan harga normal. Seperti yang dikemukakan Ibn Taimiyah bahwa ulil amri atau
pemerintah berwenang memaksa pelaku ikhtikar tersebut untuk menjual barangnya
dengan harga normal (qimah misli). Bahkan menurutnya muhtakir
diharamkan mengambil untung dari penjualan tersebut karena barang tersebut
sangat dibutuhkan masyarakat. Menurut ulama Fiqh, para pedagang menjual menjual
barang tersebut dengan harga modal sebagai hukumnya, karena mereka tidak berhak
mengambil untung. Sekiranya para pedagang itu enggan menjual barangnya dengan
harga pasar, penegak hukum dapat menyita barang itu dan kemudian membagikannya
kepada masyarakat yang memerlukan. Disamping bertindak tegas, pemerintah sejak
semula harus dapat mengantisipasikan agar tidak terjadi ikhtikar dalam setiap
komoditi, manfaat atau jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Menurut
ulama fikih, pematokan harga oleh pihak pemerintah harus memenuhi persyaratan
syari’ah yaitu:
a. Komoditas atau jasa itu sangat dibutuhkan
masyarakat luas
b. Terbukti bahwa para produsen, pedagang dan
spekulan melakukan manipulasi, spekulasi, penimbunan ataupun rekayasa keji
dalam menentukan harga komoditas dan tarif jasa mereka
c. Pemerintah tersebut adalah pemerintahan yang
adil
d. Pihak pemerintah harus melakukan studi
kelayakan harga dan kajian pasar dengan berkonsultasi kepada para ahlinya
e. Pematokan harga tersebut dengan mengacu kepada
prinsip keadilan bagi semua pihak
f. Pemerintah secara pro aktif harus melakukan
kontrol dan pengawasan yang kontinyu terhadap kegiatan pasar, baik yang
menyangkut stok barang, harga maupun indikator dan variabel lainnya sehingga
tidak terjadi praktik penimbunan barang dan monopoli jasa yang berakibat
kesewenangan harga dan tarif sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan bahwa
orang yang menimbun (untuk tujuan spekulasi) adalah orang yang salah.
Adapun
hukuman dan sanksi yang dikenakan bagi para spekulen, produsen dan pedagang
nakal daam permainan harga, adalah berupa hukuman tegas untuk katagori tindak
pidana takzir yaitu keputusan dan vonis hukuman yang diserahkan sepenuhnya
kepada hakim dan pemerintah untuk memberi pelajaran yang setimpal agar para
pelaku pelanggaran jera. Ibn al-Qoyin mengingatkan bahwa hukuman tersebut
dilakukan secara gradual yakni dari yang paling ringan berupa teguran dan
peringatan sampai pencabutan izin, kurungan dan denda menurut kemaslahatan
serta harus dilakukan setimpal sesuai kadar kesalahan dan tingkkat kemudharatan
yang ditimbulkannya.[13]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Para
ulama merumuskan definisi Tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang imam (penguasa),
wakilnya atau setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan
kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu,
mereka dilarang untuk menambah harganya hingga harga tidak membumbung atau
mengurangi harganya hingga tidak memukul selain mereka. Jumhur ulama
berpendapat mengenai larangan tas’ir.
Kemudian
ada ikhtikar, yang secara bahasa berarti menahan
sesuatu untuk menunggu harga naik. Para ahli fiqh menyatakan ikhtikar adalah
perbuatan terlarang. Dasar hukum pelarangan ini adalah kandungan Al-Qur’an yang
menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk didalamnya ikhtikar,
diharamkan oleh agama, lihat QS Al-Baqarah (2:279).
Dalam perdagangan
sesuai syari’at Islam, sebenarnya tas’ir dan ikhtikar sama-sama tidak
diperbolehkan. Namun pada kondisi tertentu tas’ir diperbolehkan atau bahkan
diwajibkan pada saat terjadi ikhtikar. Menurut Ibn Taimiyah pemerintah wajib
melakukan tindakan Tas’ir (penetapan harga). Pelaku ikhtikar
(muhtakir) wajib menjual barang dagangannya dengan harga normal (qimah misli).
Mereka tidak boleh menjual barang dagangannya kecuali dengan harga pasar (qimah
misli) dalam kaitannya dengan kewenangan pemerintah menjadi regulator untuk
mencapai kemaslahatan bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
A Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2011.
Abidin, Ibn Rad al-Mukhtar ala al-Dar al-Mukhtar Syarah
Tanwir al-Abshar, Jus 9. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994.
Ahmad, Abu Bakar Ibn al-Husain bin Ali al-Baihaqi, Al-Sunan
Al-kubra, Juz 2. Majis Dairah al-Maarif al-Nizhamiyah, al-Kainah,1344H
Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap. Jakarta: Pustaka Progress, 1997.
Haroen,
Nasrun, Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Mankiw,
N. Gregory, Principles of Economic. Cambridge: Harvard University, 2009.
Rozalinda,
Fikih Ekonomi Syari'ah. Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Ekonomi
Syari'ah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016.
Sahroni, Oni dan Adiwarman A. Karim, Maqasid Bisnis dan Keuangan
Islam sintesis fikih dan ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.
[1] Rozalinda, Fikih
Ekonomi Syari'ah. Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Ekonomi Syari'ah,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm.380.
[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2007). hlm.140.
[3] Rozalinda,... hlm.381.
[4] Oni Sahroni dan Adiwarman A. Karim, Maqasid Bisnis dan Keuangan
Islam sintesis fikih dan ekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015),
hlm. 127-128.
[5] Ibn Abidin, Rad al-Mukhtar ala al-Dar al-Mukhtar Syarah Tanwir
al-Abshar, Jus 9, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994) hlm 27
[6] Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, (Jakarta: Pustaka Progress, 1997), hlm 285
[8] Abu Bakar Ahmad Ibn al-Husain bin Ali al-Baihaqi, Al-Sunan
Al-kubra, Juz 2, (Majis Dairah al-Maarif al-Nizhamiyah, al-Kainah,1344H),
hlm 349
[9] Rozalinda, Fikih Ekonomi
Syari’ah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016), hlm. 357.
[10] Abdul, Aziz Dahlan (ed) op.cit.,hlm 654.
[11] N. Gregory Mankiw, Principles of Economic, (Cambridge: Harvard
University, 2009), hlm.300.
[12] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2016), hlm 364-367.
[13] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2016), hlm 364-367.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar