Rabu, 19 Desember 2018

Makalah Fiqih Muamalah 2 : Tas'ir dan Ikhtikar

MAKALAH
TAS’IR DAN IKHTIKAR
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:
FIQH MU’AMALAH 2
Dosen Pengampu:
Faridatul Fitriyah, M. Sy



Disusun oleh :
                Retno Sulistiyani                                              931335515



JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2017

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Perekonomian merupakan bagian yang sangat penting untuk kelangsungan utuhnya sebuah negara. Perekonomian   negara   yang   kokoh   akan   mampu   menjamin   kesejahteraan   dan kemakmuran rakyat. Salah satu penunjang perekonomian negara adalah kesehatan pasar, baik pasar barang jasa, pasar uang, maupun pasar tenaga kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung pada makanisme pasar yang mampu menciptakan tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat harga yang dihasilkan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat. Apabila   kondisi   ini   dalam   keadaan   wajar   dan   normal   (tanpa   ada   pelanggaran),   monopoli misalnya? maka harga akan stabil, namun apabila terjadi persaingan yang tidak jujur, maka keseimbangan harga akan terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat secara umum.
Dalam agama Islam kita memang di halalkan dan di suruh untuk mencari rezki melalui berbagai macam usaha seperti bertani, berburu atau melakukan perdagangan atau jual beli. Namun tentu saja kita sebagai orang yang beriman diwajibkan menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus menurut Alquran dan Sunnah, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat. Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai macam syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi apa yang telah di syariatkan tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat.
Selain harus mengetahui bagaimana jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut hukum islam, kita juga dituntut untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar kita tidak terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian dan pembahasan dalam tas’ir?
2.    Bagaimana pengertian dan pembahasan dalam ikhtikar?
3.    Bagaimana kewenangan pemerintah terhadap tas’ir dan ikhtikar?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui bagaimana pengertian dan pembahasan dalam tas’ir.
2.    Untuk mengetahui bagaimana pengertian dan pembahasan dalam ikhtikar.
3.    Untuk mengetahui bagaimana peran kewenangan pemerintah terhadap tas’ir dan ikhtikar.





















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Tas’ir
Pengertian Tas’ir
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya menyalakan. Lalu dibentuk menjadi kata as-si'ru dan jamaknya as'ar yang artinya harga (sesuatu). Kata as-si'ru ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu. Dan para ulama merumuskan definisi Tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang imam (penguasa), wakilnya atau setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu, mereka dilarang untuk menambah harganya hingga harga tidak membumbung atau mengurangi harganya hingga tidak memukul selain mereka. Jadi, mereka dilarang untuk menambah atau mengurangi dari harga yang dipatok demi kemaslahatan masyarakat.
 Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani:
Tas'ir adalah perintah para penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka dilarang memambah atau mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyarakat.
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa Tas'ir berarti menetapkan harga tertentu untuk barang dagangan yang dijual selama tidak ada kezaliman penguasa dan tidak pula kezaliman terhadap pembeli. Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa tas'ir dengan keadaan yang mewajibkan para pedagang untuk menjual dan membeli dengan harga pasaran. Seperti yang dikemukakan bahwa keadaan yang mewajibkan pedagang untuk menjual barang dagangannya dengan harga mistli (harga pasar).[1]
Menurut Fathi ad-Duraini guru besar Fikih Universitas Damaskus, ketetapan pemerintah itu tidak hanya terhadap komoditi yang digunakan dan diperlukan masyarakat, tetapi juga terhadap manfaat dan jasa pekerja yang diperlukan masyarakat. Misalnya, apabila sewa rumah naik dengan tiba-tiba dari harga biasanya atau harga semen naik secara tidak wajar.[2]
Sesuai dengan kandungan definisi-definisi diatas, para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa yang berhak untuk menentukan dan menetapkan harga itu adalah pihak pemerintah setelah mendiskusikannya dengan pakar-pakar ekonomi. Dalam menetapkan harga itu pemerintah harus mempertimbangkan kemaslahatan para pedagang dan para konsumen. Dengan demikian, menurut ad-Duraini apapun bentuk komoditi dan keperluan warga suatu negara untuk kemaslahatan mereka pihak pemerintah berhak atau bahkan harus menentukan harga yang logis sehingga pihak produsen dan konsumen tidak dirugikan.[3]
Dengan demikian tas'ir, penetapan harga oleh pemerintah kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu. Jadi, mereka dilarang untuk menambah atau mengurangi harga yang dipatok demi kemaslahatan masyarakat. Artinya, negara melakukan intervensi (campur tangan) dengan menetapkan harga tertentu atas suatu komuditas dan setiap orang dilarang menjual lebih atau kurang dari harga yang ditetapkan itu demi mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat.

Perdebatan Akademik Seputar Tas'ir
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini tidak dijumpai dalam Al-Qur'an. Ketentuan yang berkaitan dengan Tas'ir Al-Jabari terdapat dalam hadis Rasulullah Saw, seperti yang diriwayatkan dari Anas Ibn Malik:
“Dari Anas Ibn Malik ia berkata: "Pada zaman Rasulullah Saw. Terjadi pelonjakan harga di pasar, lalu sekelompok orang menghadap kepada Rasulullah Saw. seraya berkata: ya Rasulullah, harga-harga di pasar kian melonjak begitu tinggi, tolonglah tetapkan harga itu. Rasulullah Saw., menjawab: sesungguhnya Allah-lah yang (berhak) menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Saya berharap akan bertemu dengan Allah dan jangan seseorang di antara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam so'al harta dan nyawa".
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah hukum tas'ir. Jumhur ulama' dari Ulama Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah, seperti Ibnu Qudamah, ulama Muta'akkhirin seperti Imam Syaukani dan Imam An-Nabhani mengharamkan secara mutlak penetapan harga oleh pemerintah (Tas'ir) mereka mendasar pada Q.S An-Nisa (4: 29)
يَآاَيُّهَا الَّذِينَءَامَنُواْلاَتَأْكُلُوآأَموَالَكُم بَينَكُم بِاْلْبَاطِلِ إِلَّآأَن تضكُونَ تِجَارَ ةً عَن تَرَضٍ مِّنكُم وَلاَ تَقتُلثوآأَنفُسَكُم إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُم رَحِيمَا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaanyang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.”
Menurut jumhur ulama, tas'ir bertentangan dengan nash-nash yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis. Sebab, tas'ir bermakna pemaksaan atas penjual atau pembeli untuk berjual-beli dengan harga tertentu. Ini melanggar kepemilikan seseorang karena kepemilikan itu bermakna memiliki kekuasaan atas harta miliknya. Karena itu, ia berhak menjual dengan harga yang ia sukai. Pematokan harga tertentu akan menghalangi atau merampas sebagai kekuasaan seseorang atas hartanya. Sesuai keterangan nash diatas, maka hal itu tidak boleh terjadi.
Maqasid Larangan Tas’ir
Rasulullah menjelaskan tas’ir (menetapkan harga) dalam hadits Rasulullah:
امْتَنَعَ الَنَّبِيُّصَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنِ التَّسْعشيرِ عِندَمَا قَالَ الصَّحَابَةُ: سَعِّرلَنَا يَارَسُولُ اللهِ وَقَالَ: إِنَّ اللهُ هُوَالمُسَّعِّرُ وَإِنِّى لَأَرءجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ أَحَدٌمِّنْكُمْ يَطءلُبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ ....
“Rasulullah Saw melarang tas’ir (harga barang ditentukan), ia berkata kepada para sahabat: Wahai Rasulullah, tentukan harga... Rasulullah Saw menjawab: sesungguhnya Allah SWT yang menentukan harga, dan aku ingin bertemu Allah SWT, dan tidak ada yang menututku karena kezalimanku dan masalah harga dan jiwa...”
Malikiyah menafsirkan hadis tersebut berdasarkan maslahat yang ingin dicapai dalam hadis ini. Tujuan tas’ir (menetapkan harga) adalah melndungi hajat pedagang yang menjual barangnya sesuai aturan supply  dan demand. Maka penentuah harga bagi mereka adalah menzalimi mereka.
Tetapi dalam kondisi khusus, seperti  jika terjadi monopoli sehingga supply  dan demand tidak terjadi lagi, maka tas’ir (penetapan harga) diperbolehkan.[4]

B.  Ikhtikar
Pengertian Ikhtikar
الاِ حْتِكَارُ لُغَةً : احْتِبَا سُ الشيْ ءِ انْتِظَا رًا لِغَلَائِهِ [5]
Al-Ikhtikar secara bahasa berarti menahan sesuatu untuk menunggu harga naik”. Ikhtikar juga berarti الجمع والإ مسا ك  mengumpulkan (barang-barang) dan menahan. Ikhtikar artinya lazim (aniaya) dan merusak pergaulan. Menahan (menimbun) barang-barang kebutuhan pokok manusia untuk dapaat meraih keuntugan dengan menaikkan harganya. Adapun pengertian ikhtikar dalam tinjauan fiqh adalah penahanan atau penimbunan atas suatu barang dagangan dengan tujuan untuk dijual kembali pada saat harga naik.[6]
Ikhtikar adalah mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara menjua lebih sedikit barang utnuk harga yang lebih tinggi. Abu Hurairah r.a meriwayatkan hadist Rasulullah Saw. Sebagai berikut:
“barang siapa melakukan ikhtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga naik secara tajam, maka ia berdosa”. (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Di zaman Rasulullah Saw, salah satu cara melakukan ikhtikar adalah dengan cara menimbun agar harga naik akibat kelangkaan tersebut. Secara lebih spesifik mazdhab Syafi’i dan Hambali mendefinisikan Ikhtikar yaitu “menimbun barang yang teah dibeli pada saat harga bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi pada saat dibutuhkan oleh penduduk setempat atau lainnya”.[7]

Hukum Ikhtikar
Para ahli fiqh menyatakan ikhtikar adalah perbuatan terlarang. Dasar hukum pelarangan ini adalah kandungan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk didalamnya ikhtikar, diharamkan oleh agama, lihat QS Al-Baqarah (2:279).
لَا تَظْلِمُو ن ولَا تُظْلَمُونَ
“Kamu tidak dianiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Disamping itu banyak hadits Raasulullah Saw. Tidak membenarkan perbuatan ikhtikar. Hadits riwayat At-Tabrani dari Ma’qil bin Yasar.
فَقَا لَ مَمْقِلُ بْنُ يَسَا رٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ- صَلَى الله عليه وسلم- يَقُولُ : مَنْ دَخَلَ فِى شَىْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِميْنَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ كَا نَ حَقا عَلَى اللهِ أَنْ يَقْدِ فَهُ فِى مُعْظَمٍ مِنَ النَا رِ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ.[8]
Ma’qal ibn Yasar berkata, saya mendengan Rasulullah Saw. Bersabda: “barang siapa yang masuk pasar untuk  merusak harga pasaran orang Islam, untuk memahalkan (melonjakkan harga barang) atas mereka itu niscaya Allah mengikatnya dengan tulang dari api neraka pada hari kiamat. Hadits riwayat Ahmad yang diterima dari Abu Hurairah:
Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw. Bersabda: “barang siapa yang melakukan ikhtikar dengan tujuan hendak memahalkan (melonjakkan harga barang) atas orang Islam, maka dia adalah orang yang bersalah.
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah di atas, para ulama sepakat mengatakan, bahwa ikhtikar tergolong dalam perbuatan yang dilarang (haram). Ulama mazhab Syafi’i, Hanbali, Maliki, Zaidiyah, dan Az-Zahiri berpendapat bahwa melakukan ikhtikar hukumnya haram, berdasarkan ayat dan hadits yang telah diebutkan. Menurut kalangan Mazhab Maliki, ikhtikar itu hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu membawa mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat dan negar. Oleh karena itu, pihak penguasa harus segera campur tangan untuk  mengatasinya sesuai dengan kaidah fiqh yang megatakan: “Hak orang lain terpelihara menurut syara’.”
Mazhab Syafi’i berpendapat, ikhtikar merupakan seuatu perbuatan yang salah, maknanya sangat dalam. Sebab orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja, berarti telah berbuat suatu peningkatan terhadap ajaran agama (syara’), merupakan perbuatan yang diharamkan. Apalagi ancaman dalam berbagai hadits adalah neraka. Ulama Mazhab Hambali juga mengatakan, bahwa ikhtikar merupakan perbuatan yang diharamkan syara’, karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara. Imam al-Kasani menyatakan pengharaman ikhtikar adalah karena munculnya kemudharatan kepada masyarakat.

Indikator Ikhtikar
Ikhtikar artinya menimbun barang agar barang tersebut berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
Dari Mu’adz bin Jabal ia berkata: aku bertanya kepada Rasulullah Saw. Tentang ikhtikar, apakah ikhtikar itu? Rasulullah bersabda: “apabila seseorang (pedagang) mendengar harga murah ia merasa gelisah, dan apabila ia mendengar harga mahal, ia merasa senang, seburuk-buruk seorang hamba adalah orang yang melakukan ikhtikar, Ketika Allah memberikan harga yang murah ia merasa susah, dan ketika Allah memberikaan harga tinggi, ia merasa senang”. (HR Thabani).[9]
Dalam hal ini para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan ikhtikar adalah yang memiliki kriteria sebagai berikut:
a.    Bahwa barang yang ditimbun adalah sekedar cukup dari kebutuhannya, berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun untuk persediaan nafkah dirinya dan keluarganya dalam tenggang waktu selama satu tahun.
b.    Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut.
c.    Bahwa penimbunan dilakukan terhadap barang yang sangat dibutuhkan masyarakat, seperti makanan, dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada di tangan pedagang tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.

Jenis Barang Ikhtikar
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami objek yang ditimbun yaitu: kelompok pertama mendefinisikan ikhtikar sebagai penimbunan yang hanya terbatas pada bahan mkanan pokok (primer), kelompok kedua mendefinisikan ikhtikar secara umum yaitu menimbun segala barang-barang keperluan manusia baik primer maupun sekunder.
Dikalangan ulama Hanafiyah menyatakan, ikhtikar berlaku pada produk-produk yang berbentuk makanan, pakaian, dan hewan, meliputi seluruh produk yang menjadi keperluan masyarakat. Mereka beralasan perbuatan ikhtikar mendatangkan mudharat pada orang banyak.
Abu Yusuf (murid Abu Hanafiyah) mendefinisikan ikhtikar lebih luas dan umum. Beliau menyatakan bahwa larangan ikhtikar tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang dibutuhkan masyarakat. Menurut mereka yang menjadi ‘ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ikhtikar tersebut adalah kemudharatan yang menimpa orang banyak. Oleh karena itu kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang dbutuhkan orang.[10]
Ulama yang bermazhab Hanbali dan Imam al-Ghazali berpendapat, produk yang berlaku ikhtiikar adalah barang yang berkaitan dengan makanan saja. Sedangkan selain bahan makanan pokok seperti, obat-obatan, wewangian, dan sebagainya tidak terkena larangan meskipun termasuk barang yang dimakan. Alasan mereka adalah karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan, maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash.
Adapun dalil yang menyatakan bahwa ikhtikar itu berlaku terhadap bahan makanan yakni hadis riwayat Umar ibn Kahtab:
Dari Umar ibn Khatab ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “barang siapa yang menimbun bahan makanan terhadap orang-orang Muslim, maka Allah akan menjadikan dia dalam kebangkrutan”.

Hikmah Larangan Ikhtikar
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ikhtikar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum. Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, akan menciptakan banyak kesempataan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapat dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat. Islam mengharamkan orang menimbun dan menahan harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih dihari kiamat.

Monopoli dan Ikhtikar
Penimbunan adalah perbuatan yang mengumpulkan barang-barang sehingga barang tersebut menjadi langka dipasaran kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi sehingga warga setempat sulit untuk menjangkaunya hal ini bisa dipahami bahwa apabila tersedia sedikit barang maka harga akan lebih mahal. Apalagi jika barang yang ditimbun itu merupakan kebutuhan primer manusia serti bahan makanan pokok.
Islam melarang praktik yang seperti ini karena hal tersebut dapat menimbulkan kerugian pada orang lain. Begitu juga denga menimbun terhadap barang-barang kebutuhan pokok sangat dikecam dalam islam karena biasanya apabila harga brang-barang kebutuhan pokok naik maka akan berpengaruh frontal teradap harga-harga brang lainnya, sehingga harga barang menjadi tidak stabil dan dapat mengakibatkan krisis.
Pasar monopoli adalah suatu bentuk pasar dimana hanya terdapat satu firma (penjual) dan menghasilakan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat dekat.[11] Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang larangan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dijelaskan, monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tetentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Dilihat dari definisi diatas, pasar monopoli mempunyai ciri-ciri:
a.         Didalam pasar monopoli hanya tedapaat satu penjual.
b.        Jenis barang yang diproduksi tidak ada penggantinya (no subtitutes) “yang mirip”.
c.         Ada hambatan atau rintang (bariers) bagi perusahaan baru yang akan masuk dalam pasar monopoli. Fartor penghambat ini aada dua macam. Yaitu faktor penghambat teknis dan faktor penghambat legal.
d.        Dapat menikmati skala ekonomi (econimies of sacale).
e.         Dapat memengaruhi penentuan harga.
f.         Promosi iklan kurang diperlukan.
Perbedaan monopoli dan ikhtikar:
a.         Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan dapat memproduksi suatu barang tertentu yang dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan ikhtikar tidak hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal besar namun masyarakat menengah dengan modal alakadarnyapun bisa melakukannya.
b.        Suatu perusahaan monopoli cenderung dalam melakukan aktivitas ekonomi dan penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi standar pemerintah), sedangkan ikhtikar dimana dan kapanpun bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk dilakukan.
c.         Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ikhtikar kelangkaan barang dan kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo yang tentatif dan mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam monopoli kenaikan harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya biaya produksi dan operasional suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga dipengaruhi olh kelangkaan barang.
d.        Praktik monopoli adalah legal dan bahkan dinegara tertentu dilindungi oleh undang-undang atau aturan suatu negara, sedangkan khtikar merupakan aktifitas ekonomi yang ilegal.

Pada dasarnya islam tidak melarang monopoli apalagi yang melakukan monopoli adalaah negara, namun pandangan islam berhati-hati terhadap mekanisme penentuan harga didalam monopoli yang cenderung berpotensi mngahasilkan kerugian bagi konsumen. Sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja. Dengan ungkapan yang sangat sederhana bahwa Islam pada dasarnya tidak mempermasalahkan apakah suatu perusahaan monopolis atau oligopolis sepanjang tidak mengambil keuntungan diatas normal. Namun, Islam secara jelas melarang ikhtikar (penimbunan) yaitu mengambil keuntungan diatas normal dengan cara menjual lebih sedikit untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, atau dalam istilah ekonominya dengan monopili’s rent-seeking.[12]

C.    Kewenangan Pemerintah Terhadap Tas’ir dan Ikhtikar
Apabila penimbunan suatu barang terjadi, maka pemerintah berhak memaksa pedagang untuk menjualnya dengan harga normal. Seperti yang dikemukakan Ibn Taimiyah bahwa ulil amri atau pemerintah berwenang memaksa pelaku ikhtikar tersebut untuk menjual barangnya dengan harga normal (qimah misli). Bahkan menurutnya muhtakir diharamkan mengambil untung dari penjualan tersebut karena barang tersebut sangat dibutuhkan masyarakat. Menurut ulama Fiqh, para pedagang menjual menjual barang tersebut dengan harga modal sebagai hukumnya, karena mereka tidak berhak mengambil untung. Sekiranya para pedagang itu enggan menjual barangnya dengan harga pasar, penegak hukum dapat menyita barang itu dan kemudian membagikannya kepada masyarakat yang memerlukan. Disamping bertindak tegas, pemerintah sejak semula harus dapat mengantisipasikan agar tidak terjadi ikhtikar dalam setiap komoditi, manfaat atau jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Menurut ulama fikih, pematokan harga oleh pihak pemerintah harus memenuhi persyaratan syari’ah yaitu:
a.       Komoditas atau jasa itu sangat dibutuhkan masyarakat luas
b.      Terbukti bahwa para produsen, pedagang dan spekulan melakukan manipulasi, spekulasi, penimbunan ataupun rekayasa keji dalam menentukan harga komoditas dan tarif jasa mereka
c.       Pemerintah tersebut adalah pemerintahan yang adil
d.      Pihak pemerintah harus melakukan studi kelayakan harga dan kajian pasar dengan berkonsultasi kepada para ahlinya
e.       Pematokan harga tersebut dengan mengacu kepada prinsip keadilan bagi semua pihak
f.       Pemerintah secara pro aktif harus melakukan kontrol dan pengawasan yang kontinyu terhadap kegiatan pasar, baik yang menyangkut stok barang, harga maupun indikator dan variabel lainnya sehingga tidak terjadi praktik penimbunan barang dan monopoli jasa yang berakibat kesewenangan harga dan tarif sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan bahwa orang yang menimbun (untuk tujuan spekulasi) adalah orang yang salah.
Adapun hukuman dan sanksi yang dikenakan bagi para spekulen, produsen dan pedagang nakal daam permainan harga, adalah berupa hukuman tegas untuk katagori tindak pidana takzir yaitu keputusan dan vonis hukuman yang diserahkan sepenuhnya kepada hakim dan pemerintah untuk memberi pelajaran yang setimpal agar para pelaku pelanggaran jera. Ibn al-Qoyin mengingatkan bahwa hukuman tersebut dilakukan secara gradual yakni dari yang paling ringan berupa teguran dan peringatan sampai pencabutan izin, kurungan dan denda menurut kemaslahatan serta harus dilakukan setimpal sesuai kadar kesalahan dan tingkkat kemudharatan yang ditimbulkannya.[13]























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Para ulama merumuskan definisi Tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang imam (penguasa), wakilnya atau setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu, mereka dilarang untuk menambah harganya hingga harga tidak membumbung atau mengurangi harganya hingga tidak memukul selain mereka. Jumhur ulama berpendapat mengenai larangan tas’ir.
Kemudian ada ikhtikar, yang secara bahasa berarti menahan sesuatu untuk menunggu harga naik. Para ahli fiqh menyatakan ikhtikar adalah perbuatan terlarang. Dasar hukum pelarangan ini adalah kandungan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk didalamnya ikhtikar, diharamkan oleh agama, lihat QS Al-Baqarah (2:279).
Dalam perdagangan sesuai syari’at Islam, sebenarnya tas’ir dan ikhtikar sama-sama tidak diperbolehkan. Namun pada kondisi tertentu tas’ir diperbolehkan atau bahkan diwajibkan pada saat terjadi ikhtikar. Menurut Ibn Taimiyah pemerintah wajib melakukan tindakan Tas’ir (penetapan harga). Pelaku ikhtikar (muhtakir) wajib menjual barang dagangannya dengan harga normal (qimah misli). Mereka tidak boleh menjual barang dagangannya kecuali dengan harga pasar (qimah misli) dalam kaitannya dengan kewenangan pemerintah menjadi regulator untuk mencapai kemaslahatan bersama.









DAFTAR PUSTAKA

A Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011.
Abidin, Ibn Rad al-Mukhtar ala al-Dar al-Mukhtar Syarah Tanwir al-Abshar, Jus 9. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994.
Ahmad, Abu Bakar Ibn al-Husain bin Ali al-Baihaqi, Al-Sunan Al-kubra, Juz 2. Majis Dairah al-Maarif al-Nizhamiyah, al-Kainah,1344H
Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Jakarta: Pustaka Progress, 1997.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Mankiw, N. Gregory, Principles of Economic. Cambridge: Harvard University, 2009.
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari'ah. Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Ekonomi Syari'ah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016.
Sahroni, Oni dan Adiwarman A. Karim, Maqasid Bisnis dan Keuangan Islam sintesis fikih dan ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.



[1] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari'ah. Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Ekonomi Syari'ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm.380.
[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). hlm.140.
[3] Rozalinda,... hlm.381.
[4] Oni Sahroni dan Adiwarman A. Karim, Maqasid Bisnis dan Keuangan Islam sintesis fikih dan ekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 127-128.
[5] Ibn Abidin, Rad al-Mukhtar ala al-Dar al-Mukhtar Syarah Tanwir al-Abshar, Jus 9, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994) hlm 27
[6] Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Jakarta: Pustaka Progress, 1997), hlm 285
[7] Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2011), hlm 173
[8] Abu Bakar Ahmad Ibn al-Husain bin Ali al-Baihaqi, Al-Sunan Al-kubra, Juz 2, (Majis Dairah al-Maarif al-Nizhamiyah, al-Kainah,1344H), hlm 349
[9] Rozalinda,  Fikih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016), hlm. 357.
[10] Abdul, Aziz Dahlan (ed) op.cit.,hlm 654.
[11] N. Gregory Mankiw, Principles of Economic, (Cambridge: Harvard University, 2009), hlm.300.
[12] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016), hlm 364-367.
[13] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016), hlm 364-367.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Kewirausahaan: Transformasi, Inovasi dan Kreativitas Kewirausahaan

RESUME TRANSFORMASI KEWIRAUSAHAAN, TEORI INOVASI DAN KREATIVITAS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: KEWIRAUSAHAAN Dosen Peng...