Rabu, 19 Desember 2018

Makalah Konsep dan Tehnik Bagi Hasil: Cara menentukan nisbah bagi hasil

MAKALAH
CARA MENENTUKAN NISBAH DAN BAGI HASIL
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:
KONSEP DAN TEHNIK BAGI HASIL
Dosen Pengampu:
Sulistyowati, S. HI, M.EI


Disusun oleh :

 Retno Sulistiyani                                                    931335515



JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2017

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bagi Hasil dan Nisbah
Bagi hasil juga biasa dikenal dengan istilah profit sharing. Menurut kamus ekonomi  profit sharing berarti pembagian laba. Namun secara istilah, profit sharing merupakan distribusi beberapa bagian laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.[1] Bentuk-bentuk distribusi ini dapat berupa pembagian laba pada akhir tahun ataupun karena bonus prestaasi.
Menurut Hamzah Ya’qub, kerja sama bagi hasil  (mudharabah) hukumnya boleh (ja’iz). Menurutnya, Rasulullah SAW. Sebelum tugas kerasulannya telah melakukan mudharabah dengan khadijah. Beliau mendapatkan modal dari Khadijah, kemudian pergi berniaga ke negeri Syam.[2]
Dengan demikian, praktek kerja sama bagi hasil sudah berlaku pada masa sebelum Islam. Kemudian, datanglah syari’at Islam membenarkannya lalu dipraktikkan pada zaman Rasulullah dan seterusnya hingga sekarang.[3]
Dalam mekanisme keuangan Syari’ah, model  bagi hasil ini berhubungan dengan usaha pengumpulan dana (funding) maupun pelemparan dana/ pembiayaan (financing). Terutama yang berkaitan dengan produk penyertaan atau kinerja sama usaha. Didalam pengembangan produknya, dikenal dengan istilah shohinbul maal  dan mudhorib. Shohibul mal adalah  pemilik dana yang mempercayakan dananya kepada lembaga keuangan Syari’ah (bank dan BMT) untuk dikelola. Sedangkan Mudhorib merupakan kelompok orang atau badan yang memperoleh dana untuk dijadikan modal usaha atau investasi.
Dalam sistem ini, BMT akan memerankan fungsi ganda. Pada tahap  funding, ia berperan sebagai  Mudorib dan karenanya dana yang terkumpul harus dikelola secara optimal. Namun pada financing, BMT akan berperan selaku shohibul mal dan karenanya ia harus menginvestasikan dananya pada usaha-usaha yang halal dan menguntungkan. Kerja sama para pihak sistem bagi hasil ini harus dijalankan secara transparan dan adil. Karena untuk mengetahui tingkat bagi hasil pada periode tertentu itu tidak dapat dijalankan kecuali harus ada laporan keuangan atau pengakuan yang terpercaya. Pada tahap perjanjian kerja sama ini disetujui oleh para pihak, maka semua aspek yang berkaitan dengan usaha harus disepakati dalam kontrak, agar antar pihak dapat saling mengingatkan.[4]
Kemudian Nisbah, merupakan proporsi pembagian hasil. Bagitu pula dalam pembiayaan bagi hasil. Debitur harus melaporkan usahanya, sehingga dapat diketahui nilai bagi hasilnya. Untuk menetukan tingkat bagi hasilnya, BMT akan menghitung setiap bulan atau setiap periode tertentu sesuai dengan periode perhitungan pendapatan usaha, itulah yang kemudian didistribusikan kepada para nasabah atau anggota. Oleh karenanya, nasabah perlu mengetahui tingkat nisbah masing-masing produk.
Nisbah ini akan ditetapkan dalam akad atau perjanjian. Sebelum akad di tandatangani, nasabah/ anggota dapat menawar sampai pada tahap kesepakatan. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem bunga, yakninasabah selalu pada posisi pasif dan ‘dikalahkan’, karena pada umumnya buga menjadi kewenangan pihak bank. Kesepakatan tentang nisbah ini selanjutnya bertuang dalam akad. Atas dasar laporan dari nasabah atau anggota, manajemen BMT akan membuat perhitungan bagi hasilnya sesuai dengan nisbah tersebut.
Dengan demikian, model bagi hasil ini tidak mengenal istilah beban pasti (Fixed cost). Karena nilai bagi hasil akan didapat setelah terjadi pembukuan usaha. Bagi lembaga kauangan Syari’ah, tidak akan terjadi negatif spread sebagai mana pada lembaga keuangan konvensiaonal. Karena bagi hasil dana akan dibayar setelah para debitor membayar bagi hasil pula. Dan bagi debitor tidak akan menjual barangnya dengan harga yang tinggi., karena bagi hasil tidak mungkin dihitung sebagai bagian dari biaya produksi. Bagi hasil akan dibayar setelah terjadi penjualan, itupun kemungkinannya dapat saja tidak memberi bagi hasil karena memang usahanya merugi.[5]
Dari mekanisme tersebut, sistem bagi hasil lebih kompetitif . Konsumen tetap akan mendapatkan harga jual produk dengan harga yang wajar, meskipun situasinya krisis. Karena harga jual tidak terpengaruh dengan tingkat bagi hasil. Pada saat ekonomi booming atau membaik, BMT akan ikut menikmati keadaan ini. Karena bagi hasil yang dibayar sangat berkaitan dengan pendapatan debitur. Selanjutnya para pemilik dana (shohibul mal) akan mendapatkan nilai bagi hasil yang meningkat pula. Itulah sebabnya, dalam sistem bagi hasil hubugan antara  shohibul mal  dan mudhorib  sangat erat. Dalam sistem keuangan Syari’ah dan BMT, model bagi hasil hanya berlaku untuk akad penyertaan usaha atau kerja sama usaha (partnership, project financing partisipation).[6]
Dalam konteks ini,bagi hasil berbeda dengan bunga. Perbedaan yang mendasar antara sistem keuangan konvensional dengan Syari’ah terletak pada mekanisme memperoleh pendapatan, yakni bunga dan bagi hasil. Sehingga untuk mempertegas perbedaan keduanya, dibawah ini disajikan tebel perbedaannya. Dengan tabel ini diharapkan  dapat mempermudah dalam memahami bagi hasil dan bunga.[7]

Tabel Perbedaan Sistem Bunga dengan Sistem Bagi Hasil
BUNGA
BAGI HASIL
a)    Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung

a)    Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil ditetapkan pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi.
b)      Besarnya presentasi berdasarkan pada jumlah uang atau modal yang diinginkan
b)      Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntugan yang diperoleh
c)      Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijanjikan oleh pihak nasabah untung atau rugi
c)      Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung ersama oleh kedua belah pihak
d)     Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat, sekalipun jumlah keuntunganberlipat atau keadaan ekonomi sedang booming
d)     Jumlah pembagian laba menigkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
e)      Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama, termasuk Islam
e)      Tidak ada yang meragukan keabsahan sistem bagi hasil.[8]


Penentuan Bunga Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad. Didepan dibitur sudah terbebani biaya tetap. Penentuan bagi hasil ini dihitung pada akhir periode. Pada waktu akad akan disepakati tingkat nisbahnya/ proporsi bagi hasil.
Besarnya bunga dihitung dari perkaliannya dengan modal yang dipinjam atau disimpan. Besarnya bagi hasil dihitung dari perkalian nisbah dengan pendapatan atau laba pada setiap periode pembukuan.
Pembayara bunga selalu tetap, tanpa terpengaruh dengan usaha yang dibiayai, baik untung ataupun rugi. Pembayaran bagi hasil dapat naik dan turun ( fluktuatif ) tergantung dengan kondisi usaha yang diiayai. Ada kalangya untung dan ada kalanya merugi. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat, meskipun usaha yang dibiayai meningkat, juga debitur tetap akan membayar bunga, meskipun usaha yang dibiayai merugi atau bahkan bangkrut.  Jumlah pembayaran bagi hasi akan meningkat dengan meningkatnya hasil usaha, juga akan menurun bahkan tidak memberi bagi hasil karena usahanya merugi dan bangkrut.
Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama samawi. Tidak ada satupun agama samawi yang mengecam sistem bagi hasil.[9] 
Dalam hukum Islam penerapan bagi hasil harus memerhatikan prinsip At Ta awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama diantara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Serta menghindari prinsip Al-iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (tidak digunakan untuk transaksi) sehingga tidak bermanfaat bagi masyarakat umum.
Untuk memahami penerapan skim bagi hasil pada operasional bank Islam terlebih dahulu harus memerhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Pendapatan yang Akan Dibagikan
Dari sekian banyak diterima oleh bank Islam, maka hanya pendapatan yang diperoleh secara langsung dari hasil pengelolaan dana menggunakanskim bagi hasil saja yang dapat dibagi hasilkan kembali, sedangkan pendapatan fee atas jasa bukan merupakan hasil pengelolaan sehingga tidak dibagi hasilkan ( merupakan hak bank ). Jadi pengertian sumber pendapatan yang dapat dibagi hasilkan kembali disini adalah:
a.       Penerimaan dari margin pembiayaan dan darai bagi hasil pembiayaan
b.      Pendapatan dari investasi pada surata berharga atau penempatan dari Bank Islam lain.
2.      Bentuk Pengungkapan Bagi Hasil
Adapun tata cara distribusi bagi hasil yang perlu diungkapkan dan disampaikan kepada nasabah, antara lain:
a.       Metode digunakan bank, sebagai dasar penentuan bagian keuntungan atau kerugian dari dana mudharabah tersebut.
b.      Tingkat pengemballian danamudharabah
c.       Tingkat nisbah keuntugan yang telah disepakati dari setiap dana investasi.
3.      Sistem Pengelolaan Dana
Operasional bank Islam disamping menggunakan modal sendiri, juga menghimpun dana dari masyarakat juga menggunakan prinsip  wadiah (titipan) dan mudharabah (bagi hasil) dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito, selanjutnya dana tersebut disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan dengan menggunakan prinsip murabahah (jual beli), mudharabah (bagi hasil), musyarakah (partnership), ijarah (sewa), salam, istishna,  dan lain-lain.
Masyarakat menempatkan dana dalam bentuk wadiah dengan maksud agar bank menjaga dananya dan setiap saat dana tersebut bisa diambil, sehingga atas dana wadiah  ini bank tidak memberikan bagi hasil atas hasil pengolahan, namun bank bertanggung jawab penuh atas dana tersebut. Tetapi bila bank mempunyai keluangan atas hasil pengolahan dana tersebut, maka bank dapat saja memberikan bonus kepada pemilik dana wadiah, hanya saja hal ini tidak boleh diperjanjikan dimuka.
Dana dalam bentuk mudharabah adalah merupakan bentuk investasi yang dipercaya pemilik dana kepada bank agar melakukan investasi disektor menguntugkan sehningga return/ hasil yang diperoleh dapat dibagi hasilkan sesuai nisbah disepakati diawal.[10]
4.      Faktor yang Memengarui Perhitungan Bagi Hasil
Didalam laporan keuangan bank Islam terdapat beberapa pos perkiraan yang menjadi/ memengaruhi unsur perhitungan bagi hasil, yaitu sebagai berikut:
a.       Pendapatan margin dan pendapatan bagi hasil, dihitung berdasarkan perolehan pendapatan pada bulan berjalan.
b.      Saldo dana pihak ketiga yang dihitun dengan menggunakan saldo rata-rata harian bulan bersangkutan.
c.       Pembiayaan dihitung berdasarkan saldo rata-rata harian bulan bersangkutan, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa yang diambil adalah saldo rata-rata harian bulan sebelumnya, dengan  alasan karena yang memengaruhi pendapatan bulan berjalan adalah pembiayaan bulan sebelumnya, sedangkan pembiayaan bulan berjalan baru akan diperoleh pendapatan pada bulan berikutnya.
d.      Investasi pada surat berharga/ penempatan pada bank Islam lain.
e.       Penentuan kapan bagi hasil efektif dibagikan kepada para pemilik dana, apakah mingguan, pada akhir bulan, pada tanggal valuta, pada tanggal jatuh tempo, pada akhir tahun dan lain-lain.
f.       Penggunaan bobot dalm menghitug besarnya dana pihak ketiga.[11]

Faktor yang Memengaruhi Bagi Hasil
            Kontrak bagi hasil (mudharobah) sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini perlu dipahami oleh semua phak supaya penerimaan hasil investasi yang diharapkan tidak mengecewakan. Muhammad (2003) membedakan fakor itu menjadi dua yakni:
a.       Faktor Langsung
Diantara faktor langsung (direct factor) yang dapat memengaruhi tingkat bagi hasil meliputi:  investmen rate, jumlah dana yang tersedia, dam nisbah bagi hasil.
-           Investmen rate, merupakan prosentase aktual dana yang dapat diinvestasikan dari total dana yang terhimpun. Jika 80% dana yang terhimun diinvstasikan. Berarti 20% nya dicadangkan untukmemenuhi kebutuhan likuiditas.
-          Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber yang dapat diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode: rata-rata saldo minimum bulanan dan rata-rata total saldo. Investmen rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia akan menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan.
-          Nisbah (Profit sharing ratio) merupakan proporsi pembagian hasil usaha
1.      Nisbah ditetapkan diawal perjanjian/ akad
2.      Nisbah satu BMT dengan BMT lainnya dapat berbeda, begitu juga antara debitur yang satu dengan yang lain.
3.      Nisbah juga dapat berbeda dari satu produk dengan produk yang lain.
4.      Nisbah juga dapat berbeda antara deposito dengan jangka waktu yang berbeda.
b.      Faktor Tidak Langsung
Faktor tidak langsung yang dapat memengaruhi tingkat bagi hasil meliputi: Penentuan butir pendapatan dan biaya serta kebijakan akutansi.
-          Penentuan biaya dan pendapatan
Shohibul dan mudhorib  akan melakukan  share baik dalam pendapatan maupun biaya. Pendapatan yang dibagihasilkan setelah dikurangi biaya dapat juga pendapatan kotor. Jika semua biaya ditanggung BMT maka hal ini disebut revenu sharing.
-          Kebijakan Akutansi
Bagi hasil akan dibayarkan sesuai dengan kebijakan akutansinya. Karena pengakuan pendapatan dan biaya sesuai dengan periode akutansi.[12]
Nisbah Bagi Hasil
            Nisbah  adalah: 1) Rasio atau perbandingan; Rasio pembagian keuntungan (bagi hasil) antara shahib al-mal dan mudharib. 2) Angka yang menunjukkan perbandingan satu nilai dan nilai lainnya secara nisbi, yang bukan perbandingan antara dua pos dalam laporan keuangan dan dapat dignakan untuk menilai kondisi perusahaan; sin. Rasio.
            Nisbah bagi hasil merupakan presentase keuntungan yang akan diperoleh shahibul mal dan mudharib yang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara keduanya. Jika usaha tersebut merugi akibat resiko bisnis, bukan akibat kelalaian mudharib, maka pembagian kerugiannya berdasarkan porsi modal yang disetor oleh masing-masing pihak. Karena seluruh modal yang ditanam dalam usaha mudharib milik shohibul mal, maka kerugian dari usaha tersebut ditanggung sepenuhnya oleh shohibul mal. Oleh karena itu, nisbah bagi hasil disebut juga dengan nisbah keuntungan.[13]

Macam-macam Nisbah
            Nisbah bagi hasil dapat dibedakan degan sebutan sebutan sebagai berikut:
a.       Nisbah Aktiva Tetap Terhadap Modal Bersih
Nisbah ini digunakan untuk menentukan tingkat investasi dalam aktiva tetap dengan modal yang dimiliki oleh pemilik usaha/ bisnis; dalam ketentuan bidang perbankan nisbah aktiva tetap terhadap modal bersih tidak boleh melebihi 50% (ratio of fixed asets to net worth).
b.      Nisbah at-Tanwil wa al-Wada’i
Merupakan Financing to deposit ratio (FDR). Rasio pembiayaan bank syari’ah dengan dana pihak ketiganya; Rasio penyaluran dan penghimpunan dana.
c.       Nisbah Fi Ihtiyathi Naqdi
Adalah Rasio cadangan tunai ( cash ratio); Bagian darai total aktiva bank komersional yang ditahan dalam bentuk aktiva yang mempunyai likuiditas tinggi untuk menghadapi penarikan uang oleh nasabah dan kewajiban keuangan lainnya.
d.      Nisbah Jariyah
Adalah Rasio lancar (quick ratio); perbandingan antara aktiva lancar dan kewajiaban jangka pendek
e.       Nisbah Jumlah Modal
Adalah rasio jumlah modal (total capital ratio)
f.       Nisbah Kas
Adalah Rasio kas (cash ratio)
g.      Nisbah Laba Bersih Terhadap Modal Bersih
Adalah Nisbah untuk menilai risiko kredit, yaitu kemampuan bisnis (kegiatan usaha) untuk menghasilkan laba dalam satu periode (rate of net profits to net worth).
h.      Nisbah Laba Terhadap Aktiva (ROA)
Adalah laba bersih dibagi total aktiva; ROA merupakan rasio atau nisbah utama untuk mengukur kemampuan dan efisiensi aktiva dalam menghasilkan laba (profitabilitas) (return of assets ROA).
i.        Nisbah Laba Terhadap Modal
Adalah laba bersih dibagi modal sendiri erupakan rasio atau nisbah profitabilitasyang mengukur tingkat kemampuan modal dalam menghasilkan laba bersih (return on equity/ ROE).
j.        Nisbah Likuiditas
Adalah nisbah yang mengukur kemampuan bank, perusahaan, atau peminjam untuk memenuhi kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo; nisbah ini dihitung dengan membagi akiva lancar dengan utang lancar (liquidity ratio).
k.      Nisbah Modal Primer Terhadap Aset
Adalah modal inti dibagi rata-rata total aset(primary capital toasets ratio).
l.        Nisbah Modal Sesuaian
Adalah rasio modal yang telah disesuaikan terhadap total aset; rasio ini digunakan dalam perhitungan modal bank dilakukan dalam memperhitungkan cadangan kerugian kredit macet, cadangan kerugian atau keuntungan surat berharga dikurangi dengan kredit yang diklasifikasikan macet ( adjusted capital ratio).
m.    Nisbah Modal Terhadap Risiko Aset
Adalah jumlah modal dibagi rata-rata total aset nilai setiap aset tersebut didasarkan pada bobot resikonya (capital to risk asets ratio).
n.      Nisbah Perputaran
Adalah nisbah yang menunjukkan tingkat  kecepatan konversi piutang menjadi kas atau lamanya perputaran aset menjadi kas (turnover ratio).
o.      Nisbah Si’ri al-Sahmi ila al-Ribhi
Adalah rasio pendapatan terhadap harga suatu saham  (price earning ratio- PER).
p.      Nisbah Utang Terhadap Modal Bersih
Nisbah ini digunakan untuk menetapkan proposi utang terhadap modal bersih yang digunakan dalam kegiatan usaha (ratio of debth to net worth).[14]

Karakteristik Nisbah Bagi Hasil
            Menurut Karim (2004), terdapat lima karakteristik  nisbah bagi hasil yang terdiri dari:
a.    Presentase
     Nisbah bagi hasil harus dinyatakan dalam presentase (%), bukan dalam nominal uang tertentu (Rp).
b.    Bagi Untung dan Bagi Rugi
     Pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan porsi modal masing-masing pihak.
c.    Jaminan
     Jaminan yang akan diminta terkait dengan character risk yang dimiliki oleh mudharib karena jika kerugian diakibatkan oleh mudhari,maka yang menanggungnya adalah mudharib. Akan tetapi, jika kerugian diakibatka oleh business risk. Maka shahibul mal tidak diperbolehkan untuk meminta jaminan kepada mudharib.
d.   Besaran Nisbah
     Angka besaran nisbah bagi hasil muncul sebagai hasil tawar-menawar yang dilandasi oleh kata sepakat dari pihak shahibul mal  dan  mudharib.

e.    Cara Menyelesaikan Kerugian
     Kerugian akan ditanggung dari keuntungan terlebih dahulu karena keuntungan adalah pelindung modal. Jika kerugian melebihi keuntungan, maka akan diambil dari pokok modal.[15]

Cara Penetapan Nisbah Bagi Hasil
            Nisbah bagi hasil dapat dicari dengan memperhatikan jenis aktivitas bank Syari’ah. Aktivitas bank syari’ah dalam memberi dan membuat hasil atau keuntngan dapat diperoleh dengan aktivitas diantaranya:
a.      Nisbah Untuk Funding (Pengumpulan Dana)
Bagi nasabah yang menginvestasikan dananya di bank syari’ah dalam bentuk investasi mudharabahi, maka investor akan mendapatka n bagi hasil yang didasarkan pada nisbah yang dibuat oleh bank. Adapun cara bank syari’ah dalam menentukan nisbah produk pendanaan, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Hitung pendapatan bank, misalnya sebesar 15,32% p.a (per.annual)
2.      Hitung biaya-biaya (historical data, misalnya over head cost sebesar = 4%, Penghapusan Penyisihan Aktiva Produktif  (PPAP) sebesar = 1% p.a (per annual)
3.      Tentukkan harapan keuntungan, misalnya 3% p.a (per.annual)
4.      Hitung nisbah untuk bank = (biaya+harapan keuntungan) : pendapatan.
Atau = (5%+3%): 15,32% = 52,2%
Nisbah maksimal produk untuk nasabah = 100% - nisbah bank = 100% - 52,2% = 47.8%

            Idealnya, besaran nisbah yang digunakan adalah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang berontak, utamanya untuk kontrak mudharabah muqayyadah, namun untuk kontak mudharabah mutlaqah pada perbankan syari’ah dapat ditentukan oleh bank. Sebab, pembagian hasilnya sudah tersistem melalui komputerisasi. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar-menawar antara shahib al mal denngan mudharib. Dengan demikian, angka nisbah ini bervariasi, misalnya= 50 : 50, 60 : 40, 70:30, 80 : 20, bahkan 99 : 1, untuk bank dengan nasabah atau sebaliknya. Namun para ahli fikih sepakat bahwa nisbah 100 : 0 tidak diperbolehkan.
            Dalam praktiknya di perbankan modern, tawar-menawar nisbah antara pemilik modal (yakni investor atau deposan) dan bank syari’ah hanya terjadi bagi deposan/ investor dengan jumlah besar, karena mereka ini memiliki daya tawar yang relatif tinggi. Kondisi seperti ini disebut sebagai special nisbah.
            Sedangkan untuk nasabah deposan kecil, biasanya tawar-menawr tidak terjadi. Bank syari’ah hanya mencantumkan nisbah yang ditawarkan, setelah itu deposan boleh setuju boleh juga tidak. Bila setuju, maka ia akan melanjutkan menabung. Bila tidak setuju, ia dipersilahkan mencari bank syari’ah lain yang menawarkan nisbah yang lebih menarik.[16]
b.      Nisbah Untuk Financing atau Pembiayaan
Karim (2004) menyatakan bahwa, bank syari’ah menerapkan nisbah bagi hasil terhadap produk-produk pembiayaan yang berbasis Natural Uncertainty Contracts (UNC), yakni akad bisnis yang tidak memberikan kepastian return seperti mudharabah  dan musyarakah , dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu referensi marjin keuntungan dan perkiraan keuntungan usaha yang dibiayai bank.
1.    Referensi Marjin Keuntungan
Referensi tingkat marjin keuntungan adalah penetapan marjin bagi hasil pembiayaan berdasarkan usul, rekomendasi, dan saran dari tim Asset and Liabilities Committe (ALCO) dengan mempertimbangkan kriteria berikut:
a.       Direct Competitor Market Rate (DCMR)
Tingkat marjinkeuntungan rata-rata perbankan syari’ah, atau tingkat marjin keuntungan rata-rata beberapa bank syari’ah yang ditetapkan ALCO sebagai pesaing langsung, atau tingkat marjin keuntungan bank syari’ah tertentu yang ditetapka sebagai pesaing langsung terdekat.
b.      Indirect Competitor Market Rate (ICMR)
Tingkat suku bunga rata-rata perbankan konvensional, atau tingkat suku bunga rata-rata beberapa bank konvensional yang ditetapkan ALCO sebagai pesaing tidak langsung, tingkat suku bunga bank konvensional tertentu yang ditetapkan sebagai pesaing tidak langsung terdekat.
c.       Expected Competitive Return for Investor (ECRI)
Target bagi hasil kompetitif yang diharapan dapat diberikan kepada nasabah pihak ketiga (investor).
d.      Acquiring Cost
Biaya yang dikeluarkan oleh bank dan langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana dari pihak ketiga.
e.       Overhead Cost
Biaya yang dikeluarkan oleh bank yang tidak langsug terkait dengan upaya untuk memperoleh dana dari pihak ketiga.[17]

2.    Perkiraan Tingkat Keuntugan Usaha yang Dibiayai
Perkiraan tingkat keuntungan usaha dihitung dengan mempertimbangkan kriteria berikut ini:
a.       Perkiraan Penjualan
Terdiri dari perkiraan volume penjuala setiap bulan atau transaksi, frekuensi penjualan setiap bulan, fluktuasi harga penjualan, rentang harga penjualan yang dapat dinegoisasikan, dan marjin keuntungan setiap transakasi.
b.      Lama Cash to Cash Cyle
Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menapatkan cash  kembali atau jumlah dari antara arus kas keluar pertama dengan arus kas masuk berikutnya yang melibatkan antara lain: Lamanya persediaan, lamanya proses barang, dan lamanya piutang dagang. Cash to Cash Cyle disebut juga dengan Cash Conversion Cyle.
c.       Perkiraan Biaya Langsug
Merupakan perkiraan-perkiraan biaya yang langsung berhubungan dengan kegiatan penjualan, seperti biaya pengangkutan, biaya pengemasan dan biaya lain yang termasuk kedalam Cost of Goods Sold (COGS).
d.      Perkiran Biaya Tidak Langsung
Merupakan perkiaan biaya-biaya yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan penjualan, seperti biaya sewa kantor, biaya gaji karyawan, dan biaya-biaya lain yang termasuk ke dalam Overhead Cost (OHC).
e.       Delayed Factor
Delayed Factor adalah waktu yang ditambahkan pada cash to cash cyle untuk mengantisipasi timbulnya keterlambatan pembayaran dari mudharib  kepada bank.[18]

Metode Penentuan Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan
            Berdasarkan pertimbangan referensi tingkat marjin keuntungan dan perkiraan usaha mudharib, Karim (2004) membagi metode penentuan nisabah bagi hasil pembiayaan menjadi tiga bagian, yaitu Penentuan Nisbah Bagi Hasil keuntunan, Penentuan Nisbah Bagi Hasil Pendapatan, dan yang terahir Penentuan Nisbah Bagi Hasil Penjualan. Selain metode diatas, menurut Siagian (2004), nisbah bagi hasil dapat dihitung berdasarkan pendekatan tawar-menawar
1.      Penentuan Nisbah Bagi Hasil Keuntungan
Nisbah bagi hasil pembiayaan untuk bank ditentukan dangan cara membagi perkiraan keuntungan usaha mudharib dengan frekuensi tingkat marjin keuntungan. Maka, nisbah bagi hasil untuk mudharib adalah seratus persen dikurangi dengan nisbah bagi hasil bagi bank.
Contoh
2.      Penentuan Nisbah Bagi Hasil Pendapatan
Nisbah bagi hasil pembiayaan untuk bank ditentukan dengan cara membagi perkiraan pendapatan (perkiraan tingkat keuntungan tanpa mempertimbangkan biaya overhead dengan referensi tingkat keuntungan. Maka, nisbah bagi hasil untuk mudharib adalah seratus perse dikurangi dengan nisbah bagi hasil bagi bank.
contoh
3.      Penentuan Nisbah Bagi Hasil Penjualan
Nisbah bagi hasil pembiayaan untuk bank ditentukan dengan cara membagi perkiraan penerimaan penjualan (perkiraan tingkat keuntungan tanpa mempertimbangkan biaya langsung dan biaya overhead ) dengan perkiraan pendapatan dan referensi tingkat keuntungan. Maka, nisbah bagi hasil untuk mudharib adalah seratus persen dikurangi dengan nisbah bagi hasil bagi bank.
Contoh
4.      Pendekatan Tawar Menawar
Menurut pendekatan ini, semakin tinggi nisbah bagi hasil yang diisyaratkan oleh bank dan disetujui mudharib, semakin besar kesediaan bank untuk membiayai proyek tersebut. Sebaliknya untuk mudharib, semakin tinggi nisbah bagi hasil yang diisyaratkan oleh bank,  semain sulit kesediaan mudharib untuk menerima dana dari bank, begitu pula sebaliknya.[19]
Contoh
Bagi Untung dan Bagi Rugi pada Akad Bagi Hasil
Dalam kontrak mudharabah, return dan timing cash flow tergantung pada kineja sektor riilnya. Bila laba bisnisnya besar, maka kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian yang kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk presentase, buka dalam bentuk nominal rupiah tertentu.
Bila bisnis dalam akad mudharabah  ini mendaangkan kerugian, maka pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Itulah alasan mengapa nisbahnya disebut sebagai nisbah keuntungan. Bukan nisbah saja, yakni karena nsbah 50:50 atau 99:1 itu, hanya diterapkan bila bisnisnya untung.
Bila bisnis rugi, kerugiannya itu harus dibagi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak, bukan berdasarkan nisbah. Karena ada perbedaan kemampuan untuk mengabsorbsi/ menanggung kerugian diantara kedua belah pihak. Bila untung, tidak ada masalah untuk mngebsorpsi/ menikmati untung karena sebesar apapun keuntungan yang terjadi, kedua belah pihak akan selalu dpat menikmati keuntungan itu.
Lain halnya kalau bisnisnya merugi. Kemampuan shahib al-mal untuk menangugng kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudharib. Denga demikian karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal (finansial) shahib al-mal  dalam kontrak ini adalah 100% , maka kerugian finansial ditanggung 100% ula oleh shahib al-mal.
Di lain pihak, karena proporsi modal (finansial) mudharib  dalam kontrak ini adalah 0%, anadaikata terjadi kerugian, mudharib akan menaggung kerugian (finansial) sebesar 0% pula. Bila bisnis rugi, sesungguhnya mudharib akan menanggung kerugian hilangnya kerja, usaha dan waktu yang telah ia curahkan untuk menjalankan bisnis itu. Jadi, sebenarnya kedua belah pihak sama-sama menanggung kerugian, namun bentuk kerugian yang ditanggung oleh keduanya berbeda sesuai dengan objek mudharabah yang dikontribusikannya.
Bila yang dikontribusikan adalah uang, resikonya adalah hilangnya uang tersebut. Sedangkan bila yang di kontribusikan adalah kerja, resikonya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktunya dengan tidak mendpatkan hasil apapun atas jerih payahnya selama berbisnis.[20]

Jaminan pada Kerugian Akad Bagi Hasil
            Pada akad mudharabah, ketentuan pemmbagian kerugian hanya berlaku bila kerugian yang terjadi hanya murni diakibatkan oelh resiko bisnis (business risk), bukan karena resiko karakter buruk mudharib (character risk). Bila kerugian terjadi karena karakter buruk, misalnya karena mudharib lalai dan atau melanggar peryaratan-persyaratan kontrak mudharabah, shahibal mal  tidak perlu menanggung kerugian yang seperti ini.
            Terkait dengan jaminan para fuqaha berpendapat bahwa ada prinsipya tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana dalam akad syirkah  lainnya. Jelas hal ini konteksnya adalah business risk. Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakiatnya menjadi wakil dari shohibul mal dalam mengelola dana dengan seizin shohibul maal, sehingga wajiblah baginya berlaku amanah.
            Jika mudharib melakka keteledoan, kelainan, kecerobohan, dalam merawat dan menjaga dana yatiu melakukan pelanggaran, kesalahan dan kelwatan dalam perilakunya yang tidak termasuk bisnis mudharabah yang disepakati, atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati, mudharabah tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung jawabnya. Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zalim karena ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya diluar ketentuan yang disepakati.
Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa kehadiran atau sepengetahuan shahibul mal sehingga shahibul mal dirugikan. Jelas hal ini konteksnya adalah character risk . Untuk menghindari adanya moral hazard  dari pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, shahib mal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahibul mal jika ternyata timbul kerugian karena mudharib  melakukan kesalahan yakni lalai atau ingkar janji.
Jadi tujuan pengenaan dalam akad mudharabah untuk menghindari moralm hazard mudharib, bukan  untuk mengamankan nilai investasi jika kita terjadi kerugian karena faktor resiko bisnis. Tegasnya, bila kerugian yang timbul disebabkan karena faktor resiko bisnis, maka jaminan mudharib  tidak dapat disita oleh shahibul mal.[21]

Bagi Hasil Perkembangan Bank Syari’ah
            Keuntungan yang akan diperoleh dengan berhasilnya pelaksanaan sistem bagi hasil dalam produk mudharabah dan musyarakah oleh perbankan:
1.      Stabilitas dan pertumbuhan perbankan syari’ah yang ditopang oleh pertumbuhan riil ekonomi masyarakat. Pertumbuhan riil ekonomi masyarakat akan memberikan jaminan stabilitas dan pertumbuhan perbankan syari’ah karena akan terbentuk alian dana yang terus berjalan dari masyarakat yang telah mandiri secara ekonomi ke perbankan syari’ah.
2.      Pebankan syari’ah di Indonesia akan mampu bersaing dengan perbankan konvensiona dipasar bebas melalui sistem yang berbeda dengan ciri-ciri pemeberdayaan. Keadilan, dan efektif dalam perekonomian rakyat.
3.      Meningkatnya peran perbankan syari’ah dalam proses pembangunan nasional dalam bidang kemandirian ekonomi masyarakat sehingga perbankan syari’ah akan menjadi pilar pembangunan bangsa.

Optimalisasi pelaksanaan sistem bagi hasil dalam produk mudharabah dan musyarakah sebagai suatu sistem syari’ah adalah market positioning yang perlu diperjuaankan dan hali ini merupakan suatu tantangan di perbankan nasional ditengah peluang-peluang yang terbuka lebar. Tantangan ini hanya akan terjawab apabilaterdapat komitmen yang kuat dan kerjasama diantara lemabaga-lembaga yang konsern terhadap pengembangan perbankan syari’ah melalui optimalisasi sistem bagi hasil.[22]


[1] Muhammad, Teknik perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2001).
[2] Hamzah Ya’qub, Etika Dagang dalam Islam, (Dipoengoro: 1992), Hlm. 265.
[3] Muhammad Asro dan Muhammad Kholid, Fiqh Perbankan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011). Hlm.140.
[4] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, ( Yogyakarta: UII Press 2004). Hlm. 120.                   
[5] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, ( Yogyakarta: UII Press 2004). Hlm. 121.
[6] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Teori da Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). Hlm. 90.
[7] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, ( Yogyakarta: UII Press 2004). Hlm. 122.
[8] Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Pricing di Bank Syari’ah, (  Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 96.
[9] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, ( Yogyakarta: UII Press 2004). Hlm. 123.
[10] Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: sebuah teori, konsep dan aplikasi,(Jakarta: Bumi Aksara 2010). Hlm. 801.
[11] Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: sebuah teori, konsep dan aplikasi,(Jakarta: Bumi Aksara 2010). Hlm. 802
[12] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, ( Yogyakarta: UII Press 2004). Hlm. 123-124.
[13] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2016). Hlm. 101
[14] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2016). Hlm. 102-103.
[15]Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2016). Hlm. 103-104.
[16] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 102-103.
[17] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 104-105.
[18] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 105.
[19] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 106-108
[20] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 109-110
[21]Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 110-111
[22]Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 111-112


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Kewirausahaan: Transformasi, Inovasi dan Kreativitas Kewirausahaan

RESUME TRANSFORMASI KEWIRAUSAHAAN, TEORI INOVASI DAN KREATIVITAS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: KEWIRAUSAHAAN Dosen Peng...