MAKALAH
CARA MENENTUKAN NISBAH DAN BAGI HASIL
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah:
KONSEP DAN TEHNIK BAGI
HASIL
Dosen
Pengampu:
Sulistyowati, S. HI, M.EI

Disusun
oleh :
Retno Sulistiyani 931335515
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2017
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bagi Hasil dan Nisbah
Bagi
hasil juga biasa dikenal dengan istilah profit sharing. Menurut kamus
ekonomi profit sharing berarti
pembagian laba. Namun secara istilah, profit sharing merupakan
distribusi beberapa bagian laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.[1]
Bentuk-bentuk distribusi ini dapat berupa pembagian laba pada akhir tahun
ataupun karena bonus prestaasi.
Menurut Hamzah Ya’qub, kerja sama bagi hasil (mudharabah) hukumnya boleh (ja’iz).
Menurutnya, Rasulullah SAW. Sebelum tugas kerasulannya telah melakukan mudharabah
dengan khadijah. Beliau mendapatkan modal dari Khadijah, kemudian pergi
berniaga ke negeri Syam.[2]
Dengan demikian, praktek kerja sama bagi hasil sudah berlaku pada
masa sebelum Islam. Kemudian, datanglah syari’at Islam membenarkannya lalu
dipraktikkan pada zaman Rasulullah dan seterusnya hingga sekarang.[3]
Dalam mekanisme keuangan Syari’ah, model bagi hasil ini berhubungan dengan usaha
pengumpulan dana (funding) maupun pelemparan dana/ pembiayaan (financing).
Terutama yang berkaitan dengan produk penyertaan atau kinerja sama usaha.
Didalam pengembangan produknya, dikenal dengan istilah shohinbul maal dan mudhorib. Shohibul mal adalah pemilik dana yang mempercayakan dananya kepada
lembaga keuangan Syari’ah (bank dan BMT) untuk dikelola. Sedangkan Mudhorib merupakan
kelompok orang atau badan yang memperoleh dana untuk dijadikan modal usaha atau
investasi.
Dalam sistem ini, BMT akan memerankan fungsi ganda. Pada tahap funding, ia berperan sebagai Mudorib dan karenanya dana yang terkumpul
harus dikelola secara optimal. Namun pada financing, BMT akan berperan
selaku shohibul mal dan karenanya ia harus menginvestasikan dananya pada
usaha-usaha yang halal dan menguntungkan. Kerja sama para pihak sistem bagi
hasil ini harus dijalankan secara transparan dan adil. Karena untuk mengetahui
tingkat bagi hasil pada periode tertentu itu tidak dapat dijalankan kecuali
harus ada laporan keuangan atau pengakuan yang terpercaya. Pada tahap
perjanjian kerja sama ini disetujui oleh para pihak, maka semua aspek yang
berkaitan dengan usaha harus disepakati dalam kontrak, agar antar pihak dapat
saling mengingatkan.[4]
Kemudian Nisbah, merupakan proporsi pembagian hasil. Bagitu pula
dalam pembiayaan bagi hasil. Debitur harus melaporkan usahanya, sehingga dapat
diketahui nilai bagi hasilnya. Untuk menetukan tingkat bagi hasilnya, BMT akan
menghitung setiap bulan atau setiap periode tertentu sesuai dengan periode
perhitungan pendapatan usaha, itulah yang kemudian didistribusikan kepada para
nasabah atau anggota. Oleh karenanya, nasabah perlu mengetahui tingkat nisbah
masing-masing produk.
Nisbah ini akan ditetapkan dalam akad atau perjanjian. Sebelum akad
di tandatangani, nasabah/ anggota dapat menawar sampai pada tahap kesepakatan.
Hal ini tentunya berbeda dengan sistem bunga, yakninasabah selalu pada posisi
pasif dan ‘dikalahkan’, karena pada umumnya buga menjadi kewenangan pihak bank.
Kesepakatan tentang nisbah ini selanjutnya bertuang dalam akad. Atas dasar
laporan dari nasabah atau anggota, manajemen BMT akan membuat perhitungan bagi
hasilnya sesuai dengan nisbah tersebut.
Dengan demikian, model bagi hasil ini tidak mengenal istilah beban
pasti (Fixed cost). Karena nilai bagi hasil akan didapat setelah terjadi
pembukuan usaha. Bagi lembaga kauangan Syari’ah, tidak akan terjadi negatif
spread sebagai mana pada lembaga keuangan konvensiaonal. Karena bagi hasil
dana akan dibayar setelah para debitor membayar bagi hasil pula. Dan bagi
debitor tidak akan menjual barangnya dengan harga yang tinggi., karena bagi
hasil tidak mungkin dihitung sebagai bagian dari biaya produksi. Bagi hasil
akan dibayar setelah terjadi penjualan, itupun kemungkinannya dapat saja tidak
memberi bagi hasil karena memang usahanya merugi.[5]
Dari
mekanisme tersebut, sistem bagi hasil lebih kompetitif . Konsumen tetap akan
mendapatkan harga jual produk dengan harga yang wajar, meskipun situasinya
krisis. Karena harga jual tidak terpengaruh dengan tingkat bagi hasil. Pada
saat ekonomi booming atau membaik, BMT akan ikut menikmati keadaan ini.
Karena bagi hasil yang dibayar sangat berkaitan dengan pendapatan debitur.
Selanjutnya para pemilik dana (shohibul mal) akan mendapatkan nilai bagi
hasil yang meningkat pula. Itulah sebabnya, dalam sistem bagi hasil hubugan
antara shohibul mal dan mudhorib sangat erat. Dalam sistem keuangan Syari’ah
dan BMT, model bagi hasil hanya berlaku untuk akad penyertaan usaha atau kerja
sama usaha (partnership, project financing partisipation).[6]
Dalam
konteks ini,bagi hasil berbeda dengan bunga. Perbedaan yang mendasar antara
sistem keuangan konvensional dengan Syari’ah terletak pada mekanisme memperoleh
pendapatan, yakni bunga dan bagi hasil. Sehingga untuk mempertegas perbedaan
keduanya, dibawah ini disajikan tebel perbedaannya. Dengan tabel ini
diharapkan dapat mempermudah dalam
memahami bagi hasil dan bunga.[7]
Tabel Perbedaan
Sistem Bunga dengan Sistem Bagi Hasil
BUNGA
|
BAGI HASIL
|
a)
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu
untung
|
a)
Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil ditetapkan pada waktu
akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi.
|
b)
Besarnya presentasi berdasarkan pada jumlah uang atau modal yang
diinginkan
|
b)
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntugan yang
diperoleh
|
c)
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan
apakah proyek yang dijanjikan oleh pihak nasabah untung atau rugi
|
c)
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan.
Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung ersama oleh kedua belah pihak
|
d)
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat, sekalipun jumlah
keuntunganberlipat atau keadaan ekonomi sedang booming
|
d)
Jumlah pembagian laba menigkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan
|
e)
Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama, termasuk Islam
|
e)
Tidak ada yang meragukan keabsahan sistem bagi hasil.[8]
|
Penentuan Bunga
Bagi Hasil
Penentuan
bunga dibuat pada waktu akad. Didepan dibitur sudah terbebani biaya tetap.
Penentuan bagi hasil ini dihitung pada akhir periode. Pada waktu akad akan
disepakati tingkat nisbahnya/ proporsi bagi hasil.
Besarnya
bunga dihitung dari perkaliannya dengan modal yang dipinjam atau disimpan.
Besarnya bagi hasil dihitung dari perkalian nisbah dengan pendapatan
atau laba pada setiap periode pembukuan.
Pembayara
bunga selalu tetap, tanpa terpengaruh dengan usaha yang dibiayai, baik untung
ataupun rugi. Pembayaran bagi hasil dapat naik dan turun ( fluktuatif )
tergantung dengan kondisi usaha yang diiayai. Ada kalangya untung dan ada
kalanya merugi. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat, meskipun usaha yang
dibiayai meningkat, juga debitur tetap akan membayar bunga, meskipun usaha yang
dibiayai merugi atau bahkan bangkrut.
Jumlah pembayaran bagi hasi akan meningkat dengan meningkatnya hasil
usaha, juga akan menurun bahkan tidak memberi bagi hasil karena usahanya merugi
dan bangkrut.
Eksistensi
bunga diragukan oleh semua agama samawi. Tidak ada satupun agama samawi yang
mengecam sistem bagi hasil.[9]
Dalam
hukum Islam penerapan bagi hasil harus memerhatikan prinsip At Ta awun,
yaitu saling membantu dan saling bekerja sama diantara anggota masyarakat untuk
kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an “dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.” Serta menghindari prinsip Al-iktinaz,
yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (tidak digunakan untuk
transaksi) sehingga tidak bermanfaat bagi masyarakat umum.
Untuk
memahami penerapan skim bagi hasil pada operasional bank Islam terlebih dahulu
harus memerhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Pendapatan yang Akan Dibagikan
Dari sekian banyak diterima oleh bank Islam, maka hanya pendapatan
yang diperoleh secara langsung dari hasil pengelolaan dana menggunakanskim bagi
hasil saja yang dapat dibagi hasilkan kembali, sedangkan pendapatan fee
atas jasa bukan merupakan hasil pengelolaan sehingga tidak dibagi hasilkan (
merupakan hak bank ). Jadi pengertian sumber pendapatan yang dapat dibagi
hasilkan kembali disini adalah:
a.
Penerimaan dari margin pembiayaan dan darai bagi hasil pembiayaan
b.
Pendapatan dari investasi pada surata berharga atau penempatan dari
Bank Islam lain.
2.
Bentuk Pengungkapan Bagi Hasil
Adapun tata cara distribusi bagi hasil yang perlu diungkapkan dan disampaikan
kepada nasabah, antara lain:
a.
Metode digunakan bank, sebagai dasar penentuan bagian keuntungan
atau kerugian dari dana mudharabah tersebut.
b.
Tingkat pengemballian danamudharabah
c.
Tingkat nisbah keuntugan yang telah disepakati dari setiap dana
investasi.
3.
Sistem Pengelolaan Dana
Operasional bank Islam disamping menggunakan modal sendiri, juga
menghimpun dana dari masyarakat juga menggunakan prinsip wadiah (titipan) dan mudharabah (bagi
hasil) dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito, selanjutnya dana tersebut
disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan dengan menggunakan
prinsip murabahah (jual beli), mudharabah (bagi hasil), musyarakah
(partnership), ijarah (sewa), salam, istishna, dan lain-lain.
Masyarakat menempatkan dana dalam bentuk wadiah dengan
maksud agar bank menjaga dananya dan setiap saat dana tersebut bisa diambil,
sehingga atas dana wadiah ini
bank tidak memberikan bagi hasil atas hasil pengolahan, namun bank bertanggung
jawab penuh atas dana tersebut. Tetapi bila bank mempunyai keluangan atas hasil
pengolahan dana tersebut, maka bank dapat saja memberikan bonus kepada pemilik
dana wadiah, hanya saja hal ini tidak boleh diperjanjikan dimuka.
Dana dalam bentuk mudharabah adalah merupakan bentuk
investasi yang dipercaya pemilik dana kepada bank agar melakukan investasi
disektor menguntugkan sehningga return/ hasil yang diperoleh dapat dibagi hasilkan
sesuai nisbah disepakati diawal.[10]
4.
Faktor yang Memengarui Perhitungan Bagi Hasil
Didalam laporan keuangan bank Islam terdapat beberapa pos perkiraan
yang menjadi/ memengaruhi unsur perhitungan bagi hasil, yaitu sebagai berikut:
a.
Pendapatan margin dan pendapatan bagi hasil, dihitung berdasarkan
perolehan pendapatan pada bulan berjalan.
b.
Saldo dana pihak ketiga yang dihitun dengan menggunakan saldo
rata-rata harian bulan bersangkutan.
c.
Pembiayaan dihitung berdasarkan saldo rata-rata harian bulan bersangkutan,
ada pula pendapat yang menyatakan bahwa yang diambil adalah saldo rata-rata
harian bulan sebelumnya, dengan alasan
karena yang memengaruhi pendapatan bulan berjalan adalah pembiayaan bulan
sebelumnya, sedangkan pembiayaan bulan berjalan baru akan diperoleh pendapatan
pada bulan berikutnya.
d.
Investasi pada surat berharga/ penempatan pada bank Islam lain.
e.
Penentuan kapan bagi hasil efektif dibagikan kepada para pemilik
dana, apakah mingguan, pada akhir bulan, pada tanggal valuta, pada tanggal
jatuh tempo, pada akhir tahun dan lain-lain.
f.
Penggunaan bobot dalm menghitug besarnya dana pihak ketiga.[11]
Faktor yang
Memengaruhi Bagi Hasil
Kontrak bagi hasil (mudharobah) sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini perlu dipahami
oleh semua phak supaya penerimaan hasil investasi yang diharapkan tidak
mengecewakan. Muhammad (2003) membedakan fakor itu menjadi dua yakni:
a.
Faktor Langsung
Diantara faktor langsung (direct factor) yang dapat
memengaruhi tingkat bagi hasil meliputi: investmen rate, jumlah dana yang tersedia,
dam nisbah bagi hasil.
-
Investmen rate, merupakan prosentase aktual dana yang dapat diinvestasikan dari
total dana yang terhimpun. Jika 80% dana yang terhimun diinvstasikan. Berarti
20% nya dicadangkan untukmemenuhi kebutuhan likuiditas.
-
Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah
dana dari berbagai sumber yang dapat diinvestasikan. Dana tersebut dapat
dihitung dengan menggunakan salah satu metode: rata-rata saldo minimum bulanan dan
rata-rata total saldo. Investmen rate dikalikan dengan jumlah dana yang
tersedia akan menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan.
-
Nisbah (Profit sharing ratio) merupakan proporsi pembagian
hasil usaha
1.
Nisbah ditetapkan diawal perjanjian/ akad
2.
Nisbah satu BMT dengan BMT lainnya dapat berbeda, begitu juga
antara debitur yang satu dengan yang lain.
3.
Nisbah juga dapat berbeda dari satu produk dengan produk yang lain.
4.
Nisbah juga dapat berbeda antara deposito dengan jangka waktu yang
berbeda.
b.
Faktor Tidak Langsung
Faktor tidak
langsung yang dapat memengaruhi tingkat bagi hasil meliputi: Penentuan butir
pendapatan dan biaya serta kebijakan akutansi.
-
Penentuan biaya dan pendapatan
Shohibul dan mudhorib
akan melakukan share baik dalam pendapatan maupun biaya.
Pendapatan yang dibagihasilkan setelah dikurangi biaya dapat juga pendapatan
kotor. Jika semua biaya ditanggung BMT maka hal ini disebut revenu sharing.
-
Kebijakan Akutansi
Bagi hasil akan dibayarkan sesuai dengan kebijakan akutansinya.
Karena pengakuan pendapatan dan biaya sesuai dengan periode akutansi.[12]
Nisbah Bagi Hasil
Nisbah adalah: 1) Rasio atau
perbandingan; Rasio pembagian keuntungan (bagi hasil) antara shahib al-mal dan
mudharib. 2) Angka yang menunjukkan perbandingan satu nilai dan nilai
lainnya secara nisbi, yang bukan perbandingan antara dua pos dalam laporan
keuangan dan dapat dignakan untuk menilai kondisi perusahaan; sin.
Rasio.
Nisbah bagi hasil
merupakan presentase keuntungan yang akan diperoleh shahibul mal dan mudharib
yang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara keduanya. Jika usaha
tersebut merugi akibat resiko bisnis, bukan akibat kelalaian mudharib, maka
pembagian kerugiannya berdasarkan porsi modal yang disetor oleh masing-masing
pihak. Karena seluruh modal yang ditanam dalam usaha mudharib milik shohibul
mal, maka kerugian dari usaha tersebut ditanggung sepenuhnya oleh shohibul
mal. Oleh karena itu, nisbah bagi hasil disebut juga dengan nisbah
keuntungan.[13]
Macam-macam Nisbah
Nisbah bagi hasil dapat dibedakan degan sebutan sebutan sebagai
berikut:
a.
Nisbah Aktiva Tetap Terhadap Modal Bersih
Nisbah ini
digunakan untuk menentukan tingkat investasi dalam aktiva tetap dengan modal
yang dimiliki oleh pemilik usaha/ bisnis; dalam ketentuan bidang perbankan
nisbah aktiva tetap terhadap modal bersih tidak boleh melebihi 50% (ratio of
fixed asets to net worth).
b.
Nisbah at-Tanwil wa al-Wada’i
Merupakan Financing
to deposit ratio (FDR). Rasio pembiayaan bank syari’ah dengan dana pihak
ketiganya; Rasio penyaluran dan penghimpunan dana.
c.
Nisbah Fi Ihtiyathi Naqdi
Adalah Rasio
cadangan tunai ( cash ratio); Bagian darai total aktiva bank komersional
yang ditahan dalam bentuk aktiva yang mempunyai likuiditas tinggi untuk
menghadapi penarikan uang oleh nasabah dan kewajiban keuangan lainnya.
d.
Nisbah Jariyah
Adalah Rasio
lancar (quick ratio); perbandingan antara aktiva lancar dan kewajiaban
jangka pendek
e.
Nisbah Jumlah Modal
Adalah rasio
jumlah modal (total capital ratio)
f.
Nisbah Kas
Adalah Rasio
kas (cash ratio)
g.
Nisbah Laba Bersih Terhadap Modal Bersih
Adalah Nisbah
untuk menilai risiko kredit, yaitu kemampuan bisnis (kegiatan usaha) untuk
menghasilkan laba dalam satu periode (rate of net profits to net worth).
h.
Nisbah Laba Terhadap Aktiva (ROA)
Adalah laba
bersih dibagi total aktiva; ROA merupakan rasio atau nisbah utama untuk
mengukur kemampuan dan efisiensi aktiva dalam menghasilkan laba
(profitabilitas) (return of assets ROA).
i.
Nisbah Laba Terhadap Modal
Adalah laba
bersih dibagi modal sendiri erupakan rasio atau nisbah profitabilitasyang
mengukur tingkat kemampuan modal dalam menghasilkan laba bersih (return on
equity/ ROE).
j.
Nisbah Likuiditas
Adalah nisbah
yang mengukur kemampuan bank, perusahaan, atau peminjam untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo; nisbah ini dihitung dengan membagi
akiva lancar dengan utang lancar (liquidity ratio).
k.
Nisbah Modal Primer Terhadap Aset
Adalah modal
inti dibagi rata-rata total aset(primary capital toasets ratio).
l.
Nisbah Modal Sesuaian
Adalah rasio
modal yang telah disesuaikan terhadap total aset; rasio ini digunakan dalam
perhitungan modal bank dilakukan dalam memperhitungkan cadangan kerugian kredit
macet, cadangan kerugian atau keuntungan surat berharga dikurangi dengan kredit
yang diklasifikasikan macet ( adjusted capital ratio).
m.
Nisbah Modal Terhadap Risiko Aset
Adalah jumlah
modal dibagi rata-rata total aset nilai setiap aset tersebut didasarkan pada
bobot resikonya (capital to risk asets ratio).
n.
Nisbah Perputaran
Adalah nisbah
yang menunjukkan tingkat kecepatan
konversi piutang menjadi kas atau lamanya perputaran aset menjadi kas (turnover
ratio).
o.
Nisbah Si’ri al-Sahmi ila al-Ribhi
Adalah rasio
pendapatan terhadap harga suatu saham (price
earning ratio- PER).
p.
Nisbah Utang Terhadap Modal Bersih
Nisbah ini
digunakan untuk menetapkan proposi utang terhadap modal bersih yang digunakan
dalam kegiatan usaha (ratio of debth to net worth).[14]
Karakteristik Nisbah Bagi Hasil
Menurut Karim
(2004), terdapat lima karakteristik
nisbah bagi hasil yang terdiri dari:
a.
Presentase
Nisbah bagi hasil harus dinyatakan dalam
presentase (%), bukan dalam nominal uang tertentu (Rp).
b.
Bagi Untung dan Bagi Rugi
Pembagian keuntungan berdasarkan nisbah
yang telah disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan porsi modal
masing-masing pihak.
c.
Jaminan
Jaminan yang akan diminta terkait dengan character
risk yang dimiliki oleh mudharib karena jika kerugian diakibatkan
oleh mudhari,maka yang menanggungnya adalah mudharib. Akan
tetapi, jika kerugian diakibatka oleh business risk. Maka shahibul
mal tidak diperbolehkan untuk meminta jaminan kepada mudharib.
d.
Besaran Nisbah
Angka besaran nisbah bagi hasil muncul
sebagai hasil tawar-menawar yang dilandasi oleh kata sepakat dari pihak shahibul
mal dan mudharib.
e.
Cara Menyelesaikan Kerugian
Kerugian akan ditanggung dari keuntungan
terlebih dahulu karena keuntungan adalah pelindung modal. Jika kerugian
melebihi keuntungan, maka akan diambil dari pokok modal.[15]
Cara Penetapan Nisbah Bagi Hasil
Nisbah bagi hasil
dapat dicari dengan memperhatikan jenis aktivitas bank Syari’ah. Aktivitas bank
syari’ah dalam memberi dan membuat hasil atau keuntngan dapat diperoleh dengan
aktivitas diantaranya:
a.
Nisbah Untuk Funding (Pengumpulan Dana)
Bagi nasabah yang menginvestasikan dananya di bank syari’ah dalam
bentuk investasi mudharabahi, maka investor akan mendapatka n bagi hasil
yang didasarkan pada nisbah yang dibuat oleh bank. Adapun cara bank syari’ah
dalam menentukan nisbah produk pendanaan, dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
1.
Hitung pendapatan bank, misalnya sebesar 15,32% p.a (per.annual)
2.
Hitung biaya-biaya (historical data, misalnya over head
cost sebesar = 4%, Penghapusan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP) sebesar = 1% p.a (per annual)
3.
Tentukkan harapan keuntungan, misalnya 3% p.a (per.annual)
4.
Hitung nisbah untuk bank = (biaya+harapan keuntungan) : pendapatan.
Atau = (5%+3%):
15,32% = 52,2%
Nisbah maksimal
produk untuk nasabah = 100% - nisbah bank = 100% - 52,2% = 47.8%
Idealnya, besaran
nisbah yang digunakan adalah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing
pihak yang berontak, utamanya untuk kontrak mudharabah muqayyadah, namun
untuk kontak mudharabah mutlaqah pada perbankan syari’ah dapat
ditentukan oleh bank. Sebab, pembagian hasilnya sudah tersistem melalui
komputerisasi. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil
tawar-menawar antara shahib al mal denngan mudharib. Dengan
demikian, angka nisbah ini bervariasi, misalnya= 50 : 50, 60 : 40, 70:30, 80 :
20, bahkan 99 : 1, untuk bank dengan nasabah atau sebaliknya. Namun para ahli
fikih sepakat bahwa nisbah 100 : 0 tidak diperbolehkan.
Dalam praktiknya
di perbankan modern, tawar-menawar nisbah antara pemilik modal (yakni investor
atau deposan) dan bank syari’ah hanya terjadi bagi deposan/ investor dengan
jumlah besar, karena mereka ini memiliki daya tawar yang relatif tinggi.
Kondisi seperti ini disebut sebagai special nisbah.
Sedangkan untuk
nasabah deposan kecil, biasanya tawar-menawr tidak terjadi. Bank syari’ah hanya
mencantumkan nisbah yang ditawarkan, setelah itu deposan boleh setuju boleh
juga tidak. Bila setuju, maka ia akan melanjutkan menabung. Bila tidak setuju,
ia dipersilahkan mencari bank syari’ah lain yang menawarkan nisbah yang lebih
menarik.[16]
b.
Nisbah Untuk Financing atau Pembiayaan
Karim
(2004) menyatakan bahwa, bank syari’ah menerapkan nisbah bagi hasil terhadap
produk-produk pembiayaan yang berbasis Natural Uncertainty Contracts (UNC),
yakni akad bisnis yang tidak memberikan kepastian return seperti mudharabah
dan musyarakah , dengan
mempertimbangkan dua hal, yaitu referensi marjin keuntungan dan perkiraan
keuntungan usaha yang dibiayai bank.
1.
Referensi Marjin Keuntungan
Referensi
tingkat marjin keuntungan adalah penetapan marjin bagi hasil pembiayaan
berdasarkan usul, rekomendasi, dan saran dari tim Asset and Liabilities
Committe (ALCO) dengan mempertimbangkan kriteria berikut:
a.
Direct Competitor Market Rate (DCMR)
Tingkat
marjinkeuntungan rata-rata perbankan syari’ah, atau tingkat marjin keuntungan
rata-rata beberapa bank syari’ah yang ditetapkan ALCO sebagai pesaing langsung,
atau tingkat marjin keuntungan bank syari’ah tertentu yang ditetapka sebagai
pesaing langsung terdekat.
b.
Indirect Competitor Market Rate (ICMR)
Tingkat suku
bunga rata-rata perbankan konvensional, atau tingkat suku bunga rata-rata
beberapa bank konvensional yang ditetapkan ALCO sebagai pesaing tidak langsung,
tingkat suku bunga bank konvensional tertentu yang ditetapkan sebagai pesaing
tidak langsung terdekat.
c.
Expected Competitive Return for Investor (ECRI)
Target bagi
hasil kompetitif yang diharapan dapat diberikan kepada nasabah pihak ketiga
(investor).
d.
Acquiring Cost
Biaya yang
dikeluarkan oleh bank dan langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana
dari pihak ketiga.
e.
Overhead Cost
Biaya yang
dikeluarkan oleh bank yang tidak langsug terkait dengan upaya untuk memperoleh
dana dari pihak ketiga.[17]
2.
Perkiraan Tingkat Keuntugan Usaha yang Dibiayai
Perkiraan
tingkat keuntungan usaha dihitung dengan mempertimbangkan kriteria berikut ini:
a.
Perkiraan Penjualan
Terdiri dari
perkiraan volume penjuala setiap bulan atau transaksi, frekuensi penjualan
setiap bulan, fluktuasi harga penjualan, rentang harga penjualan yang dapat
dinegoisasikan, dan marjin keuntungan setiap transakasi.
b.
Lama Cash to Cash Cyle
Merupakan waktu
yang dibutuhkan untuk menapatkan cash kembali atau jumlah dari antara arus kas
keluar pertama dengan arus kas masuk berikutnya yang melibatkan antara lain:
Lamanya persediaan, lamanya proses barang, dan lamanya piutang dagang. Cash
to Cash Cyle disebut juga dengan Cash Conversion Cyle.
c.
Perkiraan Biaya Langsug
Merupakan
perkiraan-perkiraan biaya yang langsung berhubungan dengan kegiatan penjualan,
seperti biaya pengangkutan, biaya pengemasan dan biaya lain yang termasuk
kedalam Cost of Goods Sold (COGS).
d.
Perkiran Biaya Tidak Langsung
Merupakan
perkiaan biaya-biaya yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan penjualan,
seperti biaya sewa kantor, biaya gaji karyawan, dan biaya-biaya lain yang
termasuk ke dalam Overhead Cost (OHC).
e.
Delayed Factor
Delayed Factor adalah waktu yang ditambahkan pada cash to cash cyle untuk
mengantisipasi timbulnya keterlambatan pembayaran dari mudharib kepada bank.[18]
Metode Penentuan Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan
Berdasarkan pertimbangan referensi tingkat marjin keuntungan dan
perkiraan usaha mudharib, Karim (2004) membagi metode penentuan nisabah
bagi hasil pembiayaan menjadi tiga bagian, yaitu Penentuan Nisbah Bagi Hasil
keuntunan, Penentuan Nisbah Bagi Hasil Pendapatan, dan yang terahir Penentuan
Nisbah Bagi Hasil Penjualan. Selain metode diatas, menurut Siagian (2004),
nisbah bagi hasil dapat dihitung berdasarkan pendekatan tawar-menawar
1.
Penentuan Nisbah Bagi Hasil Keuntungan
Nisbah
bagi hasil pembiayaan untuk bank ditentukan dangan cara membagi perkiraan
keuntungan usaha mudharib dengan frekuensi tingkat marjin keuntungan.
Maka, nisbah bagi hasil untuk mudharib adalah seratus persen dikurangi
dengan nisbah bagi hasil bagi bank.
Contoh
2.
Penentuan Nisbah Bagi Hasil Pendapatan
Nisbah
bagi hasil pembiayaan untuk bank ditentukan dengan cara membagi perkiraan
pendapatan (perkiraan tingkat keuntungan tanpa mempertimbangkan biaya overhead
dengan referensi tingkat keuntungan. Maka, nisbah bagi hasil untuk mudharib
adalah seratus perse dikurangi dengan nisbah bagi hasil bagi bank.
contoh
3.
Penentuan Nisbah Bagi Hasil Penjualan
Nisbah
bagi hasil pembiayaan untuk bank ditentukan dengan cara membagi perkiraan
penerimaan penjualan (perkiraan tingkat keuntungan tanpa mempertimbangkan biaya
langsung dan biaya overhead ) dengan perkiraan pendapatan dan referensi
tingkat keuntungan. Maka, nisbah bagi hasil untuk mudharib adalah
seratus persen dikurangi dengan nisbah bagi hasil bagi bank.
Contoh
4.
Pendekatan Tawar Menawar
Menurut
pendekatan ini, semakin tinggi nisbah bagi hasil yang diisyaratkan oleh bank
dan disetujui mudharib, semakin besar kesediaan bank untuk membiayai
proyek tersebut. Sebaliknya untuk mudharib, semakin tinggi nisbah bagi
hasil yang diisyaratkan oleh bank,
semain sulit kesediaan mudharib untuk menerima dana dari bank,
begitu pula sebaliknya.[19]
Contoh
Bagi Untung dan Bagi Rugi pada Akad Bagi Hasil
Dalam
kontrak mudharabah, return dan timing cash flow tergantung pada
kineja sektor riilnya. Bila laba bisnisnya besar, maka kedua belah pihak
mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat
bagian yang kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba
ditentukan dalam bentuk presentase, buka dalam bentuk nominal rupiah tertentu.
Bila
bisnis dalam akad mudharabah ini
mendaangkan kerugian, maka pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah,
tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Itulah alasan mengapa
nisbahnya disebut sebagai nisbah keuntungan. Bukan nisbah saja, yakni karena
nsbah 50:50 atau 99:1 itu, hanya diterapkan bila bisnisnya untung.
Bila
bisnis rugi, kerugiannya itu harus dibagi berdasarkan porsi modal masing-masing
pihak, bukan berdasarkan nisbah. Karena ada perbedaan kemampuan untuk
mengabsorbsi/ menanggung kerugian diantara kedua belah pihak. Bila untung,
tidak ada masalah untuk mngebsorpsi/ menikmati untung karena sebesar apapun
keuntungan yang terjadi, kedua belah pihak akan selalu dpat menikmati
keuntungan itu.
Lain
halnya kalau bisnisnya merugi. Kemampuan shahib al-mal untuk menangugng
kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudharib. Denga demikian
karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal (finansial) shahib al-mal dalam kontrak ini adalah 100% , maka kerugian
finansial ditanggung 100% ula oleh shahib al-mal.
Di
lain pihak, karena proporsi modal (finansial) mudharib dalam kontrak ini adalah 0%, anadaikata
terjadi kerugian, mudharib akan menaggung kerugian (finansial) sebesar
0% pula. Bila bisnis rugi, sesungguhnya mudharib akan menanggung
kerugian hilangnya kerja, usaha dan waktu yang telah ia curahkan untuk
menjalankan bisnis itu. Jadi, sebenarnya kedua belah pihak sama-sama menanggung
kerugian, namun bentuk kerugian yang ditanggung oleh keduanya berbeda sesuai
dengan objek mudharabah yang dikontribusikannya.
Bila
yang dikontribusikan adalah uang, resikonya adalah hilangnya uang tersebut.
Sedangkan bila yang di kontribusikan adalah kerja, resikonya adalah hilangnya
kerja, usaha dan waktunya dengan tidak mendpatkan hasil apapun atas jerih
payahnya selama berbisnis.[20]
Jaminan pada Kerugian Akad Bagi Hasil
Pada akad mudharabah, ketentuan pemmbagian kerugian hanya
berlaku bila kerugian yang terjadi hanya murni diakibatkan oelh resiko bisnis (business
risk), bukan karena resiko karakter buruk mudharib (character risk). Bila
kerugian terjadi karena karakter buruk, misalnya karena mudharib lalai
dan atau melanggar peryaratan-persyaratan kontrak mudharabah, shahibal mal tidak perlu menanggung kerugian yang seperti
ini.
Terkait dengan
jaminan para fuqaha berpendapat bahwa ada prinsipya tidak perlu dan tidak boleh
mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana dalam akad syirkah lainnya. Jelas hal ini konteksnya adalah business
risk. Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakiatnya
menjadi wakil dari shohibul mal dalam mengelola dana dengan seizin shohibul
maal, sehingga wajiblah baginya berlaku amanah.
Jika mudharib
melakka keteledoan, kelainan, kecerobohan, dalam merawat dan menjaga dana yatiu
melakukan pelanggaran, kesalahan dan kelwatan dalam perilakunya yang tidak
termasuk bisnis mudharabah yang disepakati, atau ia keluar dari
ketentuan yang disepakati, mudharabah tersebut harus menanggung kerugian
mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung
jawabnya. Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zalim
karena ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya diluar
ketentuan yang disepakati.
Mudharib tidak pula berhak untuk
menentukan sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa kehadiran atau
sepengetahuan shahibul mal sehingga shahibul mal dirugikan. Jelas
hal ini konteksnya adalah character risk . Untuk menghindari adanya moral
hazard dari pihak mudharib yang
lalai atau menyalahi kontrak ini, shahib mal dibolehkan meminta jaminan
tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahibul mal jika
ternyata timbul kerugian karena mudharib melakukan kesalahan yakni lalai atau ingkar
janji.
Jadi tujuan
pengenaan dalam akad mudharabah untuk menghindari moralm hazard
mudharib, bukan untuk mengamankan
nilai investasi jika kita terjadi kerugian karena faktor resiko bisnis.
Tegasnya, bila kerugian yang timbul disebabkan karena faktor resiko bisnis,
maka jaminan mudharib tidak dapat
disita oleh shahibul mal.[21]
Bagi Hasil Perkembangan Bank Syari’ah
Keuntungan yang
akan diperoleh dengan berhasilnya pelaksanaan sistem bagi hasil dalam produk
mudharabah dan musyarakah oleh perbankan:
1.
Stabilitas dan pertumbuhan perbankan syari’ah yang ditopang oleh
pertumbuhan riil ekonomi masyarakat. Pertumbuhan riil ekonomi masyarakat akan
memberikan jaminan stabilitas dan pertumbuhan perbankan syari’ah karena akan
terbentuk alian dana yang terus berjalan dari masyarakat yang telah mandiri
secara ekonomi ke perbankan syari’ah.
2.
Pebankan syari’ah di Indonesia akan mampu bersaing dengan perbankan
konvensiona dipasar bebas melalui sistem yang berbeda dengan ciri-ciri
pemeberdayaan. Keadilan, dan efektif dalam perekonomian rakyat.
3.
Meningkatnya peran perbankan syari’ah dalam proses pembangunan
nasional dalam bidang kemandirian ekonomi masyarakat sehingga perbankan
syari’ah akan menjadi pilar pembangunan bangsa.
Optimalisasi
pelaksanaan sistem bagi hasil dalam produk mudharabah dan musyarakah sebagai
suatu sistem syari’ah adalah market positioning yang perlu diperjuaankan
dan hali ini merupakan suatu tantangan di perbankan nasional ditengah
peluang-peluang yang terbuka lebar. Tantangan ini hanya akan terjawab
apabilaterdapat komitmen yang kuat dan kerjasama diantara lemabaga-lembaga yang
konsern terhadap pengembangan perbankan syari’ah melalui optimalisasi sistem
bagi hasil.[22]
[1] Muhammad, Teknik perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari’ah, (Yogyakarta:
UII Press, 2001).
[2] Hamzah Ya’qub, Etika Dagang dalam Islam, (Dipoengoro:
1992), Hlm. 265.
[3] Muhammad Asro dan Muhammad Kholid, Fiqh Perbankan, (Bandung:
Pustaka Setia, 2011). Hlm.140.
[4] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, (
Yogyakarta: UII Press 2004). Hlm. 120.
[5] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, (
Yogyakarta: UII Press 2004). Hlm. 121.
[6] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Teori da Praktek, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001). Hlm. 90.
[8] Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Pricing di Bank
Syari’ah, ( Yogyakarta: UII Press,
2004). Hlm. 96.
[10] Veithzal Rivai
dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: sebuah teori, konsep dan aplikasi,(Jakarta:
Bumi Aksara 2010). Hlm. 801.
[11] Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: sebuah
teori, konsep dan aplikasi,(Jakarta: Bumi Aksara 2010). Hlm. 802
[13] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah,
(Yogyakarta: UII Press, 2016). Hlm. 101
[14] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah,
(Yogyakarta: UII Press, 2016). Hlm. 102-103.
[15]Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah,
(Yogyakarta: UII Press, 2016). Hlm. 103-104.
[16] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank
Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 102-103.
[17] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 104-105.
[19] Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah,
(Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 106-108
[20] Muhamad, Sistem
Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm.
109-110
[21]Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah,
(Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 110-111
[22]Muhamad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syari’ah,
(Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 111-112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar