REVISI
METODOLOGI ISTINBATH HUKUM ISLAM; BAYANI, TA’LILI, DAN ISTISLAHI
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah “Ushul Fiqh 2”
Dosen Pengampu :
Nilna Fauza, M. H. I.
Disusun Oleh:
Nikmatul Mufida (931309915)
Retno Sulistiyani (931335515)
JURUSAN
SYARI’AH
PRODI
EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2016
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana diketahui, sumber pokok
Hukum Islam adalah wahyu, baik yang tertulis (kitab Allah/Al-Qur’an) maupun
yang tidak tertulis (Sunnah Rasulullah). Materi-materi hukum yang terdapat di
dalam sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya. Karena itu
terutama setelah berlalunya zaman Rasulullah, dalam penerapannya diperlukan
penalaran.
Permasalahan-permasalahan yang
tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah ditemukan nashnya yang jelas dalam
kitab suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, tetapi adakalanya yang ditemukan dalam
Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa prinsip-prinsip umum. Untuk
pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang belum ada nashnya secara jelas,
perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap
permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan
dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
Dengan jalan istinbath itu hukum
Islam akan senantiasa berkembang seirama dengan terjadinya dinamika
perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan menegakkan ketertiban
dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-masing
individu yang berkepentingan secara jelas. Maka oleh sebab di dalam makalah ini
akan dijelaskan tentang Istinbath dan bentuk-bentuk Istinbath.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
itu Istinbath?
2.
Apa bentuk-bentuk
Istinbath?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian Istinbath
2.
Untuk
mengetahui apa saja bentuk-bentuk Istinbath
D. Manfaat Penulisan
Manfaat disusunnya makalah ini adalah untuk
memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang metode Istinbath hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Metode Istinbath Hukum
Istinbath artinya mengeluarkan hukum dan dalil. Jalan Istinbath ini
memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.
Untuk itu, seorang ahli hukum harus mengetahui prosedur cara penggalian hukum (thuruq
al-istinbath) dari nash.
Cara penggalian hukum dari nash itu
bisa dengan menempuh dua macam pendekatan, yaitu pendekatan makna (thuruq
mana’wiyah) dan pendekatan lafazh (thuruq lafzhiyah). Pendekatan
makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash lansung, seperti qiyas,
istihsan, maslahah mursalah dan lain-lain. Sedangkan pendekatan lafazh
penerapannya membutuhkan beberapa factor pendukung, yaitu: penguasaan terhadap
makna dari lafazh-lafazh nash serta konotasinnya dari segi umum dan khusus:
mengetahui dalalah-nya, apakah menggunakan manthuq lafzhi ataukah
termasuk dalalah yang menggunakan pendekatan mafhum yang di
amabil dari konteks kalimat; mengerti batasan (qayyid) yang membatasi
ungkapan nash; kemudian pengertian yang dipahami dari lafazh nash.[1]
B.
Bentuk-bentuk metode Istinbath
1.
Metode Bayani
a.
Pengertian Metode
Bayani
Secara etimologi, bayan berarti penjelasan atau eksplanasi.
Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisân al-Arâb–suatu
kamus karya Ibn Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang belum tercemari
pengertian lain--tentang kata ini, memberikan arti sebagai al-fashl wa
infishâl (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhûr wa al-idhhâr (jelas
dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhâr dalam kaitannya dengan
metodologi, sedang infishâl wa dhuhûr berkaitan dengan visi (ru`y) dari
metode bayani.
Dalam
perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metodepenemuan
hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin :
yakni prosesmencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar)
; upaya memahami(alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ;
perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).
Dalam ushul al-fiqh yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan adalah
Al-Qur’an dan Hadis.
Cakupan lafadz pada metode bayani meliputi:
مشرك, مرادق, هقيه, هطاق, خاص ,عام
Ditinjau dari lafadznya dibagi menjadi dua yaitu
lafadz jelas dan lafadz tidak jelas. Yang menunjukkan lafadz jelas yaitu:
نفي, ظاهر, محكم, مثثاابة
Sedangkan
lafadz yang tidak jelas:
متثابة, مجمل, مثكه, نافو
b.
Tujuan Metode Bayani
Metode bayani yang telah lama digunakan dan
diterapkan oleh para ulama (fuqaha, mutakallimun dan ushuliyun) ini bertujuan
untuk :
1. Memahami dan menganalisis teks guna menemukan
atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (dikehendaki) lafadz. Dengan kata
lain, pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafadz
dan ‘ibarah yang zahir pula.
2. Mengambil istinbath hukum-hukum dari al nushush
‘an diniyyah dan Al Qur’an khususnya. Makna lafadz yang terkandung dalam nash
(Al Qur’an dan Hadits), dikehendaki oleh dan diekspresikan melalui teks dapat
diketahui dengan mencermati hubungan makna dan lafadz. al Jabiri menyatakan
bahwa metode bayani yang digunakan dalam pemikiran Arab baik dalam fiqh, nahwu
atau teologi didasarkan pada mekanisme yang menjadi landasan bagi metode
fuqaha. Hal ini dikarenakan para ulama ushul fiqh merangkum berbagai cabang
ilmu yang sesuai dengan tujuan mereka dan menjadikannya sebuah ilmu.
c.
Contoh memahami ayat/teks Al-quran dengan metode
bayani
Setelah memahami berbagai
uraian mengenai pengertian, tujuan, dan cara pengambilan atau penyelesaian
suatu peristiwa yang berdasarkan dengan kajian gramatikal, maka perlu kita
aplikasikan ke dalam tindakan yang konkrit. Artinya, kita harus menerapkan teori-teori di
atas ke dalam contoh yang nyata mengenai kajian teks secara bayani. Sebab, jika
teori tidak diikuti dengan praktik, maka akan menyebabkan pemahaman yang kurang
komprehensif.
Berikut adalah contoh penafsiran ayat alquran
yang akan dikaji berdasarkan metode bayani.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
”Wahai orang-orang yang beriman!apabila telah diseru untuk melaksanakan
shalat pada hari jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Kajian Bayani
Teks
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُو kata يَا pada penggalan ayat tersebut merupakan huruf nidak, yang huruf
berfungsi sebagai kata untuk menyeru. Dalam penggalan ayat ini, kata seruan
tersebut ditujukan kepada setiap orang mukmin.Sedangkan lafadz آمَنُوا bermakna haqiqi secara urf atau haqiqat
urfiyah, yang berbentuk jamak dari lafadz آمَن. Makna dasar dari kata tersebut adalah percaya, yang secara
kebiasaan lafadz tersebut memiliki makna setiap “orang yang percaya kepada Allah dan RasulNya”.
إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ :Lafadz
إِذَاpada
penggalan ayat tersebut merupakan lafadz syarthiyah. Sedangkan lafadz نُودِيmerupakan bentuk majhul dari lafadz naada.Lafadz
ini memiliki makna majazy yang berarti adzan, yang mana aslinya adalah
memanggil. Sebab, lafadz tersebut diikuti oleh kata لِلصَّلَاةِ
yang memiliki arti haqiqat syar’iyah—Bukan lagi berarti doa,
melainkan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.Yang dimaksud dengan Nida’ disini adalah adzan
yang dimana Imam sudah berada diatas minbar, pada awalnya adzan ini Cuma
dilakukan 1 kali, lantas Utsman adzan menjadi 2 kali dikarenakan banyaknya
orang yang hendak sholat jum’at di Madinah.
مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ :lafadz ini
memiliki makna sholat jumat yang dilakukan pada hari juma’at setelah zawal (matahari persis ditengah-tengah). Kata jum’ah jim dan mim
dhommah, sukun pada mim,al-Juma’ adalah jama’ seperti
pada kata ghurfatun adalah ghurofun dan juga jum’aat
seperti ghurfaat, harinya disebut al-‘Aruubah yang pertama kali
menyebutnya dengan jum’at adalah Ka’ab bin Lu’ai (al Anshar).
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْع: Memiliki arti tunaikanlah Sholat.
Lafadz فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ jawab dari lafadz إِذَا. Sedangkan
lafadz فَاسْعَوْاmemiliki arti bergegas dan lafadz ذِكْرِ
اللَّهِ merupakan makna majazy dari kata sholat. yang dimaksud dengan Sa’aa disini adalah bukan dengan berlari atau tergessa-gesa melainkan
berjalan pelan-pelan. Dalam hadits shohih dikatakan: jika telah didirikan sholat maka janganlah kalian tergesa-gesa tetapi
dirikanlah dengan tenang. Dzikrullah adalah sholat dan khutbah jum’at
karena iulah ayat ini menggunakan kata Dzikrullah.[2]
2.
Metode al-Ta’lili
a.
Pengertian
al-Ta’lil
Kata al’ta’lil adalah masdar dari ‘allala-yu’allilu-ta’lilan,
yang berarti “sesuatu yang berubah keadaanya karena sampainya sesuatu yang
lain padannya”. Sakit adalah ‘illat
karena tubuh berubah keadaanya dengan adanya sakit. Oleh karena itu, si
fulan dikatan ber-illat apabila keadaanya berubah dari sehat menjadi sakit.
Secara terminologi, Wahab Khallaf berpendapat, ‘illat adalah suatu sifat pada
asal yang dibina atasnya hukum dan diketahui dengannya hukum padfa sesuatu. Al-Bazdawi menyatakan, illat merupakan hukum
qiyas dalam arti suatu sifat yang ada pada asal yang sifat itu menjadi dasar
untuk menetapkan hukum asal serta untuk mengetahui hukum pada far’u yang belum
ditetapkan hukumnya. Dipahami bahwa ‘illat itu suatu keadaan atau sifat yang
jelas dan mengandung relevansi sehingga kuat dugaan dia-lah yang menjadi alasan
penerapan sesuatu ketentuan syari’ guan mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.
Memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar yang dijadikan dasar keharamnnya.
Karena itu khamar dapat diketahui wujud keharaman dalam setiap yang memabukkan.
[3]
b.
Pembagian
‘Illat
Para ulama usul fiqh membagi ‘illat itu menjadi beberapa segi, di
antarannya adalah segi cara mendapatkannya dan bisa tidaknya ‘illat itu
diterapkan pada kasus hukum laiinya. Sebelum membahas kedua segi tersebut,
perlu ditegaskan di sini bahwa ‘illat atau ta’lil itu dapat masuk ke dalam
semua tindakan nash. Dari segi cara mndapatkanya, ‘illat itu, menurut ulama
ushul fiqh, ada dua macam, yaitu ‘illat manshushah dan ‘illat mustabathah.
Pertama, ‘illah manshushah adalah ‘illat yang dikandung lansung
dari nash. Jadi, apabila dalam nash terdapat ‘illat yang menyatakan begini,
atau sebab begini, atau karena begini, maka sifat itu adalah ‘illat yang
berdasarkan nash itu. Seperti firman Allah dalam member ‘illat terutama para
Rasul, yang disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 165: “(Mereka kami
utus) selaku para Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
Rasul-rasul itu.”
Kedua,’illat-mustabathah adalah ‘illat yang digali oleh para
mujtahid dari nash sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditentukan dan sesuai
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Misalnya, menjadikan perbuatan mencuri
sebagai ‘illat bagi hukuman potong tangan. Seorang mujtahid yang menggali
‘illat dalam tindak pidana pencurian ini berusaha memahami keterkaitan antara
hukuman potong tangan dengan sifat, yaitu pencurian. Kemudian disimpulkan bahwa
‘illat dari hukum potong tangan itu adalah perbuatan mencuri. Kedua macam’illat
ini, menurut para ulam usul fiqh, dapat dijadikan sebagai sifat dalam menetukan
sesuatu hukum syara’.[4]
c.
Syarat-syarat
‘Illat
Syarat-syarat ‘illat yang telah disepakati, menurut abu zahrah,
yaitu: (1) ia merupakan sifat yang nyata, yakni bersifat material yang bisa
dijangkau oleh panca indera. Karena ‘illat membatasi hukum pada cabang, maka ia
harus terdiri atas hal yang nyata dan bisa terjangkau wujudnya pada cabang.
Misalnya, memabukkan bisa dijangkau oleh rasa pada khamar dan dengan rasa itu
dapat nyata wujudnya pada arak lain yang memabukkan; (2) Hendaknya sifat yang
pasti (tertentu dan terbatas) dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan
membatasi atau karena terdapat sedikit perbedaan. Asas qiyas adalah bersamaan
cabang dengan asal pada ‘illat (pasti dan terbatas), sehingga dapat menjauhkan
hukum bahwa kedua kejadian itu adalah sama ‘illat-nya, seperti pembunuhan
sengaja oleh ahli waris kepada yang mewariskannya. Tidak sah memberi ‘illat
dengan sifat-sifat yang tidak pasti dan tidak berbeda secara jelas menurut
perbedaan situasi, kondisi dan individu; (3) Hendaknya sifat yang sesuai.
Terdiri dari empat dugaan mewujudkan hikmah hukum, artinya bahwa hubungan hukum
dengan sifat itu dalam ada atau tidaknya, harus diwujudkan apa yang menjadi
tujuan syari’ dalam membentuk hukum, karena yang memotivasi secara hakiki dan
tujuan utamanya dalah hikmahnya. Memabukkan adalah hal yang sesuai dengan
pengharaman khamar, karena di dalam keharaman itu terkandung pemeliharaan akal;
(4) Bukan sifat yang terbatas pada asal. Harus sifat yang diwujudkan pada
beberapa individu dan bisa didapat pada selain asal. Tujuan pemberian ‘illat
hukum asal ialah jangkauan hukum asal itu sendiri pada cabang. Bila hukum itu
diberi ‘illat dengan yang tidak didapat pada selain asal, tidak dapat dijadikan
asal qiyas. Sifat memabukkan bukan hanya ada pada asal, tetapi bisa pada yang
lainnya.[5]
3.
Metode Istislahi
Dalam pola ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan
beberapa prinsip (umum) yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan
kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan daruriyat
(kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniyah
(kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini dideduksikan kepada persoalan yang
ingin diselesaikan. Misalnya tranplatasi organ tubuh, bayi tabung dan aturan
lalu lintas kendaraan bermotor. Masalah-masalah ini tidak untuk mempunyai nas
khusus sebagai rujukan. Karena itu untuk menentukan hukumnya, digunakan
prinsip-prinsip umum yang ditari dari ayat-ayat, seperti: tidak boleh
mencelakakan atas mendatangkan kemaslahatan; untuk setiap kesulitan ada jalan
keluar yang bisa dicarikan; menoleng orang lain adalah kebajikan bahkan
kewajiban; dan seterusnya.
Melalui pendeduksian dan pertimbangan tingkatan keutamaan, para
ulama menyimpulkan kebolehan sebagai hukum dasar transplantasi, boleh untuk
bayi tabung sekirannya dilakukan oleh sumai ietri itu sendiri, sedang
pelanggaran aturan lalu lintas dianggap sebagai ta’zir.
Pola istislahi sesuai
dengan keadaannya, baru digunakan ketika tidak ada dalili khusus hanya
berhubungan dengan persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena
penggunaan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Di dalam usul fiqh, pola
yang terakhir ini sangat sedikit mendapatkan perhatian. Untuk memudahkan akan
diberikan contoh, beberapa aturan di bidang kekeluargaan. Di Indonesia sekarang
secara intensif dikampanyekan “Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera”
(NKKBS). Dalam konsep ini, keluarga (tentunya juga rumah tangga) yang ideal
adalah yang terdiri dari seorang ayah (suami) seorang ibu (istri) dan dua orang
anak laki-laki dan perempuan sama saja. Dari konsep ini terlihat kecendurrungan
menuju ke bentuk keluarga inti.
Apabila kecenderungan ini disbanding kepada aturan yang ada di
dalam fiqh, akan terlihat perbedaan, karena keluarga di dalam fiqh mengarah
kepada bentuk keluarga luas. Di dalam fiqh, poligami dan monogamy dinilai sama,
bahkan oleh beberapa ulama poligami cenderung lebih baik. Di masa sekarang
beberapa ulama Indonesia mulai mencanangkan bahwa bentuk idealnya adalah
monogami. Poligami adalah “pintu darurat yang hanya dibuka dalam keadaan
tertentu”. (QS An-Nisa: 129)
وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ
وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمً
”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Oleh ulama awal diartikan (ditakwilkan) dengan “dalam hal
kecintaan” . Karena bersifat immaterial, ketidakadilan tersebut ditolelir
dan diletakkan di luar jangkauan hukum. Sementara ulama kontemporer menganggap
keadilan di bidang immaterial tersebut pun terjangkau oleh hukum, dan karena
itu pada dasarnya tidak ada orang yang mampu berpoligami. Di dalam fiqh tidak
ada nada yang merendahkan kepada orang-orang yang menjanda dan menduda. Akan
tetapi sekarang, keadaan tersebut dianggap sebagai tidak ideal dan karena itu
ada kemungkinan akan direndahkan.[6]
Sebagaimana hanya metode analisa yang lain, maslahah juga
merupakan metode pendekatan istinbath (penepatan hukum) yang
persoalannnya tidak diatur secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara
lansung. Sehubungan dengan pendekatan maslahah ini, dalam ilmu Ushul
Fiqh, yang dikenal tiga jenis maslahah, yaitu 1) maslahah al –
mu’tabarah, yakni kajian hukum dengan melihat dimensi kemaslahatan pada
berbagai perbuatan syari’ yang masih terakomodasi oleh pernyataan eksplisit
nash (‘ain mansuhush); 2) maslahah al-mursalah, yakni kajian
hukum dengan mempertimbangkan dimensi kemaslahatan berbagai perbuatan Syari’
yang tidak terjangkau oleh pernyataan eksplisit nas,tetapi masih termasuk dalam
kelompok jenis perbuatan yang terakomodasi oleh nas; 3) maslahah maskut,
yakni kajian hukum dengan mempertimbangkan dimensi kemaslahatan pada berbagai
perbuatan Syari’ yang sama sekali tidak terjangkau oleh nas, baik dari
segi ‘ain perbuatan itu sendiri maupun jenis-nya.[7]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istinbath artinya mengeluarkan hukum dan dalil. Jalan Istinbath ini
memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.
Untuk itu, seorang ahli hukum harus mengetahui prosedur cara penggalian hukum (thuruq
al-istinbath) dari nash.
Dan di dalam Istibath sendiri
memiliki beberapa metode seperti Bayani, Ta’lili, Istihlahi yang memiliki arti
dan maksud masing-masing. Seperti Bayani memiliki arti penjelasan atau
eksplanasi. Yang tujuannya
memahami dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna
yang dikandung dalam (dikehendaki) lafadz. Sedangkan Ta’lili memiliki arti sesuatu yang berubah keadaanya karena sampainya sesuatu yang lain
padannya. Dan yang terakhir Istihlahi yang bertujuan untuk menuju kemaslahatan umat
dan tidak keluar dari dalil syara’.
B.
Saran
Demikian makalah yang penulis buat, semoga
dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pemahaman kita terhadap
Metodologi Istinbath Hukum (Bayani, Ta’lili, Istislahi). Penulis menyadari
bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan
maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang
hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah
penulis berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Mu’allim Yusdani.
Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer.Yogyakarta: UII Press 2004.
Bahri, Syamsul.Metodologi Hukum Islam.Yogyakarta: Teras 2008.
http://.DettyAprilliani.blogspot.co.id/2014/11/kajian-teks-metode-bayani.html di akses pada tanggal 2 Oktober 2016.
Umar, Hasbi.Nalar Fiqih Kontemporer.Jakarta: Persada Press
Jakarta 2007.
Syafe’I, Rachmat.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung: CV Pustaka Setia
2010
[1]
Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras 2008), Hal
55-56
[2]
http://.DettyAprilliani.blogspot.co.id/2014/11/kajian-teks-metode-bayani.html di akses pada tanggal 2 Oktober 2016
[6] Yusdani
Amir Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta:
UII Press 2004) Hal 96-97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar