BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam memerintahkan
kepada manusia untuk bekerja sama dalam segala hal, kecuali dalam perbuatan
dosa kepada Allah atau melakukan aniyaya kepada sesama mahluk. karena manusia
adalah mahluk sosial dimana manusia harus bersoialisasi dalam hal apapun. Termasuk
dalam bidang ekonomi. Di dalam Islam terdapat istilah Ekonomi islam, yaitu ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang
diilhami oleh nilai-nilai islam. Sejauh mengenai pokok
kekurangan, hampir tidak ada perbedaan apapun antara ilmu ekonomi islam dan
ilmu ekonomi islam modern.
Dalam ekonomi Islam terdapat suatu sistem yang
bersifat ilahiyah-insaniyah bersifat terbuka, tapi sekaligus selektif. Sistem
ekonomi islam juga mengenal toleransi tetapi ekonomi islam tidak mengenal
kompromi dalam menegekkan keadilan. Karena ekonomi konvensional lebih
mengedepankan prinsip untung dengan cara apapun.
Kebanyakan orang akan lebih menggunakan prinsip
ekonomi konvensional dibanding sistem ekonomi islam. Oleh karena itu penulis
ingin menelusuri sistem perekonomian islam keadilan, kejujuran dan pemerataan
berdasarkan Alqur’an dan hadist. Agar masyarakat mengetahui tantang hal ini.
Karena keadilan dalam ekonomi masih dipertanyakan, banyaknya koruptor yang
korupsi karena tuntutan ekonomi dan hal itu pula yang mmenyebabkan perekonomian
di Indonesia tidak stabil. Masih banyak kemiskinan yang merajalela, merebaknya
bunga dan riba. Itu merupakan sebab utama mengapa negara kita harus memilih
ekonomi Islam sebagai sistem dalam perekonomian. Lebih lanjutnya akan dibahas
dalam makalah
ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang di
maksud dengan sistem perekonomian Islam keadilan, pemerataan dan kejujuran?
2.
Bagaimana
pendapat Al-Qur’an
dan hadist tentang sistem ekonomi yang adil, rata dan jujur?
3.
Bagaimana karakteristik ekonomi Islam
dalam sistem
perekonomian islam?
4.
Perlukah sistem
ekonomi ini diterapkan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
yang di maksud dengan sistem perekonomian Islam keadilan, pemerataan dan kejujuran.
2.
Untuk mengetahui
pendapat Al-Qur’an
dan hadist tentang sistem ekonomi yang adil, rata dan jujur.
3.
Untuk mengetahui
karakteristik ekonomi islam dalam system perekonomian islam.
4.
Untuk mengetahui sistem ekonomi ini
diterapkan di Indonesia.
D. Manfaat
Penulisan
Manfaat disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada
mahasiswa tentang apa bagaimana sistem perekonomian Islam yang mencangkup keadilan ,
pemerataan dan kejujuran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Sistem Perekonomian Islam Keadilan, Pemerataan dan
Kejujuran
Ekonomi islam
adalah mazhab ekonomi yang di dalamnya terjelma cara islam mengatur kehidupan
perekonomian dengan apa yang dimiliki dan ditujukan oleh mazhab ini, yaitu
tentang ketelitian cara berfikir yang terdiri daru nilai-nilai moral Islam dan
nilai-nilai ilmu ekonomi atau nilai-nilai sejarah yang berhubungan dengan
masalah-masalah siasat perekonomian maupun yang berhubungan dengan uraian
sejarah manusia.[1]
Sistem ekonomi islam
sesuai dengan fitrah manusia yang menginginkan tegaknya keadilan ekonomi.
Prinsip keadilan ekonomi menuntut diterapkannya sistem bagi hasil dalam
kebebasan berekonomi terkendali menjadi ciri dan prinsip sistem ekonomi islam
seperti kebebasan memiliki unsur produksi dalam menjalankan roda perekonomian.[2] Apabila prinsip keadilan terpenuhi maka
secara tidak langsung akan menciptakan pemerataan bagi perekonomian Islam. Dan
untuk pencapaiannya diperlukan suatu tindakan yang dilakukan dengan kejujuran.
B.
Pendapat Al-Qur’an Tentang Sistem Ekonomi yang Adil, Rata dan Jujur
1. Q.S. Al-Hujarat:
13
يآأَيُّهاَالنَّاسُ إنَّاخَلَقْنآكُم
مِّن ذَكَرٍوَأُنثَى وَجَعَلْنآكُمشُعُوباًوَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوا
اِنَّاَكرَمَكُمْ عِنْدَاللَّهِ اَتْقَاكُمُ اشنَّ اللَّهَ عَلِمٌ خَبِرٌ
Artinya : “Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[3]
Kosa Kata Kunci:
خَلَقْنَاكُمْ : Menjadikan, membuat, menciptakan kalian
دَكَرٍ : Laki-laki, jantan
أنْثَى : Perempuan, betina
شُعُوْبًا : Beberapa suku yang besar, beberapa bangsa
قَبَا ئِلُ : Bersuku-suku
تَعَارَفُ
وْا : Saling berkenalan
أكْرَمَكُمْ : Paling Mulia diantara kalian
أتْقَاكُمْ : Orang yang paling taqwa diantara
kalian
خَبِىْرٌ : Maha Mengenal
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh
Abu Mulaikah, pada saat terjadinya Fathul Makkah(8 H), Rasul mengutus Bilal Bin
Rabbah untuk mengumandangkan adzan, ia memanjat ka’bah dan berseru kepada kaum muslimin
untuk shalat jama’ah. Ahab bin Usaid ketika melihat Bilal naik keatas ka’bah
berkata “segala puji bagi Allah yang telah mewafatkan ayahku, sehingga tidak
menyaksikan peristiwa hari ini”.
Harist bin Hisyam berkata “Muhammad menemukan orang
lain ke-cuali burung gagak yang hitam ini”, kata-kata ini dimaksudkan untuk
men-cemooh Bilal, karena warna kulit Bilal yang hitam. Maka datanglah malaikat
Jibril memberitahukan kepada Rasulullah tentang apa yang dilakukan mereka.
Sehingga turunlah ayat ini, yang melarang manusia untuk menyombongkan diri
karena kedudukannya, kepangkatannya, kekayaannya, keturunan dan mencemooh orang
miskin. Diterangkan pula bahwa kemuliaan itu dihubungkan dengan ketakwaan,
karena yang membedakan manusia disisi Allah hanyalah dari ketakwaan seseorang.
Adapun asbabun
nuzul yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang peristiwa yang terjadi kepada
sahabat Abu Hindin (yaitu sahabat yang biasa berkidmad kepada nabi). rasulullah
mengfurus Bani Bayadah untuk menikahkan Abu Hindin dengan gadis-gadis di
kalangan mereka. Mereka bertanya “apakah patut kami mengawinkan gadis kami
dengan budak-budak?” sehingga turun ayat ini, agar kita tidak mencemooh
seseorang karena memandang kedudukannya.
Penafsiran Ayat
“Allah sedang memberitahukan kepada manusia Sesungguhnya
Dia telah menciptakan manusia dari tubuh satu orang saja, dan menjadikan dari
tubuh tersebut pasanganya, mereka adalah adam dan hawa, dan Allah menjadikan
manusia itu menjadi beberapa bangsa dan suku, yaitu suku-suku pada umumnya,
setelah bersuku-suku di lanjutkan yang lainnya, seperti beberapa bagian,
beberapa kabilah, beberapa tempat tinggal, dan lain sebagainya.”
Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki
(Adam) dan seorang perempuan (Hawa), dan menjadikannya berbangsa-bangsa,
bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kuligt bukan untuk saling mencemoohkan,
tetapi untuk saling mengenal dan menolong. Allah tidak menyukai orang-orang
yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan atau kekayaan
karena yang mulia diantara manusia disisi Allah hanyalah orang yang bertakwa
kepada-Nya.
Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu ada
sangkut pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan
Allah, orang yang mulia itu adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah. Mengapa
manusia saling menolok-olok sesama saudara hanya karena Allah menjadikan mereka
bersuku-suku dan berkabilah-kabilah yang berbeda-beda, sedangkan Allah
menjadikan seperti itu agar manusia saling mengenal dan saling tolong menolong
dan kemaslahatan-maslahatan mereka yang bermacam-macam. Namun tidak ada
kelebihan bagi seseorangpun atas yang lain, kecuali dengan taqwa dan
keshalihan, disamping kesempurnaan jiwa bukan dengan hal-hal yang bersifat
keduniaan yang tidak pernah abadi.
Diriwayatkan pula dari Abu Malik Al-Asy’ari, ia
berkata bahwa Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah tidak memandang kepada
pangkat-pangkat kalian dan tidak pula kepada nasab-nasabmu dan tidak pula pada
tubuhmu, dan tidak pula pada hartamu, akan tetapi memandang pada hatimu. Maka
barang siapa mempunyai hati yang shaleh, maka Allah belas kasih kepadanya.
Kalian tak lain adalah anak cucu Adam. Dan yang paling dicintai Allah hanyalah
yang paling bertaqwa diantara kalian.” Jadi jika kalian hendak berbangga maka
banggakanlah taqwamu, artinya barang siapa yang ingin memperoleh
derajat-derajat tinggi hendaklah ia bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha tahu
tentang kamu dan amal perbuatanmu, juga maha waspada tentang hatimu, maka
jadikanlah taqwa sebagai bekalmu untuk akhiratmu.
Analisa Kandungan Ayat
Setiap manusia akan
mendapatkan kemudahan atas pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Petani
akan menemukan kemudahan atas lahan yang digarapnya, pedagang akan gemar
menjajakan dagangannya, seorang pekerja atau pembantu akan senang untuk
mengabdi kepada majikannya. Dengan demikian akan terbentuk
sebuah hubungan mutualisme yang akan memperkuat satu sama lainnya
2. Q.S. Al-Maidah: 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا
بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَغِيمَةُ لْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۗ
إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”
Kosa Kata Kunci
Aufii : Penuhilah olehmu
Bil’uqudi : Dengan atau akan janji-janji
Penafsiran Ayat
Pada permulaan ayat ini, Allah memerintahkan kepada
setiap orang yang beriman untuk memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan,
baik janji prasetia hamba kepada Allah maupun janji yang dibuat di Antara
sesame manusia termasuk kontrak bisnis. Perkataan ‘uqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila
seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji
tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan jani yang
pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji (‘ahdu) dari dua orang yang mempuyai hubungan Antara yang satu
dengan yang lain disebut perikatan (‘aqad).
Semua perikatan dapat dilakukan selama perikatan itu tidak melanggar ketentuan
Allah. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
‘Aisyah ra. “kullu syarthin laisa fi
kitabillahi ta’ala fahuwa bathilun wa inkana mi’ata syarthin” yang artinya
setiap syarat (ikatan janji) yang tidak sesuai dengan kitab Allah adalah bathil meskipun seratus macam syarat.”
Dengan demikian, pembuatan dan pemenuhan perikatan adalah yang telah sesuai
dengan ketentuan Allah, “innallaha
yahkumu ma yaridu.” Maka tepatilah setiap perikatan itu, “anfu bil ‘uqudi.”
Hukum Petunjuk dan Pelajaran Ayat (Fiqh Al-Hayah)
a. Kewajiban untuk
memenuhi perikatan dan janji yang telah disepakati, baik antara dirinya, dengan
manusia, maupun dengan Allah SWT
b. Dihalalkan untuk memakan
hewan ternak
c. Larangan berburu dan
memakan binatang buruan pada saat ihram dan di daerah (teritori) tanah haram.
Analisa Kandungan Ayat
Sebelum manusia
diciptakan di muka bumi ini manusia mempeunyai janji kepada Allah, dan
janji-janji itu harus dipenuhi oleh manusia tersebut dengan cara menjalankan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya. Janji
kepada manusia juga harus dipenuhi sebagai tanda bahwa dia adil dan jujur
terhadap sesama.
3. Q.S As-Syu’ara:
183
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ
أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya
: “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
Kosa Kata Kunci
Al-mustaqim : yang lurus
Wala tabkhusu : dan janganlah kamu merugikan
Asy-ya’ahum : sesuatu atau hak-hak mereka
Wala ta’tsau : dan janganlah kamu melewati batas
Penafsiran Ayat
Dan janganlah kalian merugikan manusia pada
hak-haknya, janganlah kalian mengurangi hak mereka barang sedikit pun, dan
janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan, melakukan
pembunuhan dan kerusakan-kerusakan lainnya. Lafal Ta’tsau ini berasal dari ‘atsiya
yang artinya membuat keruskan; dan lafal mufsidiina
merupakan hal atau kata keterangan keadaan daripada ‘amilnya, yaitu lafal Ta’tsau. (Tafsir Al-Jalalain,
Asy-Syu’ara’ 26:183)
Analisa Kandungan Ayat
Maksud
ayat ini yaitu larangan untuk tidak mengurangi harta seseorang dengan cara
mengurangi takaran dan timbangan, karena itu sama seperti melakukan pembunuhan,
pembajakan dan menakut-nakuti kafilah yang lewat.
Para
ulama seringkali mengutarakan, “Balasan dari kebaikan adalah kebaikan
setelahnya. Sedangkan balasan dari kejelekan adalah kejelekan
setelahnya.
4. Q.S Az-Zukhruf: 32
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ
بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.
Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Kosa Kata Kunci
سُخْرِيًّ
: kerja
Asbabun Nuzul
Mereka mengingkari
wahyu dan kenabian Muhammad s.a.w., Karena menurut pikiran mereka, seorang yang
diutus menjadi Rasul itu hendaklah seorang yang kaya raya dan berpengaruh.
Diriwayatkan oleh
Ibnu Mundzir yang bersumber dari Qatadah bahwa al-Walid bin al-Mughirah
berkata: “Sekiranya apa yang dikatakan oleh Muhammad itu benar (bahwa al-Qur’an
itu dari Allah), pasti al-Qur’an ini diturunkan kepadaku atau kepada Mas’ud
ats-Tsaqifi.” Maka turunlah ayat ini (az-Zukhruf: 31-32) yang menegaskan bahwa
Allah yang berhak mengutus Nabi-Nya sesuai dengan kekuasaan-Nya.
Penafsiran Ayat
(Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat RabbMu?)
yang di maksud adalah kenabian (Kami telah menentukan Antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia) maka Kami jadikan sebagian dari mereka kaya dan
sebagian lainnya miskin (dan Kami telah meninggikan sebagian mereka) dengan
diberi kekayaan (atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat mempergunakannya) golongan orang-orang yang miskin (sebagai pekerja)
maksudnya, pekerja berupah; huruf Ya disini menunjukkan makna Nasab, dan menurut
suatu qiraat lafal Sukhriyyan di baca Sikhriyyan yaitu dengan dikasrahkan huruf
Sin-nya (Dan rahmat Rabbmu) yakni surge Rabbmu (lebih baik daripada apa yang
mereka (kumpulkan) di dunia. (Tafsir Al-Jalalain, Az-Zukhruf 43:32)
Analisa Kandungan Ayat
Sistem ekonomi islam memberikan kebebasan individu
dalam berekonomi. Mendorong individu untuk bekerja dan tidak menafikan
kepemilikan atas harta benda dunia. Namun disisi lain, islam mengajak individu
untuk mengasihi dan menyayangi saudara sesama muslim dan menyertakan atas
anugerah harat yang dimiliki
5. Q.S Al-Isra’:
35
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya”.
Kosa Kata Kunci
أَوْفُوْا = وَفَاءٌ : Menepati / menyempurnakan, sempurnakanlah
الكَيْلَ = الوَزْنُ : Takaran/ timbangan
القِسْطُ= العَدْلُ : Adil
Penafsiran Ayat
Kata al –qisthas atau al-qusthas ada yang memahami dalam arti neraca, ada juga
dalam arti adil. Kata ini adalah salah satu kata asing dalam hal ini Romawi
yang masuk berakulturasi dalam perbendaharaan bahasa arab yang digunakan
al-Quran, demikian pendapat Mujahid yang ditemukan dalam shahih al-Bukhari.
Kedua maknanya yang dikemukakan di atas dapat dipertemukan, karena untuk
mewujudkan keadilan anda memerlukan tolak ukur yang pasti (neraca/timbangan)
dan sebaliknya bila anda menggunakan timbangan yang benar dan baik pasti akan
lahir keadilan. Hanya saja kita jika kita memahami ayat ini ditunjukkan kepada
kaum muslimin, maka memahami sebagi timbangan lebih tepat dan sesuai. Sedang
dalam surat al-An’am karena ia adalah sindiran kepada kaum musyrikin, maka
disana digunakan kata bilqis yang berarti adil untuk mengisyaratkan bahwa
transaksi yang mereka lakukan bukanlah yang bersifat adil. Demikian Ibn Asyur.
Analisa Kandungan Ayat
Penyempurnaan takaran
dan timbangan oleh ayat di atas dinyatakan baik dan lebih bagus akibatnya. Ini
karna menyempurnaan takaran atau timbangan melahirkan rasa aman, ketentraman
dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kesemuanya dapat tercapai melalui
keharmonisan antara anggota masyarakat, yang antara lain bila masing-masing
memberi apa yang berlebihan dari kebutuhannya dan menerima yang seimbang dengan
haknya. Ini tentu saja memerlukan rasa aman yang menyangkut alat ukur, baik
takaran maupun timbangan. Siapa yang membenarkan bagi dirinya mengurangi hak
seseorang, maka itu mengantarnya membenarkan perlakuan serupa kepada siapa
saja, dan ini mengantar kepada tersebarnya kecurangan. Bila itu terjadi, maka
rasa aman tidak akan tercipta, dan ini tentu saja tidak berakibat baik bagi
perorangan dan masyarakat. Dalam penafsiran ayat al-Imran 152 al –Imran
penulisan antara lain mengemukakan pandangan Thahir Ibn Asyur tentang
penggunaan perintah aufu setelah redaksi ayat sebelumnya menggunakan bentuk
larangan. Ini menurutnya untuk mengisyaratkan bahwa mereka dituntut untuk
memenuhi secara sempurna timbangan dan takaran sebagaimana difahami dari kata
aufu yang berarti sempurnakan, sehingga perhatian mereka tidak sekedar pada
upaya tidak mengurangi, tetapi pada penyempurnaannya. Apalagi ketika itu alat
ukur masih sangat sederhana. Kurma dan anggurpun mereka ukur bukan dengan
timbangan tetapi takaran. Hanya emas dan perak yang mereka timbangan. Perintah
menyempurnakan ini juga mengandung dorongan untuk meningkatkan kemurahan hati
dan kedermawanan yang merupakan salah satu yang mereka akui dan bangga sebagai
sifat terpuji
6. Q.S Al-Muthaffifin:
1-6
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (١)
الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمْ
أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣) أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ
(٤) لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (٥)
(٦)يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang
(1) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takran dari orang lain meminta
dipenuhi, (2) Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka
mengurangi (3) Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka
akan dibangkitkan, (4) pada suatu hari yang besar (5) (yaitu) hari (ketika)
manusia berdiri menghadp Tuhan semesta alam? (6)”.[4]
Kosa Kata Kunci
Lilmuthaffifina : Bagi orang-orang yang curang
Wailun :
kecelakaan
Iktalu : mereka
menerima takaran
‘alan nasi : atas manusia
(orang lain)
Yastaufuna : mereka minta dipenuhi
Kalu : mereka
menakar
Wazanu : mereka
menimbang
Yukhsiruna : mereka mengurangi atau merugikan
Penafsiran Ayat
Asal mendapat keuntungan agak banyak orang tidak
segan berlaku curang. Baik dalam menyukai dan menggantang ataupun di dalam
menimbang sesuatu barang yang tengah diperniagakan. Mereka mempunyai dua macam
sukat dan gantang ataupun anak timbangan; sukat dan timbangan pembeli lain
dengan timbangan penjual. Itulah orang-orang yang celaka: “Celakalah atas
orang-orang yang curang itu.” (ayat 1).
Ayat selanjutnya berturut menjelaskan kecurangan
itu: “Yang apabila menerima sukatan dari orang lain, mereka minta dipenuhi.”
(ayat 2).
Sebab mereka tidak mau dirugikan! Maka awaslah dia,
hati-hati melihat bagaimana orang itu menyukat atau menggantang. “Tetapi
apabila menyukat atau menimbang untuk orang lain, mereka merugikan.” (ayat 3).
Dibuatnyalah sukatan atau timbangan yang curang;
kelihatan dari luar bagus padahal di dalamnya ada alas sukatan, sehingga kalau
digunakan, isinya jadi kurang dari yang semestinya. Atau anak timbangan
dikurangkan beratnya dari yang mesti, atau timbangan itu sendiri dirusakkan
dengan tidak kentara.
Pada ayat yang pertama dikatakanlah wailun bagi mereka;
artinya celakalah atas mereka! Merekalah pangkal bala merusak pasaran dan
merusak amanah. Dalam ilmu ekonomi sendiri dikatakan bahwa keuntungan yang
didapat dengan cara demikian tidaklah keuntungan yang terpuji, karena dia
merugikan orang lain, dan merusak pasaran dan membawa nama tidak baik bagi
golongan saudagar yang berniaga di tempat itu, sehingga seekor kerbau yang
berkubang, semua kena luluknya.
Wailun! Celakalah dia itu! Sebab kecurangan yang
demikian akan memawa budipekertinya sendiri menjadi kasar. Tidak merasa
tergetar hatinya memberikan keuntungan yang didapatnya dengan curang itu akan
belanja anak dan isterinya, akan mereka makan dan minum. Itulah suatu
kecelakaan; suatu wailun.
Kerapkali juga wailun itu diartikan neraka! Memang,
orang-orang yang berlaku curang itu membuat neraka dalam dunia ini, karena
merusak pasaran. Kecurangan niaga seperti ini adalah termasuk korupsi besar
juga.
Maka datanglah teguran Allah berupa pertanyaan:
“Apakah tidak menyangka orang-orang itu, bahwa
mereka akan dibangkitkan?” (ayat 4). Apakah tidak terkenang dalam hati mereka
bahwa kenyataan yang didapat dengan jalan curang dan merugikan orang lain itu
tidaklah akan kekal? Bahwa dia akan tertumpuk menjadi “Wang panas” yang membawa
bencana? Dan kalau dia mati, sedikitpun harta itu tidak akan dapat menolong
dia? Dan pada harta yang demikian tidak ada keberkatan sedikit juga? Malahan
mereka akan dibangkitkan sesudah mati, untuk mempertanggungjawabkan segala
kecurangan itu: “Buat Hari Yang Besar?” (ayat 5). Hari kiamat, hari
perhitungan, hari penyisihan di antara yang hak dengan yang batil; “Hari yang
akan bangkit manusia.” (pangkal ayat 6). Bangkit dari alam kuburnya, dari dalam
tidurnya, karena panggilan sudah datang: “(Untuk menghadap) Tuhan Sarwa
sekalian alam.” (ujung ayat 6).
Alangkah kecilnya kamu pada hari itu, padahal semasa
di dunia engkau membangga dengan kekayaan yang engkau dapat dengan jalan
kecurangan itu. Di hari kiamat itu terbukalah rahasia, bahwasanya kedudukan
engkau di hadapan Mahkamah Ilahi, tidaklah lebih dan tidaklah kurang daripada
kedudukan pencuri atau pemaling, yang semasa hidupmu di dunia dapat engkau
selubungi dengan berbagai dalih.
Tersebut dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh
Al-Imam Ahmad dengan sanadnya, beliau terima dari sahabat Rasulullah SAW Abu
Amamah, bahwa kehebatan di hari kiamat itu amatlah ngerinya, sehingga Nabi SAW
berkata bahwa matahari menjadi lebih dekat sehingga hanya jarak satu mil saja
dari kepala, sehingga menggelegak rasanya otak benak saking teriknya cahaya
matahari. Manusia terbenam dalam peluh dan keringatnya, ada yang dalam ampu
kaki, ada yang sampai ke lutut, ada yang sampai ke dada, ada yang sampai ke
leher, masing-masing menurut sedikit atau banyak dosa yang diperbuatnya.
Analisa Kandungan Ayat
Sebuah peringatan
kepada manusia. Ketika seseorang tidak adil dalam menimbang atau menakar
sesuatu maka ketidak adilan tersebut akan dimintai pertanggung jawaban di
akhirat kelak ketika manusia dibangkitkan kembali dari alam kubur.
7. Al-A’Raf:
85
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا
اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ
رَبِّكُمْ ۖ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya:
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu'aib.
Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari
Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan
bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".
Kosa Kata Kunci
جَاءَ = أَتَى :
Datang
بيِّنَةٌ= دَلِيْلٌ :
Bukti
Penafsiran Ayat
Kata
bayyinah/ bukti yang dimaksud oleh ayat ini, boleh jadi dalam arti mu’jizat,
yakni suatu peristiwa luar biasa yang ditantangkan kepada siapa yang tidak
mempercayai seorang nabi yang diutus kepadanya, dan yang ternyata bukti itu
membungkam mereka. Boleh jadi bukti dimaksud adalah
keterangan lisan yang menjadi dalil dan bukti kebenaran yang membungkam lagi
tidak dapat mereka tolak.
Analisa Kandungan Ayat
Ayat ini berkisah tentang Nabi Syu’aib as. Dan
kepada penduduk kota atau suku Madyan, Kami utus saudara Mereka, Syu’aib,yang
dikenal juga sebagai “Khatib/orator para Nabi”. Dia berkata: “wahai kaumku,
sembahlah Allah Tuhan yang maha Esa sekali-kali tiada bagi kamu satu Tuhan pun
yang memelihara kamu dan menguasai seluruh makhluk selain Dia.”
Setelah
memerintahkan bersikap adil terhadap Allah dengan mengesakan-Nya dilanjutkan
dengan perintah berlaku adil terhadap manusia, antara lain dengan menyatakan:
“dan janganlah kamu kurangi takaran dan ditakar dan jangan juga timbangan dan
yang ditimbang, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik, yakni
mampu, menyenangkan dan tidak berkekurangan, sehingga tidak ada dalih
sedikitpun bagi kamu bila terus mempersekutukan Allah dan berlaku tidak adil –
aku khawatir- kamu dijatuhi azab hari yang meliputi, yakni yang membinasakan
segala sesuatu, tidak meninggalkan yang kecil atau besar kecuali dilibasnya. ”
Madyan pada mulanya adalah nama putra Nabi Ibrahim
as. Dari istri beliau yang ketiga yang bernama Qathura dan yang beliau kawini
pada akhir usia beliau. Madyan kawin dengan putri Nabi Luth as. Selanjutnya
kata Madyan di pahami dalam arti suku keturunan Madyan putra Nabi Ibrahim as.
Itu yang berlokasi dipantai laut merah sebelah tenggara gurun Sinai, yakni antara hijaz, tepatnya
Tabuk di Saudi Arabia, dan teluk ‘qabah. Menurut sementara sejarawan, populasi
mereka sekitar 25.000 orang. Sementara ulama menunjuk desa al-Aikah sebagai
lokasi pemusnahan mereka. Dan ada juga yang berpendapat bahwa al-Aikah adalah
nama lain dari Tabuk. Kota Tabuk pernah menjadi ajang perang antara Nabi
Muhammad saw. Dan kaum musyrikin pada tahun 9H/630 M.
C.
Karakteristik
Ekonomi Islam dalam
Sistem
Perekonomian Islam
Ada beberapa hal yang mendorong perlunya
mempelajari karakteristik ekonomi islam:[5]
1.
Meluruskan
kekeliruan pandangan yang menilai ekonomi kapitalis (memberikan penghargaan
terhadap perinsip hak milik) dan sosialis (memberikan penghargaan terhadap
persamaan dan keadilan) tidak bertentangan dengan metode ekonomi islam.
2.
Membantu para
ekonom muslim yang telah berkecimpung dalam teori ekonomi konfensional dalam
memahami ekonomi islam.
3.
Membantu para
peminat studi fiqh mu’amalah dalam melakukan studi perbandingan antara ekonomi
islam dengan ekonomi konvensional.
D. Perlunya Penerapan
Ekonomi Islam di Indonesia
Ekonomi islam
dapat memainkan peranan yang tidak dapat dimainkan oleh ekonomi manapun.
Maksudnya, dalam lingkungan ekonomi islam, ambil dalam rencana pertumbuhan
dapat menjadi lebih aktif dan lebih jauh dari penyelewengan maupun eksploitasi.
Sebab adil ini dapat saja berubah menjadi semacam ibadah. Perbedaan antara
ekonomi islam dan ekonomi hasil penemuan manusia adalah ekonomi islam
merupakan bagian dari sistem islam yang mencakup akidah dan
syariat. Hubungan ini memberi kesempatan kepada kegiatan ekonomi untuk bersifat
ibadah dan menumbuhkan control yang sebenarnya dari dalam diri muslim sendiri
bukan dari luar. Dari sinilah tampak penting ekonomi islam dan peranannya dalm
hubungannya dalam dunia islam yang merupakan jalan yang akan mengingatkan.
Seluruh bangsa-bangsa di dunia dalam keimanan.
Ada peranan lain yang mungkin dapat dilaksanakan
oleh ekonomi islam yaitu lapangan penerapan dalam dunia islam dalam dunia islam
itu sendiri. Yakni melaksanakan penerapan ekonomi islam smapai terwujudnya
kesatuan ekonomi bagi seluruh dunia. Kesatuan ekonomi ini merupakan jalan masuk
yang sangat penting menuju kearah persatuan politik.
Dalam keyakinan kami apabila dunia islam mau
mengambil ilham dari contoh-contoh peristiwa masa lalu, pasti akan mengerti bagaimana
merealisasikan angan-angan dimasa depan. Hal itu karena, apa yang telah kita
saksikan kemarin dan yang tengah kita saksikan sekarang menunjukan bahwa tak
ada satu tempat pun di dunia ini bagi sponsor yang kurus dan lemah.[6]
Adapun jika terjadi penentangan anatara kepentingan
individu dan kepentingan orang banyak dan tidak mungkin diselenggarakan
keseimbangan atau pertemuan antara kedua kepentingan ini, maka islam akan
mendahulukan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan individu. Sabda
rasul “biarkan orang-orang iru dikarunia rezeki allah, seorang dari yang
lain”.Dalam hal ini, didahulukan kepentingan umum yaitu kepentingan penduduk
kota seluruhnya meskipun melalaikan kepentingan penduduk padang pasir dan
melalikan kepentingan orang kota kalau jual beli dilakukan dengan jalan
mewakilkan orang dengan pemberian upah.
Karena alasan tersebut pula Indonesia perlu
menerapkan system perekonomian ini yang berdasarkan Al-Quran dan hadist.
Individu-individu dalam perekonomian Islam diberikan kebebasan untuk
beraktivitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk mencapai tujuan.
Namun kebebasan tersebut tidak boleh melanggar aturan-aturan yang telah
digariskan Allah SWT. Dengan tujuan membangun keseimbangan rohani dan jasmani
manusia berdasarkan tauhid. Selain itu Negara ini perlu sisitem ini karena
untuk membrantas segala ketidak adilan yang ada di Negara ini. Korupsi, kolusi,
dan nepotisme yang merajaalela membuat akhlak para petinggi Negara
dipertanyakan. Harga diri dapat dibayar dengan uang bahkan keadilan hanya untuk
orang yang berkuasa, orang miskin hanya mempunyai hak diadili di mata hukum.
Jika peekonomian Islam diterapkan di Indonesia KKN
akan mudah untuk diberantas. Kemiskinan akan perlahan dapat diatasi, karena
adanya kesetaraan antara si miskin dan si kaya. Tidak akan ada lagi penindasan
dari orang yang berkuasa terhadap orang kecil karena tingkat ekonomi yang
setara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian,
ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islam memiliki karakteristik
dan nilai-nilai yang berkonsep pada “amar ma’ruf nahi mungkar” yang berati
mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang. Jadi,
dapat dilihat bahwa sistem ekonomi Islam mempunyai konsep yang lengkap dan
seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Al ‘Assal, Ahmad Muhammad,dkk. Sistem, prinsip dan tujuan Ekonomi Islam. Bandung. Pustaka Setia. 1999.
Al-Hasani, Muhammad Fadhil Jaelani. Tafsir al-Jaelani. Jakarta.
Sahara. 2011.
Al-Maraghi, Syekh Ahmad Musthafa. Tarjamah Tafsir Al- Maraghi.
Yogyakarta. Sumber Ilmu. 1986.
Hanani, Nurul dan Ropingi el Ishaq.
Ekonomi islam dan Keadilan Sosial madzhab
ekonomi modern menuju kesejahteraan umat. Kediri. Stain Kediri Press. 2011.
Kementrian Agama. Al Qur’an dan
Terjemahannya. Jakarta. Pustaka Jaya Ilmu. 2012.
Nasution, Mustofa Edwin. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. 2007.
[1] Ahmad Muhammad Al-’Assal dan
Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Prinsip
dan tujuan Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 17.
[2] Nurul Hanani dan Ropingi el
Ishaq, Ekonomi islam dan Keadilan Sosial
madzhab ekonomi modern menuju kesejahteraan umat, (Kediri: Stain Kediri
Press, 2011), hlm 5.
[4]
Al-Maraghi, Syekh Ahmad Musthafa, Tarjamah Tafsir Al-
Maraghi, (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1986).hlm. 86.
[5] Mustofa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm 17.
[6] Ahmad Muhammad Al-‘Assal,dkk, Sistem, prinsip dan tujuan Ekonomi Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar