Rabu, 19 Desember 2018

Makalah Tafsir Ayat Ekonomi: Sistem Perekonomian Islam Keadilan, Pemerataan dan Kejujuran

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam memerintahkan kepada manusia untuk bekerja sama dalam segala hal, kecuali dalam perbuatan dosa kepada Allah atau melakukan aniyaya kepada sesama mahluk. karena manusia adalah mahluk sosial dimana manusia harus bersoialisasi dalam hal apapun. Termasuk dalam bidang ekonomi. Di dalam Islam terdapat istilah Ekonomi islam, yaitu ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai islam. Sejauh mengenai pokok kekurangan, hampir tidak ada perbedaan apapun antara ilmu ekonomi islam dan ilmu ekonomi islam modern.
Dalam ekonomi Islam terdapat suatu sistem yang bersifat ilahiyah-insaniyah bersifat terbuka, tapi sekaligus selektif. Sistem ekonomi islam juga mengenal toleransi tetapi ekonomi islam tidak mengenal kompromi dalam menegekkan keadilan. Karena ekonomi konvensional lebih mengedepankan prinsip untung dengan cara apapun.
Kebanyakan orang akan lebih menggunakan prinsip ekonomi konvensional dibanding sistem ekonomi islam. Oleh karena itu penulis ingin menelusuri sistem perekonomian islam keadilan, kejujuran dan pemerataan berdasarkan Alqur’an dan hadist. Agar masyarakat mengetahui tantang hal ini. Karena keadilan dalam ekonomi masih dipertanyakan, banyaknya koruptor yang korupsi karena tuntutan ekonomi dan hal itu pula yang mmenyebabkan perekonomian di Indonesia tidak stabil. Masih banyak kemiskinan yang merajalela, merebaknya bunga dan riba. Itu merupakan sebab utama mengapa negara kita harus memilih ekonomi Islam sebagai sistem dalam perekonomian. Lebih lanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.
B.       Rumusan Masalah
1.        Apa yang di maksud dengan sistem perekonomian Islam keadilan, pemerataan dan kejujuran?
2.        Bagaimana pendapat Al-Qur’an dan hadist tentang sistem ekonomi yang adil, rata dan jujur?
3.        Bagaimana karakteristik ekonomi Islam dalam sistem perekonomian islam?
4.        Perlukah sistem ekonomi ini diterapkan di Indonesia?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui yang di maksud dengan sistem perekonomian Islam keadilan, pemerataan dan kejujuran.
2.      Untuk mengetahui pendapat Al-Qur’an dan hadist tentang sistem ekonomi yang adil, rata dan jujur.
3.      Untuk mengetahui karakteristik ekonomi islam dalam system perekonomian islam.
4.      Untuk mengetahui sistem ekonomi ini diterapkan di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang apa bagaimana sistem perekonomian Islam yang mencangkup keadilan , pemerataan  dan  kejujuran






BAB I
PENDAHULUAN

A.      Pengertian Sistem Perekonomian Islam Keadilan, Pemerataan dan Kejujuran
Ekonomi islam adalah mazhab ekonomi yang di dalamnya terjelma cara islam mengatur kehidupan perekonomian dengan apa yang dimiliki dan ditujukan oleh mazhab ini, yaitu tentang ketelitian cara berfikir yang terdiri daru nilai-nilai moral Islam dan nilai-nilai ilmu ekonomi atau nilai-nilai sejarah yang berhubungan dengan masalah-masalah siasat perekonomian maupun yang berhubungan dengan uraian sejarah manusia.[1]
 Sistem ekonomi islam sesuai dengan fitrah manusia yang menginginkan tegaknya keadilan ekonomi. Prinsip keadilan ekonomi menuntut diterapkannya sistem bagi hasil dalam kebebasan berekonomi terkendali menjadi ciri dan prinsip sistem ekonomi islam seperti kebebasan memiliki unsur produksi dalam menjalankan roda perekonomian.[2] Apabila prinsip keadilan terpenuhi maka secara tidak langsung akan menciptakan pemerataan bagi perekonomian Islam. Dan untuk pencapaiannya diperlukan suatu tindakan yang dilakukan dengan kejujuran.




B.       Pendapat Al-Qur’an Tentang Sistem Ekonomi yang Adil, Rata dan Jujur
1.      Q.S. Al-Hujarat: 13
يآأَيُّهاَالنَّاسُ إنَّاخَلَقْنآكُم مِّن ذَكَرٍوَأُنثَى وَجَعَلْنآكُمشُعُوباًوَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوا اِنَّاَكرَمَكُمْ عِنْدَاللَّهِ اَتْقَاكُمُ اشنَّ اللَّهَ عَلِمٌ خَبِرٌ
Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[3]

Kosa Kata Kunci:
خَلَقْنَاكُمْ             : Menjadikan, membuat, menciptakan kalian
دَكَرٍ                   : Laki-laki, jantan
أنْثَى                   : Perempuan, betina
شُعُوْبًا                 : Beberapa suku yang besar, beberapa bangsa
قَبَا ئِلُ                : Bersuku-suku
تَعَارَفُ وْا             : Saling berkenalan
أكْرَمَكُمْ              : Paling Mulia diantara kalian
أتْقَاكُمْ               : Orang yang paling taqwa diantara kalian
خَبِىْرٌ                 : Maha Mengenal

Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Abu Mulaikah, pada saat terjadinya Fathul Makkah(8 H), Rasul mengutus Bilal Bin Rabbah untuk mengumandangkan adzan, ia memanjat ka’bah dan berseru kepada kaum muslimin untuk shalat jama’ah. Ahab bin Usaid ketika melihat Bilal naik keatas ka’bah berkata “segala puji bagi Allah yang telah mewafatkan ayahku, sehingga tidak menyaksikan peristiwa hari ini”.
Harist bin Hisyam berkata “Muhammad menemukan orang lain ke-cuali burung gagak yang hitam ini”, kata-kata ini dimaksudkan untuk men-cemooh Bilal, karena warna kulit Bilal yang hitam. Maka datanglah malaikat Jibril memberitahukan kepada Rasulullah tentang apa yang dilakukan mereka. Sehingga turunlah ayat ini, yang melarang manusia untuk menyombongkan diri karena kedudukannya, kepangkatannya, kekayaannya, keturunan dan mencemooh orang miskin. Diterangkan pula bahwa kemuliaan itu dihubungkan dengan ketakwaan, karena yang membedakan manusia disisi Allah hanyalah dari ketakwaan seseorang.
Adapun asbabun nuzul yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang peristiwa yang terjadi kepada sahabat Abu Hindin (yaitu sahabat yang biasa berkidmad kepada nabi). rasulullah mengfurus Bani Bayadah untuk menikahkan Abu Hindin dengan gadis-gadis di kalangan mereka. Mereka bertanya “apakah patut kami mengawinkan gadis kami dengan budak-budak?” sehingga turun ayat ini, agar kita tidak mencemooh seseorang karena memandang kedudukannya.

Penafsiran Ayat
“Allah sedang memberitahukan kepada manusia Sesungguhnya Dia telah menciptakan manusia dari tubuh satu orang saja, dan menjadikan dari tubuh tersebut pasanganya, mereka adalah adam dan hawa, dan Allah menjadikan manusia itu menjadi beberapa bangsa dan suku, yaitu suku-suku pada umumnya, setelah bersuku-suku di lanjutkan yang lainnya, seperti beberapa bagian, beberapa kabilah, beberapa tempat tinggal, dan lain sebagainya.”
Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kuligt bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi untuk saling mengenal dan menolong. Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan atau kekayaan karena yang mulia diantara manusia disisi Allah hanyalah orang yang bertakwa kepada-Nya.
Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu ada sangkut pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang mulia itu adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah. Mengapa manusia saling menolok-olok sesama saudara hanya karena Allah menjadikan mereka bersuku-suku dan berkabilah-kabilah yang berbeda-beda, sedangkan Allah menjadikan seperti itu agar manusia saling mengenal dan saling tolong menolong dan kemaslahatan-maslahatan mereka yang bermacam-macam. Namun tidak ada kelebihan bagi seseorangpun atas yang lain, kecuali dengan taqwa dan keshalihan, disamping kesempurnaan jiwa bukan dengan hal-hal yang bersifat keduniaan yang tidak pernah abadi.
Diriwayatkan pula dari Abu Malik Al-Asy’ari, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah tidak memandang kepada pangkat-pangkat kalian dan tidak pula kepada nasab-nasabmu dan tidak pula pada tubuhmu, dan tidak pula pada hartamu, akan tetapi memandang pada hatimu. Maka barang siapa mempunyai hati yang shaleh, maka Allah belas kasih kepadanya. Kalian tak lain adalah anak cucu Adam. Dan yang paling dicintai Allah hanyalah yang paling bertaqwa diantara kalian.” Jadi jika kalian hendak berbangga maka banggakanlah taqwamu, artinya barang siapa yang ingin memperoleh derajat-derajat tinggi hendaklah ia bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha tahu tentang kamu dan amal perbuatanmu, juga maha waspada tentang hatimu, maka jadikanlah taqwa sebagai bekalmu untuk akhiratmu.
Analisa Kandungan Ayat
Setiap manusia akan mendapatkan kemudahan atas pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Petani akan menemukan kemudahan atas lahan yang digarapnya, pedagang akan gemar menjajakan dagangannya, seorang pekerja atau pembantu akan senang untuk mengabdi kepada majikannya. Dengan demikian akan terbentuk sebuah hubungan mutualisme yang akan memperkuat satu sama lainnya

2.      Q.S. Al-Maidah: 1
  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَغِيمَةُ لْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”

Kosa Kata Kunci
Aufii : Penuhilah olehmu
Bil’uqudi : Dengan atau akan janji-janji
                                   
Penafsiran Ayat
Pada permulaan ayat ini, Allah memerintahkan kepada setiap orang yang beriman untuk memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji prasetia hamba kepada Allah maupun janji yang dibuat di Antara sesame manusia termasuk kontrak bisnis. Perkataan ‘uqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan jani yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji (‘ahdu) dari dua orang yang mempuyai hubungan Antara yang satu dengan yang lain disebut perikatan (‘aqad). Semua perikatan dapat dilakukan selama perikatan itu tidak melanggar ketentuan Allah. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah ra. “kullu syarthin laisa fi kitabillahi ta’ala fahuwa bathilun wa inkana mi’ata syarthin” yang artinya setiap syarat (ikatan janji) yang tidak sesuai dengan kitab Allah adalah bathil meskipun seratus macam syarat.” Dengan demikian, pembuatan dan pemenuhan perikatan adalah yang telah sesuai dengan ketentuan Allah, “innallaha yahkumu ma yaridu.” Maka tepatilah setiap perikatan itu, “anfu bil ‘uqudi.”

Hukum Petunjuk dan Pelajaran Ayat (Fiqh Al-Hayah)
a.     Kewajiban untuk memenuhi perikatan dan janji yang telah disepakati, baik antara dirinya, dengan manusia, maupun dengan Allah SWT
b.     Dihalalkan untuk memakan hewan ternak
c.    Larangan berburu dan memakan binatang buruan pada saat ihram dan di daerah (teritori) tanah haram.

Analisa Kandungan Ayat
Sebelum manusia diciptakan di muka bumi ini manusia mempeunyai janji kepada Allah, dan janji-janji itu harus dipenuhi oleh manusia tersebut dengan cara menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya. Janji kepada manusia juga harus dipenuhi sebagai tanda bahwa dia adil dan jujur terhadap sesama.

3.      Q.S As-Syu’ara: 183
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya : “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”

Kosa Kata Kunci
Al-mustaqim : yang lurus
Wala tabkhusu : dan janganlah kamu merugikan
Asy-ya’ahum : sesuatu atau hak-hak mereka
Wala ta’tsau : dan janganlah kamu melewati batas         

Penafsiran Ayat
Dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya, janganlah kalian mengurangi hak mereka barang sedikit pun, dan janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan, melakukan pembunuhan dan kerusakan-kerusakan lainnya. Lafal Ta’tsau ini berasal dari ‘atsiya yang artinya membuat keruskan; dan lafal mufsidiina merupakan hal atau kata keterangan keadaan daripada ‘amilnya, yaitu lafal Ta’tsau. (Tafsir Al-Jalalain, Asy-Syu’ara’ 26:183)

Analisa Kandungan Ayat
Maksud ayat ini yaitu larangan untuk tidak mengurangi harta seseorang dengan cara mengurangi takaran dan timbangan, karena itu sama seperti melakukan pembunuhan, pembajakan dan menakut-nakuti kafilah yang lewat.
Para ulama seringkali mengutarakan, “Balasan dari kebaikan adalah kebaikan setelahnya. Sedangkan balasan dari kejelekan adalah kejelekan setelahnya.

4.      Q.S Az-Zukhruf: 32
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Kosa Kata Kunci
سُخْرِيًّ                    : kerja

Asbabun Nuzul
Mereka mengingkari wahyu dan kenabian Muhammad s.a.w., Karena menurut pikiran mereka, seorang yang diutus menjadi Rasul itu hendaklah seorang yang kaya raya dan berpengaruh.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Qatadah bahwa al-Walid bin al-Mughirah berkata: “Sekiranya apa yang dikatakan oleh Muhammad itu benar (bahwa al-Qur’an itu dari Allah), pasti al-Qur’an ini diturunkan kepadaku atau kepada Mas’ud ats-Tsaqifi.” Maka turunlah ayat ini (az-Zukhruf: 31-32) yang menegaskan bahwa Allah yang berhak mengutus Nabi-Nya sesuai dengan kekuasaan-Nya.
                                   
Penafsiran Ayat
(Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat RabbMu?) yang di maksud adalah kenabian (Kami telah menentukan Antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia) maka Kami jadikan sebagian dari mereka kaya dan sebagian lainnya miskin (dan Kami telah meninggikan sebagian mereka) dengan diberi kekayaan (atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakannya) golongan orang-orang yang miskin (sebagai pekerja) maksudnya, pekerja berupah; huruf Ya disini menunjukkan makna Nasab, dan menurut suatu qiraat lafal Sukhriyyan di baca Sikhriyyan yaitu dengan dikasrahkan huruf Sin-nya (Dan rahmat Rabbmu) yakni surge Rabbmu (lebih baik daripada apa yang mereka (kumpulkan) di dunia. (Tafsir Al-Jalalain, Az-Zukhruf 43:32)

Analisa Kandungan Ayat
Sistem ekonomi islam memberikan kebebasan individu dalam berekonomi. Mendorong individu untuk bekerja dan tidak menafikan kepemilikan atas harta benda dunia. Namun disisi lain, islam mengajak individu untuk mengasihi dan menyayangi saudara sesama muslim dan menyertakan atas anugerah harat yang dimiliki

5.      Q.S Al-Isra’: 35

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Kosa Kata Kunci
أَوْفُوْا = وَفَاءٌ          : Menepati / menyempurnakan, sempurnakanlah
الكَيْلَ = الوَزْنُ           : Takaran/ timbangan
القِسْطُ= العَدْلُ         : Adil
                                   
Penafsiran Ayat
Kata al –qisthas atau al-qusthas ada  yang memahami dalam arti neraca, ada juga dalam arti adil. Kata ini adalah salah satu kata asing dalam hal ini Romawi yang masuk berakulturasi dalam perbendaharaan bahasa arab yang digunakan al-Quran, demikian pendapat Mujahid yang ditemukan dalam shahih al-Bukhari. Kedua maknanya yang dikemukakan di atas dapat dipertemukan, karena untuk mewujudkan keadilan anda memerlukan tolak ukur yang pasti (neraca/timbangan) dan sebaliknya bila anda menggunakan timbangan yang benar dan baik pasti akan lahir keadilan. Hanya saja kita jika kita memahami ayat ini ditunjukkan kepada kaum muslimin, maka memahami sebagi timbangan lebih tepat dan sesuai. Sedang dalam surat al-An’am karena ia adalah sindiran kepada kaum musyrikin, maka disana digunakan kata bilqis yang berarti adil untuk mengisyaratkan bahwa transaksi yang mereka lakukan bukanlah yang bersifat adil. Demikian Ibn Asyur.

Analisa Kandungan Ayat
Penyempurnaan takaran dan timbangan oleh ayat di atas dinyatakan baik dan lebih bagus akibatnya. Ini karna menyempurnaan takaran atau timbangan melahirkan rasa aman, ketentraman dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kesemuanya dapat tercapai melalui keharmonisan antara anggota masyarakat, yang antara lain bila masing-masing memberi apa yang berlebihan dari kebutuhannya dan menerima yang seimbang dengan haknya. Ini tentu saja memerlukan rasa aman yang menyangkut alat ukur, baik takaran maupun timbangan. Siapa yang membenarkan bagi dirinya mengurangi hak seseorang, maka itu mengantarnya membenarkan perlakuan serupa kepada siapa saja, dan ini mengantar kepada tersebarnya kecurangan. Bila itu terjadi, maka rasa aman tidak akan tercipta, dan ini tentu saja tidak berakibat baik bagi perorangan dan masyarakat. Dalam penafsiran ayat al-Imran 152 al –Imran penulisan antara lain mengemukakan pandangan Thahir Ibn Asyur tentang penggunaan perintah aufu setelah redaksi ayat sebelumnya menggunakan bentuk larangan. Ini menurutnya untuk mengisyaratkan bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurna timbangan dan takaran sebagaimana difahami dari kata aufu yang berarti sempurnakan, sehingga perhatian mereka tidak sekedar pada upaya tidak mengurangi, tetapi pada penyempurnaannya. Apalagi ketika itu alat ukur masih sangat sederhana. Kurma dan anggurpun mereka ukur bukan dengan timbangan tetapi takaran. Hanya emas dan perak yang mereka timbangan. Perintah menyempurnakan ini juga mengandung dorongan untuk meningkatkan kemurahan hati dan kedermawanan yang merupakan salah satu yang mereka akui dan bangga sebagai sifat terpuji

6.      Q.S Al-Muthaffifin: 1-6
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (١) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣) أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (٤) لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (٥) 
 (٦)يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang (1) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takran dari orang lain meminta dipenuhi, (2) Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi (3) Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, (4) pada suatu hari yang besar (5) (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadp Tuhan semesta alam? (6)”.[4]

Kosa Kata Kunci
Lilmuthaffifina       : Bagi orang-orang yang curang
Wailun                   : kecelakaan
Iktalu                     : mereka menerima takaran
‘alan nasi              : atas manusia (orang lain)
Yastaufuna : mereka minta dipenuhi
Kalu                      : mereka menakar
Wazanu                 : mereka menimbang
Yukhsiruna            : mereka mengurangi atau merugikan

Penafsiran Ayat
Asal mendapat keuntungan agak banyak orang tidak segan berlaku curang. Baik dalam menyukai dan menggantang ataupun di dalam menimbang sesuatu barang yang tengah diperniagakan. Mereka mempunyai dua macam sukat dan gantang ataupun anak timbangan; sukat dan timbangan pembeli lain dengan timbangan penjual. Itulah orang-orang yang celaka: “Celakalah atas orang-orang yang curang itu.” (ayat 1).
Ayat selanjutnya berturut menjelaskan kecurangan itu: “Yang apabila menerima sukatan dari orang lain, mereka minta dipenuhi.” (ayat 2).
Sebab mereka tidak mau dirugikan! Maka awaslah dia, hati-hati melihat bagaimana orang itu menyukat atau menggantang. “Tetapi apabila menyukat atau menimbang untuk orang lain, mereka merugikan.” (ayat 3).
Dibuatnyalah sukatan atau timbangan yang curang; kelihatan dari luar bagus padahal di dalamnya ada alas sukatan, sehingga kalau digunakan, isinya jadi kurang dari yang semestinya. Atau anak timbangan dikurangkan beratnya dari yang mesti, atau timbangan itu sendiri dirusakkan dengan tidak kentara.
Pada ayat yang pertama dikatakanlah wailun bagi mereka; artinya celakalah atas mereka! Merekalah pangkal bala merusak pasaran dan merusak amanah. Dalam ilmu ekonomi sendiri dikatakan bahwa keuntungan yang didapat dengan cara demikian tidaklah keuntungan yang terpuji, karena dia merugikan orang lain, dan merusak pasaran dan membawa nama tidak baik bagi golongan saudagar yang berniaga di tempat itu, sehingga seekor kerbau yang berkubang, semua kena luluknya.
Wailun! Celakalah dia itu! Sebab kecurangan yang demikian akan memawa budipekertinya sendiri menjadi kasar. Tidak merasa tergetar hatinya memberikan keuntungan yang didapatnya dengan curang itu akan belanja anak dan isterinya, akan mereka makan dan minum. Itulah suatu kecelakaan; suatu wailun.
Kerapkali juga wailun itu diartikan neraka! Memang, orang-orang yang berlaku curang itu membuat neraka dalam dunia ini, karena merusak pasaran. Kecurangan niaga seperti ini adalah termasuk korupsi besar juga.
Maka datanglah teguran Allah berupa pertanyaan:
“Apakah tidak menyangka orang-orang itu, bahwa mereka akan dibangkitkan?” (ayat 4). Apakah tidak terkenang dalam hati mereka bahwa kenyataan yang didapat dengan jalan curang dan merugikan orang lain itu tidaklah akan kekal? Bahwa dia akan tertumpuk menjadi “Wang panas” yang membawa bencana? Dan kalau dia mati, sedikitpun harta itu tidak akan dapat menolong dia? Dan pada harta yang demikian tidak ada keberkatan sedikit juga? Malahan mereka akan dibangkitkan sesudah mati, untuk mempertanggungjawabkan segala kecurangan itu: “Buat Hari Yang Besar?” (ayat 5). Hari kiamat, hari perhitungan, hari penyisihan di antara yang hak dengan yang batil; “Hari yang akan bangkit manusia.” (pangkal ayat 6). Bangkit dari alam kuburnya, dari dalam tidurnya, karena panggilan sudah datang: “(Untuk menghadap) Tuhan Sarwa sekalian alam.” (ujung ayat 6).
Alangkah kecilnya kamu pada hari itu, padahal semasa di dunia engkau membangga dengan kekayaan yang engkau dapat dengan jalan kecurangan itu. Di hari kiamat itu terbukalah rahasia, bahwasanya kedudukan engkau di hadapan Mahkamah Ilahi, tidaklah lebih dan tidaklah kurang daripada kedudukan pencuri atau pemaling, yang semasa hidupmu di dunia dapat engkau selubungi dengan berbagai dalih.
Tersebut dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Al-Imam Ahmad dengan sanadnya, beliau terima dari sahabat Rasulullah SAW Abu Amamah, bahwa kehebatan di hari kiamat itu amatlah ngerinya, sehingga Nabi SAW berkata bahwa matahari menjadi lebih dekat sehingga hanya jarak satu mil saja dari kepala, sehingga menggelegak rasanya otak benak saking teriknya cahaya matahari. Manusia terbenam dalam peluh dan keringatnya, ada yang dalam ampu kaki, ada yang sampai ke lutut, ada yang sampai ke dada, ada yang sampai ke leher, masing-masing menurut sedikit atau banyak dosa yang diperbuatnya.

Analisa Kandungan Ayat
Sebuah peringatan kepada manusia. Ketika seseorang tidak adil dalam menimbang atau menakar sesuatu maka ketidak adilan tersebut akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak ketika manusia dibangkitkan kembali dari alam kubur.

7.      Al-A’Raf: 85
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".

Kosa Kata Kunci
جَاءَ = أَتَى               : Datang 
بيِّنَةٌ= دَلِيْلٌ               : Bukti
Penafsiran Ayat
Kata bayyinah/ bukti yang dimaksud oleh ayat ini, boleh jadi dalam arti mu’jizat, yakni suatu peristiwa luar biasa yang ditantangkan kepada siapa yang tidak mempercayai seorang nabi yang diutus kepadanya, dan yang ternyata bukti itu membungkam mereka. Boleh jadi bukti dimaksud adalah keterangan lisan yang menjadi dalil dan bukti kebenaran yang membungkam lagi tidak dapat mereka tolak.

Analisa Kandungan Ayat
Ayat ini berkisah tentang Nabi Syu’aib as. Dan kepada penduduk kota atau suku Madyan, Kami utus saudara Mereka, Syu’aib,yang dikenal juga sebagai “Khatib/orator para Nabi”. Dia berkata: “wahai kaumku, sembahlah Allah Tuhan yang maha Esa sekali-kali tiada bagi kamu satu Tuhan pun yang memelihara kamu dan menguasai seluruh makhluk selain Dia.”
Setelah memerintahkan bersikap adil terhadap Allah dengan mengesakan-Nya dilanjutkan dengan perintah berlaku adil terhadap manusia, antara lain dengan menyatakan: “dan janganlah kamu kurangi takaran dan ditakar dan jangan juga timbangan dan yang ditimbang, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik, yakni mampu, menyenangkan dan tidak berkekurangan, sehingga tidak ada dalih sedikitpun bagi kamu bila terus mempersekutukan Allah dan berlaku tidak adil – aku khawatir- kamu dijatuhi azab hari yang meliputi, yakni yang membinasakan segala sesuatu, tidak meninggalkan yang kecil atau besar kecuali dilibasnya. ”
Madyan pada mulanya adalah nama putra Nabi Ibrahim as. Dari istri beliau yang ketiga yang bernama Qathura dan yang beliau kawini pada akhir usia beliau. Madyan kawin dengan putri Nabi Luth as. Selanjutnya kata Madyan di pahami dalam arti suku keturunan Madyan putra Nabi Ibrahim as. Itu yang berlokasi dipantai laut merah sebelah tenggara  gurun Sinai, yakni antara hijaz, tepatnya Tabuk di Saudi Arabia, dan teluk ‘qabah. Menurut sementara sejarawan, populasi mereka sekitar 25.000 orang. Sementara ulama menunjuk desa al-Aikah sebagai lokasi pemusnahan mereka. Dan ada juga yang berpendapat bahwa al-Aikah adalah nama lain dari Tabuk. Kota Tabuk pernah menjadi ajang perang antara Nabi Muhammad saw. Dan kaum musyrikin pada tahun 9H/630 M.

C.      Karakteristik Ekonomi Islam dalam Sistem Perekonomian Islam
Ada beberapa hal yang mendorong perlunya mempelajari karakteristik ekonomi  islam:[5]
1.        Meluruskan kekeliruan pandangan yang menilai ekonomi kapitalis (memberikan penghargaan terhadap perinsip hak milik) dan sosialis (memberikan penghargaan terhadap persamaan dan keadilan) tidak bertentangan dengan metode ekonomi islam.
2.        Membantu para ekonom muslim yang telah berkecimpung dalam teori ekonomi konfensional dalam memahami ekonomi islam.
3.        Membantu para peminat studi fiqh mu’amalah dalam melakukan studi perbandingan antara ekonomi islam dengan ekonomi konvensional.

D.       Perlunya Penerapan Ekonomi Islam di Indonesia
Ekonomi islam dapat memainkan peranan yang tidak dapat dimainkan oleh ekonomi manapun. Maksudnya, dalam lingkungan ekonomi islam, ambil dalam rencana pertumbuhan dapat menjadi lebih aktif dan lebih jauh dari penyelewengan maupun eksploitasi. Sebab adil ini dapat saja berubah menjadi semacam ibadah. Perbedaan antara ekonomi islam dan ekonomi hasil penemuan manusia adalah ekonomi islam merupakan  bagian dari sistem islam yang mencakup akidah dan syariat. Hubungan ini memberi kesempatan kepada kegiatan ekonomi untuk bersifat ibadah dan menumbuhkan control yang sebenarnya dari dalam diri muslim sendiri bukan dari luar. Dari sinilah tampak penting ekonomi islam dan peranannya dalm hubungannya dalam dunia islam yang merupakan jalan yang akan mengingatkan. Seluruh bangsa-bangsa di dunia dalam keimanan.
Ada peranan lain yang mungkin dapat dilaksanakan oleh ekonomi islam yaitu lapangan penerapan dalam dunia islam dalam dunia islam itu sendiri. Yakni melaksanakan penerapan ekonomi islam smapai terwujudnya kesatuan ekonomi bagi seluruh dunia. Kesatuan ekonomi ini merupakan jalan masuk yang sangat penting menuju kearah persatuan politik.
Dalam keyakinan kami apabila dunia islam mau mengambil ilham dari contoh-contoh peristiwa masa lalu, pasti akan mengerti bagaimana merealisasikan angan-angan dimasa depan. Hal itu karena, apa yang telah kita saksikan kemarin dan yang tengah kita saksikan sekarang menunjukan bahwa tak ada satu tempat pun di dunia ini bagi sponsor yang kurus dan lemah.[6]
Adapun jika terjadi penentangan anatara kepentingan individu dan kepentingan orang banyak dan tidak mungkin diselenggarakan keseimbangan atau pertemuan antara kedua kepentingan ini, maka islam akan mendahulukan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan individu. Sabda rasul “biarkan orang-orang iru dikarunia rezeki allah, seorang dari yang lain”.Dalam hal ini, didahulukan kepentingan umum yaitu kepentingan penduduk kota seluruhnya meskipun melalaikan kepentingan penduduk padang pasir dan melalikan kepentingan orang kota kalau jual beli dilakukan dengan jalan mewakilkan orang dengan pemberian upah.
Karena alasan tersebut pula Indonesia perlu menerapkan system perekonomian ini yang berdasarkan Al-Quran dan hadist. Individu-individu dalam perekonomian Islam diberikan kebebasan untuk beraktivitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk mencapai tujuan. Namun kebebasan tersebut tidak boleh melanggar aturan-aturan yang telah digariskan Allah SWT. Dengan tujuan membangun keseimbangan rohani dan jasmani manusia berdasarkan tauhid. Selain itu Negara ini perlu sisitem ini karena untuk membrantas segala ketidak adilan yang ada di Negara ini. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajaalela membuat akhlak para petinggi Negara dipertanyakan. Harga diri dapat dibayar dengan uang bahkan keadilan hanya untuk orang yang berkuasa, orang miskin hanya mempunyai hak diadili di mata hukum.
Jika peekonomian Islam diterapkan di Indonesia KKN akan mudah untuk diberantas. Kemiskinan akan perlahan dapat diatasi, karena adanya kesetaraan antara si miskin dan si kaya. Tidak akan ada lagi penindasan dari orang yang berkuasa terhadap orang kecil karena tingkat ekonomi yang setara.















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dengan demikian, ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islam memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berkonsep pada “amar ma’ruf nahi mungkar” yang berati mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang. Jadi, dapat dilihat bahwa sistem ekonomi Islam mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang.


















DAFTAR PUSTAKA

Al ‘Assal, Ahmad Muhammad,dkk. Sistem, prinsip dan tujuan Ekonomi Islam.                  Bandung. Pustaka Setia. 1999.
Al-Hasani, Muhammad Fadhil Jaelani. Tafsir al-Jaelani. Jakarta. Sahara. 2011.
Al-Maraghi, Syekh Ahmad Musthafa. Tarjamah Tafsir Al- Maraghi. Yogyakarta. Sumber Ilmu. 1986.
Hanani, Nurul dan Ropingi el Ishaq. Ekonomi islam dan Keadilan Sosial madzhab ekonomi modern menuju kesejahteraan umat. Kediri. Stain Kediri Press. 2011.
Kementrian Agama. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta. Pustaka Jaya Ilmu. 2012.
Nasution, Mustofa Edwin. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta.   Kencana Prenada Media Group. 2007.




[1] Ahmad Muhammad Al-’Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Prinsip dan tujuan Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 17.
[2] Nurul Hanani dan Ropingi el Ishaq, Ekonomi islam dan Keadilan Sosial madzhab ekonomi modern menuju kesejahteraan umat, (Kediri: Stain Kediri Press, 2011), hlm 5.
[3] Kementrian Agama, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Pustaka Jaya Ilmu, 2012). hlm.264.
[4] Al-Maraghi, Syekh Ahmad Musthafa, Tarjamah Tafsir Al- Maraghi, (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1986).hlm. 86.
[5] Mustofa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm 17.
[6] Ahmad Muhammad Al-‘Assal,dkk, Sistem, prinsip dan tujuan Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Kewirausahaan: Transformasi, Inovasi dan Kreativitas Kewirausahaan

RESUME TRANSFORMASI KEWIRAUSAHAAN, TEORI INOVASI DAN KREATIVITAS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: KEWIRAUSAHAAN Dosen Peng...